MEMORIES 09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makin hari Inggit merasa ada sekat antara dirinya dan Anjas. Ada ketakutan melakukan hal yang nantinya akan menyinggung harga diri Anjas. Dia tak habis pikir, kenapa Anjas harus berpikir seperti itu?

Sejak saling kenal lalu pacaran, Anjas sudah tahu Inggit bekerja dengan penghasilan lebih besar darinya. Dulu tidak ada masalah, karena memang Inggit tidak pernah keluar uang sepeserpun.

Sekarang saat Anjas ulang tahun, wajar kalau Inggit sebagai istri ingin memberikan sesuatu sebagai kado. Hanya saja kadonya tidak biasa, karena niatnya untuk menyenangkan hati keluarga Anjas juga. Tetapi apa yang Anjas pikirkan bertolak belakang dengan niat Inggit.

"Git, hari ini sibuk?" tanya Anjas lalu meneguk teh hangat yang baru saja disuguhkan.

"Lumayan, Mas. Ada order yang harus cepat selesai produksinya. Padahal di bagian produksi lagi panjang daftar antriannya." Inggit menyeruput teh bagiannya.

Suasana jadi canggung bagi Inggit, sedangkan Anjas merasa biasa saja. Bagi Anjas malam itu sudah selesai semua masalah.

Bagi Inggit belum karena setelah kejadian itu dirinya takut. Takut saat menggunakan uangnya untuk keperluan rumah, atau membelikan sesuatu, Anjas akan marah lagi. Seharusnya kejadian waktu ulang tahun itu tidak perlu terjadi kalau Anjas tidak berpikir macam-macam.

Anjas menangkap ada hal yang berbeda dari sikap Inggit. Istrinya tidak bisa terbuka seperti biasanya. Akhir-akhir ini seperti ada sesuatu yang menahannya untuk bicara atau melakukan sesuatu.

"Ada apa, Git? Aku tahu masih ada yang kamu pikirkan. Jangan disimpan sendiri." Anjas mengelus rambut Inggit lembut.

"Apa yang harus aku katakan? Kalau hati ini masih bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya suamiku? Kupikir selama ini aku sudah mengenalmu cukup baik, ternyata tidak." Kalau saja Inggit bisa mengucapkan itu semua. Nyatanya dia hanya bungkam.

"Nggak apa-apa, Mas." Jawaban Inggit pendek dan tidak menjelaskan apa pun.

Anjas tidak ingin mendesak, istrinya perlu waktu dan privasi yang berhak dia jaga. Selama ini tidak ada yang aneh-aneh dari sikap Inggit. Mereka saling mencintai dan tidak ada masalah berarti.

Namun sayang, Anjas tidak tahu segalanya. Mereka masih butuh waktu lagi untuk mengenal lebih dalam. Sepertinya mereka harus pergi berdua lagi ke suatu tempat, untuk bicara dari hati ke hati. Anjas akan merencanakan semuanya, demi kebahagiaan istrinya

***

Sikap Inggit di kantor sudah kembali lagi seperti biasa. Dia sadar kalau masih memikirkan soal Anjas, pekerjaannya akan kacau. Agan akan bertanya lebih dari satu kali untuk memastikan dia baik-baik saja. Bosnya itu pasti khawatir tugasnya tidak selesai dengan baik karena tidak fokus.

"Pak, berkas hari ini sudah siap. Tolong tanda tangan segera, ya." Inggit meletakkan beberapa lembar tanpa duduk dulu.

"Duduk dulu, Git! Aku perlu membacanya dulu, cuma sekilas aja, kok." Agan berusaha bersikap seperti biasa juga. Jangan sampai dia kelihatan memperhatikan perubahan asistennya. Bagaimanapun juga mereka sudah kenal lama.

"Setelah kirim berkas ke bagian produksi, langsung ke sini lagi. Ada hal yang perlu aku diskusikan."

Inggit mengangguk lalu beranjak dari ruangan Agan.

"Git, ingat langsung ke sini!"

Agan mungkin lebih mengenal Inggit dibanding Anjas. Tetapi keberuntungan Anjas lebih darinya. Buktinya Inggit memilih Anjas jadi pendamping hidupnya. Agan akan mencoba jadi pendengar lagi bagi Inggit. Siapa tahu ada saran yang bisa diberikan untuk memperbaiki suasana hatinya.

Seharusnya kamu tidak lakukan hal itu, Gan. Inggit sudah punya suami bagaimanapun kondisinya. Masalahnya harus diselesaikan hanya dengan suaminya. Jangan pancing dia untuk cerita masalahnya sama kamu.

Pikiran itu mengganggu batinnya. Apa mungkin seharusnya dia biarkan Inggit menyelesaikan masalahnya sendiri? Lantas, kalau sampai tidak fokus bekerja siapa yang rugi? Agan tidak ingin seperti itu akibatnya. Dia bisa lakukan sesuatu hanya untuk memperingan saja.

"Pak." Ketukan pintu membuyarkan lamunan Agan. Rupanya Inggit sudah balik lagi ke ruangannya.

"Ya, masuk."

Agan memang serius membahas soal tender baru. Hanya saja tender ini ada di luar negeri, dan dia ingin Inggit bisa ikut bersamanya. Tentu saja dengan ijin Anjas, dan ada beberapa orang dari tim yang ikut.

"Tapi, akhir-akhir ini saya sedang ada masalah, Pak. Saya takut kalau menyampaikan rencana ke Anjas, dia akan marah. Bahkan saya disuruh berhenti bekerja, tempo hari. Gara-gara acara ultah kemarin."

Agan tercekat, jujur ada rasa marah di hatinya. Dia sudah lama bekerja dengan Inggit. Dia juga yang lebih mengenal Inggit lebih dulu. Lalu sekarang mentang-mentang Anjas sudah jadi suami, seenaknya mau Inggit berhenti. Semua pikiran itu membuat Agan nyaris gila.

"Kenapa kamu nggak cerita kalau acara kemarin jadi bermasalah?" Kini semua terbuka, sumber masalah dari perubahan dan ketidakfokusan Inggit.

"Saya bingung, pantas atau tidak cerita soal ini, karena ini persoalan rumah tangga, Pak."

"Maksud kamu, aku tidak bisa bantu kamu karena belum menikah, begitu?"

"Bukan begitu, Pak."

Sekarang Inggit yang frustasi. Dia sudah tidak punya Ibu untuk diajak curhat, tidak punya Ayah yang bisa memberikan nasehat untuknya. Bahkan saudaranya berdomisili jauh di luar kota. Ditambah lagi bosnya salah paham dengan sikapnya.

Ada perempuan yang akan menangis saat terlalu sedih atau bahagia. Itulah yang terjadi pada Inggit. Tangisnya pecah dalam tanpa suara. Dibekapnya mulut rapat-rapat sehingga tidak ada suara yang keluar. Hanya air mata yang deras mengalir, pertanda pertahanan Inggit runtuh.

"Maaf, Pak. Saya kelepasan. Masalah saya tolong rahasiakan ya, Pak."

"Jangan khawatir, dari dulu aku orang yang bisa jaga amanah. Bahkan menjaga jodoh orang lain juga aku lakukan." Kalimat terakhir hanya terucap dalam hati Agan.

"Tunggu dulu, Git! Kalau boleh aku kasih saran, coba ajak bicara lebih dulu. Selesaikan hingga perasaanmu tenang, nggak ada yang disimpan lagi. Aku nggak mau kerjaanmu berantakan gara-gara gagal fokus."

Agan masih belum bisa menghilangkan kebiasaannya menepuk puncak kepalanya Inggit. Atau bahkan bonus mengacaknya, dan membuat Inggit mengomel seharian. Seperti barusan, Agan mengakhiri kalimatnya dengan  kebiasaan lamanya.

Inggit mendelik sebal sambil merapikan rambut lurus sebahunya.
"Makasih untuk selalu jadi sahabatku." Inggit menatap Agan penuh rasa lega dan terima kasih.

"Udah, nggak usah mellow. Sana balik kerja!!"

Inggit mengambil sikap hormat pada Agan. Lalu beranjak keluar, sudah ada berkas di meja menunggu diproses ke bagian produksi.

***

Siapa yang sama kayak Agan, nih? Menjaga jodohnya orang lain, duuh, nyesek nggak, sih.

Alhamdulillah, up juga. Lagi-lagi saya harus berlari mengejar waktu yang tak bisa berhenti.

Kita saling mendoakan, ya. Supaya sehat terus, jadi cerita ini terus lanjut maraton tanpa lelah hingga finish. Aamiin.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro