01 ~ Terjerumus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup itu tentang pilihan.
Jika ingin yang satu, bisa melepaskan lainnya.
Namun, jika keduanya bisa berjalan bersama,
kenapa tidak mencobanya?

(Sabiru Anggara)

🍁🍁🍁

Matahari sudah mulai merangkak dan sinar hangatnya pun menembus kamar yang berada di lantai dua. Sang pemilik kamar rupanya tidak terganggu dengan silau sinar yang menerpa wajahnya. Dia masih saja terbungkus selimut dan melanjutkan tidurnya.

"Dek, masa belum bangun, sih? Ini hari pertama kerja, loh!" suara lembut wanita berusia hampir setengah abad itu mengganggu si pemilik kamar.

"Bentar lagi, Bu!" Si pemilik suara menarik memiringkan badan dan membenahi selimutnya supaya naik hingga sebatas dada.

"Ayah sama Bang Lano sudah nungguin di meja makan. Lagian ngapain juga abis Subuh tidur lagi? Nolak rejeki itu namanya, Dek!"

Ketika disinggung soal rezeki, Sabiru Anggara yang sejak tadi bergelung di bawah selimut lantas terduduk dan memajukan bibirnya. Baju koko dan sarung yang masih melekat di tubuhnya mulai dilepaskan satu persatu.

"Ibu ngapain masih di sini? Mau lihat Biru ganti baju?"

"Kalau iya kenapa? Malu sama ibu?"

"Wahai Ibunda Dewi Jelita, maafkan Ananda Biru yang lancang, bisakah tunggu di bawah saja? Ini bisa-bisa lama kalau ditungguin, Biru nggak tahan sama Ibu kalau dah ngomel panjang!"

"Dasar bocah labil! Ingat, kamu itu sudah diterima jadi guru, jaga sikapnya! Ibu tunggu, nggak pakai lama!"

Biru tidak menjawab dan memilih merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Lelaki itu meniupkan napasnya kasar dan menerbangkan beberapa helai rambut yang menghalangi pandangan matanya.

Beberapa barang yang berserak di lantai dan di mejar dibiarkan begitu saja. Bungsu dari dua bersaudara itu masih saja kesal dengan keputusan ayah dan ibu yang menempatkannya di sekolah milik salah satu teman sang ayah.

"Nggak mau jadi sarjana malah dipaksa masuk psikologi. Kirain setelah lulus bakal dicarikan tempat praktek untuk jadi psikolog ternama, ternyata malah dilempar ke sekolah yang siswanya panen kasus. Tuhan apa dosa hamba?" gerutu Biru sembari memasukkan beberapa laptop dan beberapa barang lain ke dalam tas ranselnya.

"Biru!" teriak ibunya dengan keras.

Biru berlari menuruni tangga, dia tidak ingin mendengar teriakan sang ibu untuk kedua kalinya. Karena jika itu terjadi biasanya hal buruk akan menghampirinya sepanjang hari. Percaya atau tidak, begitulah yang sering terjadi padanya dan kakaknya, Delano.

"Ibu jangan teriak lagi, Adek sudah di sini. Nggak mau 'kan anak kesayangannya ini kena sial sepanjang hari?"

Belum juga membalas ucapan si bungsu, Ibu Negara keluarga Anggara itu melirik tajam pada dua laki-laki yang tampak sibuk menyembunyikan tangan di bawah meja.

"Ayah? Abang? Kalian taruhan lagi? Uang haram loh itu! Kebiasaan banget kalau udah Ibu debat sama Biru kalian pasti begitu. Kualat baru nyaho kalian!"

"Yah, Bu. Jangan didoakan kualat dong, ini Ayah yang mulai, bukan Abang," kilah Lano.

"Bang Lano yang mulai, Bu. Ayah biasanya mah nurut-nurut saja sama Bang Lano," cibir Biru pada Delano

Persekongkolan ayah dan anak yang sangat sering terjadi. Memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan sesuatu. Namun, sepertinya itu hanya akal-akalan Bang Lano saja untuk mendapatkan uang jajan tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk apa pemilik kafe terlaris di kota masih butuh uang jajan?

Setelah beberapa babak drama yang terjadi selama sarapan bersama anggota keluarganya, Biru kini menghentikan motornya dan menatap gerbang tinggi bertuliskan sebuah nama SMA swasta ternama di kotanya.

Sekolah yang sering menjuarai beberapa kompetisi, tetapi juga memiliki catatan kasus dengan kategori parah. Biru menoleh saat satpam memanggil dan memberi kode untuk terus masuk ke area parkir di halaman paling depan.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Pak Rudi ada? Saya mau bertemu dengan beliau."

"Bapak masuk lewat pintu samping sebelah sana, dari sana akan ada tanda untuk menuju ruang kepala sekolah."

Setelah paham, Biru berjalan perlahan menikmati suasana asri dan sejuk saat melewati jajaran pohon sebelum masuk melalui pintu samping. Ketenangan itu ternyata hanya sebentar, suara sorak-sorai beberapa siswa dan jeritan beberapa siswi membuat Biru mempercepat langkahnya.

Tepat di depan tempat parkir siswa yang bersebelahan dengan pintu samping, terdapat segerombolan siswa. Mereka membentuk lingkaran dan hanya memandangi dua orang siswa sedang baku hantam.

Biru berusaha menembus barikade dan berusaha melepaskan rengkuhan keduanya. Bukannya terlepas, justru sebuah pukulan mampir di dagunya. Hal itu membuat jiwa muda Biru meronta.

"Berhenti!" Suara keras dan berat itu rupanya mampu menarik perhatian dua objek yang berkelahi itu.

"Kamu siapa? Ngapain berhentikan mereka, sih? Tanggung banget, bentar lagi dah masuk." Siswa dengan anting berwarna hitam itu bersuara keras.

"Sudah tahu temannya kelahi masa cuma ditontonin aja bukannya dipisah, kalian ini teman apa bukan?" balas Biru dengan suara bergetar.

"Suka-suka kita, lagian ngapain juga ikut campur? Ini urusan saya, biar diselesaikan sendiri secara laki-laki." Bocah laki-laki dengan rambut berwarna merah darah itu melepaskan tangan rivalnya dan mendekat pada Biru.

Biru berdecak kesal, sekilas rambut anak lelaki itu tampak hitam, tetapi begitu terkena sinar matahari, warna merahnya akan terlihat lebih terang. "Nggak usah banyak ngomong, kalian berdua antar saya ke ruang kepala sekolah!"

Dua anak lelaki yang berkelahi itu terpaksa mengikuti Biru karena tarikan tangan dari si orang asing ini membuat mereka tak berkutik. Tidak berapa lama, suara bel menggema di seantero sekolah membuat kerumunan terurai.

Biru masih mencengkeram erat lengan dari kedua anak lelaki itu. Meski beberapa kali berusaha untuk melepaskan diri, ternyata usaha mereka tidak membuahkan hasil.

"Itu ruang kepala sekolah, sekarang bisa lepasin nggak? Kita mau ke kelas," ujar anak di sisi kanan Biru.

"Nggak bisa. Masuk sana!" perintah Biru sambil mendorong keduanya ke dalam ruang kepala sekolah.

"Kalian sedang apa di sini? Bukannya ke kelas malah di sini." Seorang lelaki berpakaian seragam berwarna khaky menyambut tiga lelaki berbeda usia itu.

"Mohon maaf, Pak. Saya yang membawa mereka ke sini. Perkenalkan nama saya Sabiru Anggara. Putra dari Bapak Anggara Prastiawan," ujar Biru sambil mengulurkan tangannya.

"Mas Biru, ya? Saya Rudi, Rudi Hardian. Selamat datang di SMA Pahlawan Bangsa. Sebentar, kenapa membawa mereka ke sini? Ini sudah jam masuk kelas."

"Mereka berkelahi, di depan area parkir siswa."

"Kalian ini nggak ada kapoknya, ya? Masih saja berkelahi! Kali ini apa yang kalian perebutkan? Lahan parkir?"

"Dia berbuat mesum sama anak kelas bahasa, Pak ."

Begitu yang satu mendapat kesempatan menjawab, terjadilah aksi sahut-menyahut dari kedua siswa tersebut. Tidak tahan pada kegaduhan itu, Pak Rudi memanggil salah satu wali kelas untuk membawa keduanya dan menindak tegas perbuatan keduanya.

Diam-diam Biru mengamati tingkah laku kedua siswa tersebut. Meski ada rasa kesal, lelaki itu menaruh iba saat menatap dalam-dalam manik mata dua siswa tadi. Ada sorot mata yang berbeda terpancar membuat Biru kembali memikirkan untuk tetap bertahan.

Dari semua keluarganya, hanya Biru yang dituntut dan diarahkan untuk menjadi guru. Sementara sang kakak dibebaskan dan berkesempatan untuk menentukan pilihan masa depannya sendiri.

Saat Biru bertanya mengapa dia dibedakan, baik ayah maupun ibunya justru memintanya untuk menemukan sendiri jawaban dari pertanyaannya itu. Satu hal yang dia pikirkan, ibunya tukang suntik, ayahnya tukang tulis, dan kakaknya tukang kopi, lalu mengapa hanya dirinya yang digiring menjadi guru dan diminta menangani anak-anak bermasalah? padahal dia ingin menjadi pengusaha makanan supaya bisa mendampingi usaha sang kakak.

🍁🍁🍁

Selamat berkenalan dengan Sabiru Anggara
😘🥰😍

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 1

Bondowoso, 01 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro