Membaca Rembulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada sepuluh hal yang membuat Diwan merasa siap menghadapi kiamat.

Pertama, ketika ia berhasil bangun sebelum cahaya fajar menyentuh mukanya. Pria paruh baya itu telah lama menghancurkan jam biologisnya sejak rembulan mulai jatuh ke bumi setahun lalu. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba air laut memutuskan sudah saatnya masuk menjamah daratan lebih jauh, menyapu pemukiman padat penduduk, marina, dermaga, hutan bakau, serta membuat sungai-sungai di ujung timur Pulau Jawa bergerak dari hilir menuju hulu. Semua ini terjadi dalam tempo waktu sebulan—empat minggu setelah rembulan mulai jatuh ke bumi.

Kedua, saat Diwan mengucapkan, "Selamat pagi, Diwan." pada cermin di kamarnya. Kini karena ia tak punya cermin, maka ia lakukan itu dengan mengambil semangkuk air dari sungai yang mengalir di sebelah gua tempat dirinya bernaung, lalu menatap orang dalam mangkuk tersebut. Agaknya terdengar gila, tetapi hal ini membuatnya lebih lega dalam menjalani hari—lebih khususnya begitu koneksi internet di Indonesia mengalami gangguan pada bulan kedua.

Seperti yang diramalkan oleh ilmuwan terkemuka perihal pemanasan global, level permukaan air laut naik drastis, membanjiri nyaris tiga per empat bagian dari DKI Jakarta. Lebih parah lagi, kabel komunikasi dan internet di daratan bolak-balik basah kuyup terkena terjangan air pasang. Begitu air surut, orang-orang berlarian untuk menjarah swalayan dan toko perhiasan—apapun yang mampu mengganjal perut mereka.

Ketiga, secangkir teh jeruk nipis hangat dengan sedikit tambahan madu. Satu tegukan saja mampu mengembuskan ingatan ketika Ibunya mengiris dan memerah jeruk di dapur selagi ia berkemul dalam kamarnya, berusaha menahan pedihnya demam. Belakangan, saking rindunya, pria paruh baya itu sampai repot-repot membawa pot dan benih jeruk nipisnya ke mana-mana tatkala mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Kedua orang tuanya sudah lama meninggalkan dunia ini. Ya, setidaknya mereka tidak hidup untuk menyaksikan dunia di ambang kekacauan. Diwan belum sempat menabur bunga kantil dan membaca doa di kuburan. Sejujurnya, lelaki itu tak mau ambil risiko juga menerjang air pasang setinggi tiga puluh hingga seratus meter.

Keempat, segelas mie instan di pagi hari seusai hujan deras. Diwan yakin, meskipun ada yang menawarinya satu paket makanan di restoran michelin secara gratis, ia bakal menolak. Rasa gurih, kenyal, dan aroma daging yang dipadukan dengan sedikit sayuran kering dan kuah hangat—merupakan sesuatu yang mencerahkan senyumnya, bahkan saat hari-hari sulit di kantor. Sebenarnya ia tak mau makan sering-sering, takut jika ia terus-terusan, cita rasa khasnya bakal lenyap.

Kelima, pena dan kertas. Semenjak listrik semakin susah ditemui di dataran tinggi, Diwan beralih ke medium lain demi menumpahkan segala isi pikirannya. Terkadang, di bawah birunya langit, ia akan menulis beberapa bait puisi, merekap jurnal perjalanannya, atau mencatat hal-hal penting yang perlu ia kerjakan esok hari. Ia kumpulkan semua kertas tersebut dalam satu tas berwarna coklat tua.

Kini, langit biru jarang muncul ke pelukan matanya. Akibat gaya gravitasi rembulan, lempeng tektonik di seluruh dunia tak kuasa menahan beban air yang bergesekan dengan patahan aktif. Sialnya lagi, ia hidup di daerah Cincin Api. Gempa datang silih berganti, begitu juga awan kelam dari perut gunung berapi di Pulau Jawa. Pria paruh baya itu merasa seperti sebuah telur di ujung tanduk—sedikit saja miring, maka ia akan jatuh. Ia terjebak di antara cengkeraman dua raksasa: Samudra Hindia dan Gunung Ijen.

Keenam, musik, apapun itu genrenya, yang penting enak di dengar. Memasuki bulan kelima semenjak rembulan menyimpang dari orbitnya, Diwan merindukan genjrang-genjreng, gesekan biola, melodi EDM, lagu dangdut, dan masih banyak lagi. Dulu, dengan satu tombol, lelaki itu dengan mudah mendengarkan variasi musik via pelantang suara. Kini, dengan langkanya listrik, ia berinisiatif pergi ke alam liar, mendengarkan derai hujan asam, debur air pasang, atau cerau dari badai petir.

Ketujuh, keberadaan seorang teman yang ramah, jujur, dan asyik diajak bicara apapun. Hidup menyendiri di gua ternyata lebih menjadikannya paranoid, alih-alih dipenuhi kejenjaman. Ia menyesali keputusan impulsifnya mendekati bulan kesembilan—meninggalkan kumpulan penjarah, musafir, dan keluarga-keluarga kecil di bawah gunung. Ia tak berharap banyak bahwa mereka bakal memahaminya, tetapi ia tak mau hidup seperti gelandangan atau pertapa, setidaknya tidak menjelang akhir dunia. Sampai di titik ini, dua manusia lebih baik daripada satu—namanya juga makhluk sosial.

Kedelapan, bisa merebahkan diri di tempat tidur yang nyaman. Begitu suhu permukaan bumi menurun, sandang menjadi komoditas utama dalam perdagangan antar komunitas. Gas aerosol telah lama memalingkan bumi dari sinar matahari, kadang hingga berhari-hari. Diwan, di lain sisi, memiliki beberapa selimut bekas dari kamp pengungsian, dan itu saja masih belum cukup menerjang dinginnya musim kemarau di bawah cahaya merah-berkarat. Ia mesti keluar rutin dari guanya, mengumpulkan serpihan kayu, ranting patah, dan daun kering demi menghangatkan diri.

Kesembilan, menaruh telapak tangan di dada dan mengucapkan, "Aku memaafkanmu." tiap kali ia hendak tidur. Diwan menemukan cara tersebut begitu efektif membuatnya tidur lebih awal. Lelaki itu tak perlu lagi takut dihantui keputusan fatal dan kesalahan memalukan tiga atau lima tahun lalu. Tak ada gunanya juga memendam dendam pada mereka yang bahkan dia sendiri tak tahu nasibnya—hidup, mati, atau sekarat.

Kesepuluh, mati dengan tenang dan cepat. Ya, yang terakhir itu merupakan impian terakhirnya. Untuk mampu meninggalkan dunia dalam keadaan berdamai dengan setiap kerugian dan keberuntungan, tanpa beban, tanpa rasa sakit. Satu kali hantaman, lalu semuanya berakhir. Namun, Semesta sepertinya masih punya rencana untuk Diwan.

Kiamat ternyata tak seramai yang Diwan bayangkan.

Biasanya, orang awam akan bergidik ngeri mendengar ceramah para pemuka agama, membayangkan huru-hara bencana, dan kematian secepat kilat yang menyambar seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Bahwa saat hari akhir merayap ke permukaan, semua orang bakal sibuk mengurus dirinya masing-masing. Bumi memuntahkan segala isi dan kandungannya, lalu manusia lenyap dari eksistensi dalam sekali kedip.

Diwan tak kuasa mengatupkan mulutnya begitu melihat langit keesokan harinya.

Bagai barisan guci yang menghantam tanah, rembulan terpecah-belah menjadi ribuan, bahkan jutaan puing—lambat laun menghiasi angkasa dengan lengkungan berkilau. 

Bukan, bukan lengkungan. 

Sebuah cincin raksasa.

-----

Yap, tema buat hari ini: 10 hal yang membuatmu bahagia. Perasaan dari kemaren ceritanya kalo ngga angst, ya horor kalo ngga menguras air mata. Promptnya udah bahagia gini, eh penulisnya malah ngebelokin ke arah lain, bener-bener emang wkwk. So, what do you guys think about this? Jangan lupa tekan bintang di bawah ini yaaa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro