MEMORIES 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah Inggit mau cerita masalahnya, Agan menyuruhnya Inggit pulang lebih awal. Dengan begitu dia berharap ada waktu lebih bamyak untuk Inggit dan Anjas bicara. Orang lain tidak akan mengerti kenapa Agan bersikap seperti itu. Tidak akan ada yang tahu juga. Agan selalu berhasil menyimpan perasaannya rapat-rapat.

"Pak, kerjaan saya ada dua order yang harus turun ke produksi hari ini juga. Pulangnya nanti, aja." Inggit menolak perintah Agan untuk pulang lebih awal. Sebenarnya karena dia masih belum siap bicara sama Anjas.

"Harus pulang, ini perintah! Kamu pengen masalah kamu cepat selesai, dong!"

"Iya, sih. Tapi, kaan ...."

"Makanya pulang sekarang, ajak Anjas bicara hari ini juga. Aku nggak mau ambil resiko kerjaan kamu kacau besok."

Inggit kesal dengan gaya memaksanya Agan. Kebiasaan lain yang masih tetap dilakukan. Tetapi akhirnya Inggit menyadari juga, kalau apa yang disarankan Agan ada benarnya juga

***

Tepat jam 5 sore Inggit sampai di rumah. Suasana rumah sepi sekali, mungkin Anjas sedang pergi, itu yang dia pikirkan. Anehnya, pintu tidak dikunci saat Inggit hendak memasukkan kunci ke lubang pintu.

"Assalamualaikum." Salam Inggit tidak ada jawaban.

Inggit menutup pintu lagi dan menguncinya dari dalam. Dia akan menunggu sembari membersihkan diri. Setelah badannya segar, Inggit turun ke dapur. Dilihatnya kulkas, tadi dia tidak belanja sayur, karena ingat masih punya bahan untuk dimasak.

Cuma ada ayam dan bayam. Masak yang cepat saja sepertinya, Inggit meng-eksekusi ayam dengan menggorengnya. Bayam akan direbus sebentar, lalu sambal dengan tingkat kepedasan menengah. Belum matang saja dia sudah menelan air liur. Inggit mudah belajar, sekarang menu makanan yang bisa dimasak bertambah list-nya. Dia bangga dengan prestasinya itu.

Aroma wangi ayam goreng menyebar ke penjuru ruangan. Nasi sudah matang, seiring ayam terakhir yang sedang anteng di penggorengan penuh minyak. Saking asyik dan fokus Inggit memasak, dia tidak sadar ada Anjas yang masuk ke rumah dan langsung menghampirinya.

Tanpa aba-aba, Anjas langsung memeluk Inggit dari belakang dan mengecup lembut rambutnya. Tak mungkin mengelak, Inggit pasrah. Fokusnya hampir hilang kalau tak ada aroma gosong dari kompor di depannya.

"Astagfirullah. Gosong kan, Mas. Ayamnya cuma ada lima potong yang bisa dimakan. Nggak apa-apa?" Wajah Inggit tampak memelas, membuang tempe goreng yang berwarna nyaris hitam.

"Nggak apa-apa. Atau kamu mau kerupuk? Aku beli ke warung sebentar."

Inggit menahan lengan suaminya. "Nggak usah, nanti aku bikin telur dadar buat tambahan. Seperti kesukaan kamu, aku kasih irisan daun bawang yang banyak."

Pandangan mereka bertemu, penuh cinta dan cerita yang belum sempat tersampaikan. Bahkan kata maaf yang juga belum diucapkan.

Makanan sudah tandas. Tindakan Anjas yang tak lelah mendekati istrinya, rupanya berhasil meruntuhkan sekat pembatas yang sempat dirasakan Inggit.

"Git, aku minta maaf. Aku termakan omongannya Gino. Dia itu sebelas dua belas mirip Retno, suka banget bikin orang senewen."

Ternyata Gino yang menghasut Anjas waktu acara ulang tahun. Gino bilang, kalau Anjas kalah dari Inggit. Bahkan Gino mulai provokasi untuk melarang Inggit bekerja. Menurutnya saat perempuan lebih tinggi penghasilan, maka dia akan memandang remeh laki-laki.

Seketika Anjas merasa takut kalau hal itu terjadi. Ada emosi juga karena di tiap kesempatan Tanti selalu membujuknya untuk bertemu Bu Ageng. Meledaklah semua saat di akhir acara.

"Mas, aku nggak sempurna, begitupun kamu. Jadi, aku ingin kita bisa saling percaya." Inggit hanya mau itu. Kalau pasangan sudah saling percaya, hasutan dari luar tidak akan mempan.

Pembicaraan selesai dan sama-sama legowo, baik dari sisi Anjas maupun Inggit. Situasi kembali damai. Sayangnya, Inggit lupa menanyakan keberadaan Anjas saat dia pulang tadi

***

Sementara itu di kediaman Tanti, Bu Ageng tampak tergopoh-gopoh datang. Tanti yang membuka pintu menyambut hangat kedatangannya. Suaminya sedang tidak di rumah, biasanya dia akan menghubungi Barjo untuk segera pulang. Tetapi kali ini Bu Ageng mencegah Tanti melakukannya.

"Kenapa Bu Ageng? Biasanya saya harus hubungi dia kalau Ibu datang." Tanti masih memegang ponselnya dengan layar sudah menunjukkan kontak Barjo. Kebetulan ayah Anjas memiliki usaha toko bahan bangunan setelah pensiun.

"Tolong jangan banyak tanya dulu. Hal ini perlu ditangani segera, dan saya harus  berangkat ke Jogja. Bu Tanti tahu sendiri apa hubungan saya dengan Ratu, jadi bantu saya." Bu Ageng tampak tenang, padahal dalam hatinya merasa was-was, kalau penjelasannya kurang meyakinkan.

"Apa yang bisa saya bantu, Bu Ageng?" Tanti mempersilakan duduk, karena sebelumnya mereka hanya berdiri di teras. Lantas dia minta pembantu membuatkan air minum.

"Saya mendapat petunjuk soal Mas Anjas yang belum juga diberi keturunan. Ada masalah yang harus segera disingkirkan, supaya mereka cepat punya momongan."

"Ritual lagi ke Jogja, Bu? Kira-kira perlu biaya berapa, ya?" Tanti agak panik, karena dana pensiun belum cair.

"Kali ini biaya harus ditanggung oleh Mas Anjas, Bu. Supaya lebih manjur dan permintaan segera terkabul."

Tanti cemas kalau Anjas akan menolaknya lagi. Karena belum sekalipun Anjas mengiyakan ajakannya.

"Bu Ageng, saya akan hubungi Anjas dulu. Apa harus hari ini? Soalnya jam segini dia masih ngajar biasanya."

Bu Ageng tidak bisa menunda lagi. Menunda lebih lama untuk mendapatkan uang. Tanti dan keluarganya sudah percaya penuh dengan semua ramalannya. Selama ini selalu berhasil, tinggal sedikit lagi loyalitas mereka akan dia raih.

"Kita susul Mas Anjas ke sekolah, Bu Tanti bisa mencari alasan ada keperluan keluarga yang darurat. Pihak sekolah pasti mengijinkan." Ide yang biasa sebenarnya, tapi Tanti sedang tidak ada ide.

"Ya sudah, Bu. Kita coba saja ke sekolah Anjas. Saya usahakan dia mau ikut ritual. Oiya, soal biaya butuh berapa, Bu Ageng?"

"Saya lupa, sekitar 2 jutaan, Bu. Seperti biasa, Bu Tanti pasti paham untuk keperluan apa saja."

Tanti mengangguk paham. Mereka meluncur ke sekolah. Bersamaan dengan Inggit yang baru saja selesai meeting, dia berencana membelikan makan siang lalu mengajak Anjas makan bersama.

***

Wah, bakalan ketemu nggak, ya?
Kok, aku yang panik.

Alhamdulillah, bisa update. Ayook, semangat tamatkan cerita ini.

Teman-teman, silakan share cerita ini, komentar juga sangat saya harapkan. Jadi kita bisa ngobrol di sini.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro