Tulah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Petikannya lihai banget! Eh, Masnya kedinginan ya?"

Ah, Aura Sultanah rupanya.

Lintang menghentikan genjrangannya sejenak dan tersenyum simpul. Pandangannya beristirahat di sela-sela lekukan rok plisket kuning kehijauan milik seorang puan. Macam seorang putri Solo yang naik kereta kencana dari timun suri, kedua kakinya melangkah anggun di atas trotoar, syimagh bermotif jaring-jaring hitam-putih membalut kepala Aura—rumbai-rumbainya melambai pada Lintang. Sang puan baru saja menaruh satu lembar uang berwarna ungu kemerahan dalam mangkuk, dan seperti biasa, Lintang nyaris tertidur dalam pelukan matanya.

Ya, memang benar sekarang tubuhnya mengigil—walau hari sudah mulai beranjak dhuha. Kalau engkau tanyakan itu ke Lintang, ia akan menjawab jika ia tak mampu mengontrol sesuatu yang ada di luar kendalinya. Bahkan sweter rajut sehitam arang yang menutup leher sampai pinggulnya pun tak sanggup membendung hawa dingin. Gigi laki-laki itu tampak gemertak beberapa kali sebelum uap air berembus dari pintu bibirnya.

"Saya nggak apa-apa kok Mbak," kata Lintang berbohong, "cuma flu biasa." Baginya berbohong atau tidak sama saja, siapapun itu orangnya dan dimanapun tempatnya.

Perempuan itu pun menyahut, "Jangan bohong, mana ada flu di siang bolong sampai mengigil begitu." Aura tak sampai hati rasanya membiarkan gelandangan ini mengigil sendirian di tepi jembatan. Entah kenapa, wajahnya mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dia sendiri lupa namanya.

Aura kemudian melepas untaian syimagh di kepalanya, membiarkan rambut hitam legamnya menjuntai panjang seperti baru disiram hujan tadi malam. Lantas ia julurkan genggaman tangannya pada Lintang seraya menyeringai halus. "Ini untuk Mas, saya nggak tahan rasanya melihat seorang musisi berbakat harus menggigil di pinggir jalan," terang Aura.

"Waduh, makasih banyak lho Mbak," balas Lintang sembari mengalungkan syal itu di lehernya. "Saya nggak tahu harus membalas kebaikan Mbak dengan apa."

"Mendengar musik yang Mas mainkan saja sudah cukup buat saya," timpalnya terkekeh-kekeh seraya mengedipkan satu mata. Ah, betapa lentik bulu matanya! Kedua pipi Lintang menjadi merah semu karenanya, pandangannya mengekori sang puan yang sudah berlalu ke arah selatan jalan. Laki-laki itu pun kembali menggumamkan melodi gubahannya, nada demi nada, di antara lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki.

Lintang tak kuasa menahan diri untuk menumpahkan gejolak rasa dari dadanya. Ia tahu, begitu ada orang yang mengajaknya berbicara, ia tak boleh goyah sedikit pun. Sebab orang takkan sudi meliriknya jika sedikit saja ia naik pitam, berderai air mata, atau melolong memohon bantuan. Nyaris semua orang, berapa pun usianya, pastilah ingin melihat dirinya yang energik dan penuh dopamin. Mereka mendambakan melodi kejenjaman, bukan cambukan badai.

"Petikannya lihai banget! Eh, Masnya kedinginan ya?"

Laki-laki itu seketika memalingkan wajahnya kembali ke arah selatan. Ia sering lupa waktu ketika fokus menggubah lagu-lagunya. Kini ia menemukan sebuah tas plastik hitam bertengger dalam genggaman Aura Sultana. Sepertinya gadis itu baru saja membeli sesuatu.

Aura, apa kau masih mengingat namaku?

Kali ini Lintang mencoba menahan senyumnya dalam satu pose. "Saya nggak apa-apa, kok, Mbak, Cuma flu biasa."

"Jangan bohong, mana ada flu di siang bolong sampai mengigil begitu."

"Benar kok, Mbaknya nggak perlu khawatir, tadi ada orang baik yang memberi saya ini," timpal Lintang seraya menunjuk syimagh yang ia kenakan.

Aura mengamati syimagh tersebut baik-baik. "Oh, 'gitu, ya? Saya kebetulan juga punya beberapa lho di rumah. Rumah saya di sana," ujar wanita berusia seperempat abad itu seraya menunjuk ke arah utara.

Di seberang jalan, sebuah rumah bertingkat dua dengan menara kecil di atasnya menjulang tinggi. Tepat di sebelah kanannya, berdiri satu gapura minimalis bertuliskan Kampung Ramadhan yang membuka jalan nirnama—rute sepanjang satu kilometer yang menyisiri garis tepi pesisir utara Pulau Jawa. Nanti, jika ia berjalan terus tanpa henti selama kurang lebih lima belas menit, kakinya akan sampai pada pangkal semananjung mini yang dibangun dari batu-batu pantai.

"Kalau mau, mampir aja Mas." Lamunan Lintang lantas pecah. Ia tahu Aura bekerja paruh waktu menjadi faceless streamer di Youtube, sering menerima surat dari para penggemar dan membantu mereka menyelesaikan masalah di rumah. Ya, walaupun tidak banyak yang bisa dia lakukan. 

Semenjak gadis itu berpisah dari mantannya, Lintang hanya ingin berteriak dan memeluknya. Namun sampai Aura mengucapkan namanya kembali, Lintang tahu ia hanya membangun kastel pasir yang dalam sekejap tersapu ombak. Sia-sia saja.

Ia menganggukkan kepala dan tersenyum. "Bakal saya pertimbangkan, makasih ya Mbak."

Aura tersenyum balik padanya. "Saya duluan, ya." Dia lantas pergi, menggumamkan versi yang berbeda dari nada-nada lagu gubahan Lintang.

Kini Lintang Punarbawa memang tak memiliki apa-apa selain sweter rajut, celana, dan gitarnya, tetapi senyumnya tak pernah selebar ini.

------

Guess what, tema hari ini juga soal cinta. Sepertinya akhir-akhir ini emang banyak cinta bertebaran, huhu.

Kita diminta bikin songfic dari lirik lagu yang di-generate oleh website https://theselyricsdonotexist.com, dengan temanya diisi Love, genre-nya bebas, mood-nya bebas. Terus kupilih tuh genre pop, mood very sad (maaf penulis sukanya yang hiks hiks daripada haha-hihi). Inilah yang kudapet.

Gimana menurut kalian guys? Jangan lupa tekan bintang dan komen di bawah, apakah kiranya aku sudah benar dalam menginterpretasikan lirik random ini ehehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro