MEMORIES 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Makan sampai habis!" Agan mengerjakan tugasnya sedangkan Inggit dipaksa makan, padahal jam kerja sudah berjalan.

"Kejam! Jam makan siang kan udah habis." Inggit protes sambil membuka kotak makannya. Menu bento ala Jepang, sebenarnya menggugah selera.

Agan yang sebenarnya juga belum makan, meneguk air liurnya melihat kotak bento di depannya. Apalagi isinya menu kesukaan.

"Kamu ini kayak nggak semangat hidup. Makanan enak, malas-malasan makannya." Bukan sindiran lagi, melainkan protes terbuka. Seharusnya dia makan sampai habis sebelum durasi ke lima menit. Asistennya ini lama sekali mengunyah.

"Nggak ada temannya, Pak. Saya ini memang malas makan kalo ...." Mulut Inggit mengunyah sangat pelan, membuat kesabaran Agan hampir terkuras.

"Ada masalah," potong Agan. Agan meletakkan pena dan berkas yang baru setengah dikerjakan. Diambilnya satu kotak lagi, lantas memakannya.

"Pak, kok, dimakan?" protes Inggit, karena satu kotak itu tadinya buat Anjas. Sayang, rencananya batal gagal total.

"Mubazir, saya belum kenyang, tadi makan cuma sedikit." Agan lahap sekali menghabiskan ayam katsu dan teman-temannya hingga tak bersisa.

Tak menunggu lama, selera makan Inggit muncul dan mulai melahap makanan miliknya. Agan tampak sangat menikmati makanannya. Menu sama tetapi kenapa miliknya seperti beda rasanya.

Akhirnya Inggit melepas semua yang mengganjal di hati. Dia tertawa, menghabiskan makan siang, dan tetap menyelesaikan pekerjaan hari itu. Melupakan sejenak masalah, ternyata bisa menenangkan emosi.

Agan bernapas lega, mengembalikan keceriaan Inggit dan memulihkan rasa sakit hatinya memang tidak mudah. Namun, sebagai sahabat yang tak menuntut Inggit macam-macam, dia cukup berhasil membuat suasana hati lebih baik.

***

Sudah waktunya Anjas berangkat ke Jogja. Jam mengajarnya sudah beres beberapa menit lalu. Olimpiade sebentar lagi dan tadi Anjas perlu menyiapkan anak didiknya terlebih dulu.

Anjas berpikir tentang keputusannya, terlalu egoiskah kalau dia menuruti Tanti? Anjas paham Bu Ageng salah, justru karena itu, Anjas ingin membuat Tanti sadar. Kalau semua ritual yang dilakukan  tidak membawa efek apa pun. Meskipun memang benar ada beberapa orang yang dikaruniai kemampuan melihat hal seperti itu.

Tetapi Anjas tidak melihat sosok Bu Ageng ini memiliki kelebihan indera ke enam. Setahu Anjas, orang indigo itu lebih nyaman merahasiakan kelebihannya. Lebih rendah hati dan tidak angkuh.

Anjas sadar dia akan bersama dengan orang yang berbahaya, terlepas benar atau tidak semua perkataannya, Anjas harus membentengi diri.

"Untuk kali ini aku harus lebih cerdik dari Bu Ageng. Ya Allah, lindungi aku dan seluruh keluargaku dari segala gangguan yang tampak dan tak tampak. Amin." Doa dipanjatkan, setelahnya zikir tak lepas dari bibirnya.

Sebelum ke rumah Tanti, Anjas menyempatkan diri mengirim pesan pada Inggit. Kalau untuk menghilangkan amarahnya, tidak mungkin bisa secepat ini. Paling tidak, dengan mengirim pesan, Inggit bisa sedikit memahami, setelah itu menerima maafnya. Pesan sudah dikirim, dan Anjas membawa motornya pulang ke rumah Tanti.

"Njas, kamu punya uang tabungan?" tanya Tanti. Dia lupa tidak memberi tahu putranya kalau perjalanan ke Jogja ini harus bayar Bu Ageng. Berhubung ini untuk kali pertama Anjas mau ikut, seharusnya semua berjalan mulus. Sayang, sudah terkendala soal dana.

"Memangnya kenpa, Bu? Kita harus bayar Bu Ageng?" Beruntung Anjas masih di rumah, dia masih menunggu Inggit pulang.

"Memang biasanya begitu. Kan semua hal perlu biaya, Njas. Buat biaya akomodasi aja, kok."

"Dananya berapa, Bu?"

"Dua juta katanya Bu Ageng."

"Sebesar itu? Tujuan ke Jogja kita harus keluar sebanyak itu? Anjas tidak jadi ikut, Bu. Maaf, Anjas lebih memilih mengikuti saran Inggit." Anjas gusar bukan main, tidak mungkin uang segitu banyaknya hanya dipakai untuk hal yang tidak masuk akal. Menyesal, kenapa dia buru-buru ambil keputusan tadi siang.

"Njas, kok, gitu? Bu Ageng sudah siapin semuanya, loh." Tanti masih usaha membujuk.

"Maaf, Bu. Jangan paksa saya lagi." Anjas langsung memutus pembicaraan.

Penyebab dari penolakan Anjas yang mendadak sebenarnya bukan karena dana. Meskipun dia punya uang sejumlah yang disebutkan Tanti, dia tetap tidak ingin berangkat. Ekspresi Inggit yang kecewa dan marah tadi, membayanginya terus.

Anjas mengambil ponsel dan coba menghubungi istrinya. Tidak diangkat juga hingga tiga kali telepon. Anjas mengirim pesan meminta Inggit cepat pulang. Dia mengabarkan tidak jadi menuruti Tanti. Sekali lagi Anjas meminta maaf.

Inggit bernapas lega membaca pesan dari Anjas. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana kalau suaminya nekat berangkat. Mungkin mereka akan tidur terpisah kalau sampai hal itu terjadi.

"Git, semua baik-baik, aja? Maghrib sudah masuk, jangan melamun, sholat dulu. Mau bareng, nggak?" Agan melipat lengan bajunya hingga diatas siku. Beruntung hari itu timnya belum pada pulang, jadi bisa berjamaah dengan banyak orang. Tidak hanya berdua. Untuk mencegah fitnah orang sebaiknya kita juga mencegah pemicunya. Beruntung Agan punya pikiran sampai ke sana.

Inggit bisa senyum lagi setelah sempat marah dengan Anjas. Sholat jamaah dirasakan Inggit lebih fokus dan tenang. Tak lupa berkali-kali diucapkannya syukur alhamdulillah, atas gagalnya Anjas pergi dengan Bu Ageng.

"Git, hari ini oke, kan? Berhubung masih banyak kerjaan, aku nggak bisa antar kamu, ya. Kamu pulang duluan, aja."

"Oke, Pak. Lagian siapa yang mau minta diantar pulang, saya kan bawa mobil sendiri."

"Siapa tahu asistenku ini masih galau, melamun terus, dan nggak mau makan." Anjas tahu mood Inggit sudah kembali membaik. Mungkin sudah baikan sama Anjas, makanya dia berani iseng menggodanya.

"Iish, sukanya kok, nyindir. Udah kebal kali, Pak. Tapi makasih banyak selama ini saya sering banget ngerepotin."

"Emang," sambar Agan.

"Maaf juga sering bikin ribet kalau ada masalah, terutama sama kerjaan."

"Ribet banget." Lagi-lagi Agan menyambar dengan menahan senyum.

Inggit menoleh, menangkupkan kedua tangan di depan dada, dengan tatapan memohon ampun. Agan mengibaskan tangannya, meninggalkan Inggit yang sedang memasukkan mukena di laci mejanya.

Tak lama Agan keluar dengan tas laptop di tangannya.

"Git, saya duluan, ya. Jangan lupa kirim email progress order hari ini."

"Oke, Pak."

Inggit menatap punggung Agan, begitu beruntung bertemu sahabat dan bekerja bersama. Kebaikan Agan selama ini terkadang melebihi espektasi Inggit. Bahkan bingung juga mau balas dengan apa, hampir semua hal Agan punya. Kekayaan orang tua, ditambah gaji yang diterimanya, tidak akan susah saat menginginkan sesuatu.

Suatu saat ada perempuan paling beruntung akan berhasil menaklukan hatinya. Kalau belum dapat juga, sepertinya Inggit terpaksa mencarikan jodoh untuk bosnya itu.

***
Ada yang mau jadi kandidat jodohnya Agan?

Bisa daftar sama Inggit, ya.
Hehehe

Alhamdulillah, bisa up juga. Doakan saya bisa update terus. Usaha dulu hingga akhir semaksimal mungkin.

Selamat membaca. Sehat semuanya, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro