MEMORIES 08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Inggit sadar suaminya tidak suka, tetapi sungguh niatnya hanya ingin membuat perayaan kecil. Hanya keluarga dekat yang diajak. Apa yang membuat Anjas bersikap seperti itu?

"Mas, maaf. Aku cuma pengen kamu senang. Nggak ada niat lain, kok," bisik Inggit sambil tetap tersenyum.

Anjas akhirnya juga tersenyum, dia akan bahas semuanya di rumah. Akhirnya perayaan berakhir sempurna. Semua kenyang dan bahagia. Mungkin terkecuali bagi Anjas dan Inggit.

Dalam perjalanan pulang Anjas tidak banyak bicara, suasana dalam mobil jadi canggung. Tanti yang menangkap kejanggalan itu tidak tinggal diam.

"Njas, kalau mau rumah tangga lancar segalanya, nanti Ibu temenin ke Bu Ageng. Siapa tahu ada cara buat rumah tangga kalian. Apalagi Inggit belum ada tanda-tanda ngidam."

Keterlaluan, Inggit sangat tersinggung karena kalimat Tanti. Sedangkan Anjas hanya diam saja. Baru saja mereka merasa senang, tetapi berakhir dengan kekecewaan. Tidak ada yang menanggapi.

"Tidak ada salahnya mencoba saran Ibu." Barjo menambahkan dengan mendukung ide Tanti.

Tentu saja akan begitu. Mereka selalu datang ke Bu Ageng setiap ada masalah. Bahkan saat seharusnya periksa ke dokter, meraka malah ke Bu Ageng. Melakukan semua hal yang disuruh tanpa berpikir benar atau salah.

Anjas menyetir dengan tenang hingga sampai di depan rumah orang tuanya. Tak menunggu lama mereka langsung pamit pulang. Barjo mengucapkan terim kasih pada Inggit sebelum dia memasuki mobil.

"Sama-sama, Pak. Kami pamit. Asssalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Mobil meluncur mulus membelah kota Semarang yang mulai lengang. Inggit melihat jam tangannya, waktu menunjukkan sudah hampir tengah malam.

"Mas."
"Aku lagi nyetir, kita bicara di rumah aja." Respon Anjas membungkam Inggit.

Begitu memasuki rumah, Inggit mencoba bicara lagi. "Mas, kita harus bicara sekarang." Inggit tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Dia ingin saat mereka memasuki kamar semua masalah sudah clear.

"Git, kamu tahu nggak perasaanku gimana?" tanya Anjas dengan tatapan tajam.

"Ya, aku pikir kamu senang, aku kasih kejutan makan bareng keluarga kamu."

Tatapan Anjas makin tajam dan emosi. Semua reaksi ini tidak sesuai dengan espektasi Inggit. Selama ini acara makan bersama di rumah mertua, Anjas tidak pernah ada masalah.

"Git, seharusnya kamu berpikir suamimu ini bekerja sebagai apa dan penghasilanku berapa. Mereka berpikir kalau kamu yang jadi tulang punggung keluarga, bukan aku. Restoran dengan makanan semahal itu, tidak mungkin pakai uangku. Maksud kamu apa, sih? Pengen dipandang hebat? Pengen orang tahu penghasilan kamu lebih banyak?"

Inggit serasa bukan Anjas yang sedang berbicara. Kenapa jadi seperti ini caranya berpikir? Pernikahan mereka baru beberapa bulan, satu kewajaran karena masing-masing masih beradaptasi. Apalagi mereka tidak berpacaran lama. Inggit menarik napas dalam lantas mengembuskannya perlahan. Jangan sampai dia terpancing emosinya, karena akan memperkeruh suasana.

"Maaf kalau tindakanku membuat kamu tersinggung. Tapi sungguh aku tidak ada niat lain selain membuat kamu dan keluargamu senang di hari ultahmu." Inggit merasa dituduh, dia tidak pernah merasa lebih unggul dari Anjas.

Anjas melihat luka di mata Inggit. Mungkinkah dia sudah keterlaluan, menuduhnya tanpa alasan. Setelah lama saling terdiam, Inggit meninggalkan Anjas di ruang tamu. Keduanya perlu waktu berpikir, memilah semua hal yang sudah terjadi.

Anjas menyusul Inggit ke kamar. Dia sadar terlalu berpikir buruk. Pintu kamar terbuka, artinya Inggit masih membuka hati meskipun sempat terluka. Dihampirinya Inggit yang berdiri di depan jendela. Di luar tampak pemandangan lampu kota Semarang, dan bintang sebagai penghias langit malam.

Anjas meraih pinggang Inggit, memeluknya erat dari belakang. Amarah dan kesal yang ditahan sempat membuat Inggit untuk menghindar. Namun, pelukan ini terasa hangat dan sayang jika dilewatkan. Inggit memejamkan mata, meleburkan semua marah yang ada.

Reaksi Inggit yang mengelus lengannya menjawab semua keraguan Anjas untuk terus maju.
"Maafin aku." Dua kata yang dijawab Inggit dengan berbalik badan lalu memeluknya erat.

Inggit tidak ingin Anjas marah, sungguh dia ingin mereka bahagia dan berpelukan seperti ini sampai kapanpun. Mendengar debar jantung yang seirama dengan napas yang terembus.

Anjas melepaskan pelukannya, menatap mesra Inggit yang masih ragu untuk menatapnya balik. Rupanya Inggit masih merasa bersalah. Anjas menangkupkan kedua tangan pada wajah ayu di depannya, menyapu pelan pipi halusnya.

Setelahnya Inggit memejamkan mata. Memberikan akses pada Anjas untuk melakukan hasratnya. Bibir mereka bertemu penuh perasaan. Tangan Anjas berpindah ke tengkuk Inggit dan menahannya di sana. Tangan satunya menahan pinggang sang istri supaya lebih nyaman posisinya.

Angin malam menjadi saksi mereka berdua. Pasangan halal yang baru beberapa bulan menjalani biduk rumah tangga, mampu menyelesaikan masalah dengan kasih sayang, bukan pertengkaran.

***

Inggit menunggu Agan selesai menemui tamu, kartu member Restoran Renjana dia siapkan ke dalam kantong jas. Hatinya  masih tidak tenang meskipun hubungannya dengan Anjas sudah membaik.

Agan yang sesekali melirik ke meja Inggit, menangkap ada yang tidak beres. Beruntung tamu itu segera pulang.

Agan sengaja berlama-lama di mejanya setelah tamu itu pulang. Dia menunggu Inggit yang masuk ke ruangannya dan menjelaskan apa yang terjadi. Meskipun kalau boleh jujur, ingin sekali Agan menghampiri Inggit dan bertanya langsung.

Lagi dan lagi Agan yang harus tahu diri, karena Inggit sudah bersuami. Inggit sendiri makin tidak tenang. Akhirnya dia mengetuk pintu ruangan Agan.

"Masuk, Git," perintah Agan tanpa menunggu lagi.

"Maaf, Pak. Saya cuma mau balikin kartu ini." Inggit menyodorkan kartu member Agan.

"Gimana? Mereka senang? Tujuan kamu berhasil, dong."

Pertanyaan Agan membuat Inggit terdiam. Mukanya tidak sedih tetapi juga tidak senang.

"Ada apa, Git?" tanya Agan dengan suara berat dan lembut di telinga. Tatapannya fokus  mengarah pada Inggit.

Pada siapa lagi Inggit mencurahkan kegundahannya? Dia bingung Agan adalah laki-laki, dan apa pantas, meskipun selama ini dia baik, perhatian, dan semua dilakukannya dengan batas tertentu. Batas yang diciptakan Agan setelah Inggit menikah tiba-tiba dengan Anjas.

Agan tidak sabar menunggu Inggit. Jelas sekali ada masalah, dan sikap Inggit tadi sudah mengganggu pkkirannya.

"Git, ada apa? Cerita aja, nggak usah mikir macam-macam. Kamu butuh orang buat jadi pendengar, aku bersedia. Bahkan membantumu seperti dulu, aku juga bisa. Tetapi ...."

"Saya tahu batas itu," gumam Inggit lirih.

Agan menoleh dan mengikuti Inggit yang melangkah keluar dengan tatapannya. Tangannya mengepal, kesal pada dirinya sendiri, karena ketidakmampuannya.

***

Ups, maaf ada adegan bikin ngiri. Gak apa-apa, kan? Mereka halal lakuin itu. Untuk kalian yang masih jomlo, tunggu waktunya saja.

Alhamdulillah, bisa update. Bersyukur selalu meskipun waktu terus berpacu. Semangat!!

Oiya, selamat merayakan Idul Adha bagi kita umat muslim.
Semoga kita selalu sehat, dilancarkan rizky, dan sukses semua planning yang sudah tersusun.
Aamiin.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro