MEMORIES 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Inggit sampai di tempat parkir sekolah. Matanya menangkap Tanti dan Anjas sedang bicara serius. Ada satu perempuan setengah baya yang tidak asing, Inggit meyakinkan dirinya dengan turun dari mobil dan menghampiri Anjas.

"Assalamualaikum." Salam Inggit dijawab semua orang. Mata Inggit membundar, memastikan kalau penglihatannya tidak salah orang.

"Anda ini Bu Ageng Prawira, kan?" tanya Inggit penuh kehati-hatian.

"Jumpa lagi kita di sini, Mbak. Aaah, rupanya kamu istrinya Mas Anjas. Kasihan!"

"Apa? Maksudnya apa, ya?" Inggit agak tersinggung dengan kalimat Bu Ageng. Siapa yang dia kasihani, Anjas atau dirinya?

"Inggit yang sopan, dong! Bu Ageng ini mau nolongin Anjas dan rumah tangga kamu," sela Tanti. Mukanya sebal melihat sikap Inggit.

"Bu, saya sedang ngajar dan selesai jam 2 nanti. Soal Inggit datang ke sini, memang kami sudah janjian, makanya saya nggak bisa ikut. Tolonglah, Bu!" papar Anjas dengan nada sedikit kesal. Sebisa mungkin dia tidak sampai emosi pada ibunya.

"Mas, sebenarnya ada apa?" Inggit merapat ke samping Anjas.

"Nanti aku jelasin ya, Git!" Anjas menatap Inggit seolah ingin mengatakan hal yang lain.

"Mas Anjas, saya nyusul ke sini itu buat bantu, bukan maunya saya sendiri." Bu Ageng mencoba mengeluarkan modus liciknya.

"Rumah tangga kami baik-baik saja, Bu. Tidak perlu bantuan apa pun. Bahkan soal keuangan Mas Anjas sudah memenuhi semua keperluan saya." Inggit menyela supaya Bu Ageng itu menyerah dan pergi.

"Git, sudah berapa kali Ibu bilang yang sopan!" Suara Tanti naik oktaf-nya.

Anjas waspada, situasi sudah makin panas. Inggit emosi, Tanti juga mulai dikuasai marah.

"Baik, Bu. Saya bicara dengan Inggit dulu. Ibu silakan pulang ke rumah, karena saya nggak bisa pulang sekarang. Ada persiapan untuk lomba Olimpiade Sains." Tanpa menunggu respon dari Tanti, Anjas menggandeng lengan Inggit menuju tempat lain.

Tanti diam, tetapi sepertinya Anjas akan ikuti sarannya. Dia harus mau ikut, pikiran Tanti mulai diracuni untuk membenci Inggit.

"Jangan kesal sama istrinya, Bu. Dia perlu adaptasi dan dikasih pelajaran saja dengan halus." Bu Ageng senang, situasi tadi menguntungkan dirinya. Inggit yang notabene sudah menjadi musuhnya di awal pertemuan, perlahan harus memikirkan untuk menurutinya.

Tanti hanya tersenyum pahit. Menantunya itu, punya prinsip sendiri yang selalu dipertahankan. Apa pun halangannya, Inggit tetap pada pendiriannya, karena dia merasa benar.

"Git, kali ini biarkan aku ikuti maunya Ibu. Hanya kali ini, biar mereka nggak ngejar terus. Aku malu sebenarnya, apalagi masih guru honorer, tapi bikin kerusuhan di sekolah. Nggak apa-apa, ya?" Anjas menatap Inggit penuh permohonan, serius, dan meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.

"Kita sejak awal sudah bicarakan ini, Mas. Nggak sekalipun akan ikuti saran dari Bu Ageng. Kalaupun tadi Ibu yang minta, pasti dari bujukan Bu Ageng. Aku nggak ijinin kamu ikut dia." Tanti marah, dia sangat emosi karena tahu seperti apa Bu Ageng. Dia takut setelah ini Anjas akan trus tergantung padanya, seperti Tanti.

Informasi Agan tidak akan bohong, mereka dekat sejak lama. Jadi sepenuhnya Inggit sangat mempercayainya.

"Maaf, Git. Kali ini aku tetap ikut. Tenang aku nggak akan lakukan apa pun. Semua akan baik-baik saja."

Inggit kecewa dan marah sekaligus. Seharusnya Anjas bisa konsisten dengan pilihannya. Apa pun alasannya, menuruti kemauan Tanti adalah kesalahan.

"Silakan Mas berangkat, aku pergi." Inggit sudah malas mau bicara, percuma, semua yang dikatakannya akan berakhir sia-sia.

"Tapi kamu belum makan siang," cegah Anjas.

"Udah ilang laparnya." Inggit tidak menggubris panggilan Anjas. Langkahnya makin mantap meninggalkan tempat itu.

Anjas sadar sepenuhnya hal ini akan menjadi masalah baru. Tetapi kalau Tanti tidak dituruti sekarang, dia akan lakukan hal nekat lainnya. Dia takut kalau nanti Inggit yang dipaksa. Lantas, keributan besar akan terjadi. Anjas akan lebih pusing lagi.

Inggit tidak tahu mau kemana. Masih ada waktu setengah jam untuk makan siang. Kotak makan yang dibawanya masih utuh, tetapi selera makannya sudah terbang. Berganti kesal, sedih, tidak dihargai sebagai istri, dan Inggit merasa sendiri. Yatim piatu yang jauh dari saudara, langsung menemukan Anjas sebagai sandaran hati. Padahal sebelum itu ada seorang Agan yang berharap ada di posisi itu. Sayang Inggit tidak menyadarinya.

Hampir saja Inggit melanggar lampu merah, untung fokusnya balik sebelum polisi menilangnya. Tidak bisa dibiarkan terus-terusan. Kalau nyetir dalam kondisi kalut, Inggit takut terjadi sesuatu nanti. Dia menepikan mobilnya di pintu masuk tol menuju luar kota.

***

Agan yang baru saja menemui teman lama yang berkunjung ke kantor, langsung mengecek ponselnya. Beberapa kali bergetar, pertanda ada pesan atau telepon.

"Inggit telepon beberapa kali. Ada apa, ya?" gumam Agan cemas. Diteleponnya balik, dering ke lima baru diangkat.

"Halo." Suara Inggit lemas dan terdengar isak kecil.

"Kamu di mana?" Agan memotong Inggit dengan suara tegas dan dalam.

"Ini lagi makan siang, Pak."

"Bohong. Kamu di mana, Inggit?" Agan geregetan dengan asistennya satu itu. Kalau sedang ada masalah, dia malas makan dan melarikan diri. Kebiasaan buruk.

"Sekali lagi aku tanya, kamu di mana? Pilih aku cari atau balik sendiri ke kantor?" Kali ini suara Agan lebih keras dengan penekanan di tiap katanya.

Mendadak hubungan telepon terputus, Inggit melihat ponselnya ternyata baterainya menipis. Agan makin cemas.

"Ini anak, ya, bikin khawatir orang, aja." Agan mengambil ponsel dan kunci mobilnya, entah ke mana mau dia cari Inggit. Dia akan lebih frustasi kalau hanya berdiam diri.

Inggit akhirnya bisa menenangkan dirinya. Lebih baik dia kembali ke kantor, dari pada pergi tanpa tujuan. Tadi Agan saja sudah marah-marah.

Semua tempat yang jadi kemungkinan Inggit datangi, Agan lihat dan bertanya. Hasilnya nihil. Mungkin Inggit punya tempat favorit setelah menikah, dan dia belum tahu. Akhirnya Agan juga kembali ke kantor. Ada jadwal bertemu klien sekitar jam 3 sore nanti.

Reaksi Agan saat melihat Inggit di mejanya sempat mengundang perhatian karyawan lain. Inggit sendiri sudah pasrah kalau Agan marah padanya.

"Masuk ke ruangan saya dan bawa kotak makan siang kamu. Sekarang!" Agan berusaha menahan emosinya, berbicara dengan tone rendah.

Inggit mengangguk patuh, mengikuti langkah bosnya yang langsung menutup pintu begitu dia masuk.

***

Jangan marah, dong! Kasihan Inggit lagi sedih, marah, random banget lah rasanya.

Anjas pigimane, sih? Kagak ngarti hati istri. Eitts, tahan!

Alhamdulillah, update pagi ini. Gagal terus mau double up. Semoga tamat sebelum DL, ya. Aamiin.

Selamat membaca. Salam sehat selalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro