02 ~ Belajar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Belajar itu tidak memiliki batas.
Batas waktu dan pada siapa kita belajar.
Bahkan jangan berhenti sampai nanti,
waktu yang menentukan kau harus berhenti.

(Sabiru Anggara)

🍁🍁🍁

Tidak sedikit orang tua yang pasrah begitu saja pada pihak sekolah. Bahkan saat anaknya melakukan pelanggaran maka yang ditanyakan adalah pihak sekolah. Mereka mempertanyakan bagaimana cara mendidik anak sampai-sampai peraturan yang ada masih juga dilibas.

Namun, tidak sedikit juga orang tua yang mulai sadar bahwa pendidikan di dalam keluarga jauh lebih penting dan akan melekat dibandingkan pelajaran di jenjang formal. Meski begitu pertemuan seperti parenting class juga masih dibutuhkan untuk mengedukasi para orang tua.

Biru masih mendengarkan dengan saksama wejangan dari kepala sekolah. Meski hari ini hari pertamanya menjadi bagian SMA Pahlawan Bangsa (SMAPSA), tetapi dia sudah siap dengan segala kegiatan dan tugas yang disodorkan padanya.

"Mas Biru juga sudah pasti lebih paham bagaimana menghadapi karakter siswa yang beragam ini. Meski begitu saya harap Mas tidak hanya mengandalkan logika, tapi juga hati. Karena kepekaan hati itu jauh lebih berharga terutama bagi mereka yang memang masalah utamanya dari keluarga."

"Siap, Pak. Insya Allah saya akan berusaha sebaik mungkin, tapi saya tetap minta pendampingan dari guru BK lama atau wali kelas yang memang biasa menghadapi kasus mereka," pinta Biru.

Belum juga Pak Rudi menjawab, suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Sesosok laki-laki berkacamata dengan rambut belah pinggir memohon izin untuk bergabung.

"Mas Biru, ini Pak Ardan, beliau adalah wali kelas XI IPS. Beliau juga sering mendampingi anak-anak yang bermasalah."

"Sabiru Anggara."

"Rashanggara Ardana," balas Pak Ardan sembari menjulurkan tangannya membalas jabat tangan dari Biru.

"Pak Ardan sibuk? Kalau memang lagi kosong bisa menemani Mas Biru untuk berkeliling dan berkenalan dengan warga sekolah kita," titah Pak Rudi.

"Jam ngajar masih nanti, di jam kedelapan, Pak."

Setelah Pak Rudi mempersilakan Biru dan Pak Ardan keluar ruangan, Pak Ardan lantas membawa Biru ke ruang guru dan mengenalkannya pada beberapa guru yang sedang bebas jam mengajar.

Sewajarnya anggota baru, mereka banyak bertanya tentang latar pendidikan dan pengalaman Biru di dunia pendidikan. Biru menjawabnya dengan sangat canggung karena ini adalah langkah pertamanya memasuki dunia pendidikan.

"Pak Biru, mari saya antarkan ke ruang konseling supaya bisa beristirahat."

"Huft, Mas Ardan menyelamatkan saya. Jujur saja saya kelabakan meladeni pertanyaan dari guru-guru tadi. Boleh saya panggil Mas saja? Masa masih muda sudah dipanggil Bapak, sih?

"Sesukanya Pak Biru saja."

"Waktu di ruangan kepsek tadi, Pak Rudi nyebutin beberapa nama siswa yang langganan masuk buku catatan pelanggaran. Itu semacam tradisi apa emang selalu bermasalah?"

Pak Ardan membuka pintu ruang konseling dan mengajak Biru untuk duduk terlebih dahulu. Biru yang masih merasa canggung hanya diam dan mengamati gerak-gerik Pak Ardan.

"Setiap saya menangani siswa, itu pasti ada hubungan sebab-akibat. Nah, di sini yang paling sering adalah masalah keluarga. Kebanyakan seperti itu."

Pak Ardan duduk di hadapan Biru dengan dibatasi sebuah meja kaca yang ditutup dengan taplak batik. Dua buah botol air mineral tersaji di atas meja.

"Aa, begitu. Permasalahan seperti pada umumnya."

"Namanya juga anak muda, pasti ada proses pencarian jati diri juga. Kadang terpengaruh teman, lingkungan, kadang hanya ikut-ikutan saja."

"Pengalaman banget, Mas?"

"Pak Biru kayak nggak pernah melewati masa seperti mereka."

Biru hanya terdiam dan mengulum senyumnya. Ada getir yang dirasakan dalam hatinya. Pemilik manik mata hitam itu mengambil sebotol air dan meneguknya untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokannya.

"Gimana cara menaklukkan mereka?"

"Mereka nggak liar, hanya butuh perhatian. Mereka juga nggak buas, cukup beri kasih sayang. Mereka juga nggak buta, jadi akan tahu mana yang tulus sepenuh hati dan mana yang hanya pencitraan."

"Ajari saya untuk mengenal mereka lebih baik. Kadang saya masih sering terbawa emosi untuk menyelesaikan masalah."

Biru berujar lirih pada akhir kalimatnya. Dia merasa tidak becus karena sudah bertahun-tahun mendalami ilmu psikologi, tetapi tidak bisa menerapkan pada dirinya sendiri.

Setidaknya, dari percakapannya bersama Ardan, dia bisa belajar untuk lebih baik lagi dalam mengenal anak didiknya. Tidak bersikap serampangan dan juga seenaknya sendiri.

Ini masih hari pertama, tetapi terasa begitu melelahkan. Betapa tidak melelahkan jika lebih dari delapan jam berkutat dengan urusan sekolah. Bahkan di hari pertamanya saja Biru pulang hingga matahari sudah condong ke barat. Dia ditodong untuk menjadi salah satu koordinator di acara Dies Natalis SMAPSA ke-25.

Lelaki bungsu itu membelah jalanan dengan motor matic kesayangannya yang berwarna biru. Jarak antara rumah dan sekolahnya hanya berjarak sekitar 30 menit jika ditempuh dengan motor. Itu termasuk dekat jika dibanding Ardan yang harus menempun 90 menit perjalanan.

Halaman rumah dengan pagar bercat cokelat sudah tampak terang. Lampu-lampu taman pun sudah menyala. Hamparan rerumputan dan beberapa tanaman tampak segar, begitu juga dengan tanah yang masih tersisa jejak guyuran air hujan.

"Asalamualaikum, anak ganteng sudah pulang dari bertugas!"

"Wa alaikum salam, cepat bersih-bersih, kita tunggu di musala." Anggara Prastiawan si kepala keluarga sudah siap untuk melaksanakan salat Magrib.

Di belakang Ayah Awan-panggilan Anggara Prastiawan-seorang perempuan dengan mukena putih menjulurkan kepalanya untuk melihat si bungsu yang baru menaiki tangga.

"Bajunya langsung masukkan keranjang cucian, jangan berantakan naruhnya!"

"Sendiko dawuh, Ibu Dewi Jelita!" teriak Biru dari lantai atas.

Begitu selesai menyelesaikan kewajibannya, keluarga ideal berdasarkan program pemerintah yang bersemboyan dua anak cukup itu berlanjut dengan makan malam. Setelahnya barulah mereka memanfaatkan waktu senggang yang benar-benar langka ini.

Biasanya, Ibu Dewi sering lembur dan pulang hingga larut malam dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sedangkan Ayah Awan, selepas makan malam akan semedi di ruang kerjanya untuk membenahi tulisannya atau menulis untuk blognya.

Namun, malam ini terasa berbeda. Semua anggota keluarga lengkap dan sudah di rumah bahkan sebelum Biru sampai. Bang Lano yang biasanya menunggu kafe tutup nyatanya juga sudah menunggu kedatangan adiknya ini.

"Gimana pengalaman hari pertama? Aman?"

Kepala keluarga Anggara itu mengambil tempat di sofa bersama sang istri. Sementara kedua anak lelakinya duduk lesehan sambil menikmati kripik singkong

"Aman apanya, Yah? Baru nyampe udah ngadepin bocah-bocah gelut!"

"Dipisahin, Dek?" tanya Bang Lano dengan mulut mengunyah kripik.

"Ya, masa mau dibiarin gelut, Bang? Gimana, sih?" Ibu Dewi Jelita menyela kedua putranya.

"Kudunya jangan dipisahin, Bu. Soalnya berjuang sendirian itu nggak enak, apalagi bertepuk sebelah tangan, rasanya itu sakit, iya 'kan, Dek?"

"Situ curhat, Bang? Ye, kali lihat orang gelut nggak dipisah. Nih, Adek dapat cinderamata di hari pertama kerja!" tunjuk Biru pada dagunya yang memar karena bogeman salah satu siswa.

Tidak banyak bicara, Ibu Dewi bergegas mengambil kotak P3k untuk mengobati memar si bungsu. Ayah Awan hanya memegang dagu si bungsu dan menekannya dengan kuat.

"Wadaw! Sakit, Yah!"

"Gitu aja, Dek. Bang Lano pernah bocor di kepala gara-gara ketimpuk batu pas main nggak apa-apa."

"Ssst! Adek mau tanya. Kenapa nama abang itu singkat banget, Delano aja, tapi nama Adek pakai Anggara? Berat tau, Yah, bawa-bawa nama Ayah!"

"Kakek kamu yang suruh. Pas kecil itu nama kamu juga singkat, Sabiru saja, tapi pas kecil sering sakit-sakitan dan Kakek nyaranin pake nama Ayah di belakang namamu. Lah, kok malah berkurang intensitas sakitnya."

"Mitos, Yah!

"Protes sama Kakek aja, jangan sama Ayah!"

"Terus, kenapa cuma Adek saja yang diatur harus sekolah di sini, harus kerja di situ, harus begini, harus begitu. Sedangkan Bang Lano sekadar lulusan SMK saja tapi diizinkan buka usaha dan nggak nerusin jadi sarjana."

"Ayah sama Ibu pasrah sama Bang Lano, soalnya dia memang bisa dilepas, tapi Adek itu beda, Ibu berat buat ngelepasin," ujar Ibu Dewi sambil mengoleskan salep memar di dagu si bungsu.

Merasa ada yang membela, Lano menjulurkan lidah mengejek Biru. Tidak tinggal diam, Biru mengambil tutup stoples plastik dan melemparkannya pada sang kakak. Biru terbahak karena lemparannya tepat sasaran dan hinggap di wajah Lano.

Acara kumpul keluarga itu segera berakhir karena sudah larut malam. Biru menimbang dan masih berpikir tentang beberapa hal. Tidak berapa lama, Biru mengetikkan sebuah pesan pada aplikasi whatsapp-nya

Me :
Asalamualaikum, Mas.
Maaf mengganggu istirahatnya.
Kalau besok minta tolong ditemani cari indekos sekitar sekolah, bisa?


Smapsa Mas Ardan:
Wa alaikum salam, bisa, Pak.
Kebetulan besok saya ada jam kosong.


🍁🍁🍁

(Motor matic birunya Pak Biru)
Ada yang mau duduk di boncengan? Masih kosong, loh!

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 2

Bondowoso, 02 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro