MEMORIES 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kemesraan semalam tidak berlanjut di keesokan harinya. Inggit menghentikan aktivitas masaknya saat mendengar Anjas berbicara dengan Tanti di telepon. Inggit tidak tahu Anjas sengaja berbicara kencang, atau dia tidak menyadari kalau suaranya sampai ke dapur.

"Bu, saya sudah lakukan semua yang dibilang Bu Ageng ... Iya, semuanya. Ibu jangan khawatir, aku tahu nanti langsung ke rumah."

Pembicaraan mereka ditutup dengan salam. Saat Anjas keluar kamar dan menuju dapur, Inggit diam. Tepatnya berpura-pura semua baik-baik saja. Namun, tidak bisa dipungkiri, dia curiga kalau suaminya masih ada apa-apa dengan Bu Ageng. Mereka belum terlepas dari pengaruh Ageng Prawira. Halangan Inggit untuk mengembalikan rumah tangganya bersih dari ritual aneh ternyata di luar dugaannya.

"Hmm, yummy. Sarapan hari ini sepertinya lezat, nih." Anjas benar-benar tidak menyadari kalau Inggit sempat mencuri dengar pembicaraannya tadi. Dan ditambah lagi dia tidak merasa bersalah sudah membohongi Inggit.

"Tunggu di meja makan saja, Mas. Aku siapin dulu terus bawa ke sana." Berat rasanya berpura-pura tidak tahu kalau pasangan kita sedang berbohong. Berbohong tentang hal yang jelas-jelas sudah pernah dirundingkan dan dia tidak merasa bersalah sedikitpun.

"Mas sarapan dulu, aku langsung berangkat." Inggit tidak ingin ada keributan, dia sudah menahan sekuat tenaga, bara amarah yang bergolak di hatinya.

"Kamu nggak sarapan dulu? Nanti sakit perut, loh. Lagian ini makanannya banyak tapi kamu malah nggak makan." Anjas menahan istrinya pergi. Ditatapnya Inggit yang menunduk demi menyembunyikan wajah kesalnya.

Anjas mendekat, menangkup wajah cantik dengan make up minimalis di depannya. "Ada apa? Nggak mau cerita sama aku?"

Tatapan seperti ini yang Inggit rindukan. Saat menyelami makin dalam, ada yang aneh di sana. Tetapi tak ditemukan apa. Mata Inggit memejam, tangan Anjas digenggam lantas diturunkan dari wajahnya.

"Aku berangkat kerja dulu, Mas. Sarapan aku bawa saja ke kantor." Inggit mengalihkan pandangannya, beranjak dari hadapan Anjas yang bertanya-tanya tentang perubahan sikapnya.

Hidup macam apa ini? Rumah tangga yang tampak akur tapi banyak ruang kosong dan hampa di dalamnya. Inggit merasa ada yang hilang, rumah tangganya tidak terasa lengkap seperti awal mereka menikah. Dia tidak ingin menyalahkan siapa pun, yang pasti kepercayaan itu mulai berkurang.

Jauh dari lubuk hati, Inggit ingin menumbuhkan rasa percaya itu lagi. Berusaha tidak berpikir negatif dan curiga pada Anjas. Sulit melakukannya saat realita malah menunjukkan sebaliknya. Ingin sekali bercerita pada sahabat sesama perempuan, saat ini dia butuh seseorang untuk berbagi. Perasaan perempuan biasanya lebih peka.

Agan memang begitu sabar dan telaten jadi pendengar. Namun, perannya itu bisa menimbulkan curiga pada Anjas dan keluarganya. Jangan sampai orang lain mengira Inggit ada sesuatu yang spesial antara dia dan Agan. Bahkan dia tidak sanggup hanya dengan membayangkan akibatnya, kalau sampai tuduhan itu benar terjadi.

***

Ponsel Inggit bergetar, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kening Inggit berkerut, tangannya gemetar memegang ponsel saat inderanya melihat sebuah foto dirinya dan Agan. Baru saja sempat terpikir tentang kemungkinan hal ini terjadi. Sungguh, tak pernah ada sedikitpun niatnya mengkhianati Anjas, serumit apa pun masalah mereka.

"Kamu pasti mau foto ini tidak tersebar, kan? Jadi, tetaplah diam!"

Pesan pendek itu tidak jelas motifnya apa. Inggit tidak bisa menebak siapa orang yang melemparkan bola panas. Setengah jam lagi meeting akan dimulai. Ponselnya terus menerus berdering, mengganggu fokusnya menyetir.

Di tempat yang berbeda Agan tidak kalah khawatir. Dia juga menerima foto yang sama. Kedekatan posisi mereka dalam foto diambil saat mereka makan siang di luar kantor. Sebenarnya mereka tidak hanya berdua, karena sebelum itu mereka bertemu klien kantor dan menandatangani kontrak. Sayangnya isi foto itu mengatakan sebaliknya.

Sekarang Agan panik, Inggit tidak mengangkat teleponnya. Aryo tahu gelagat aneh Agan sejak tadi pagi di rumah.

"Gan, meeting-nya masih lama. Klien juga belum datang, jangan panik, gitu!" Aryo mengecek lagi berkas untuk presentasi nanti. Sesekali dia melirik putra tunggalnya yang mondar-mandir dengan muka kusut. Dia sadar Agan terkadang terlalu bergantung pada Inggit, bahkan dalam mengambil keputusan penting.

Inggit memang tidak diragukan lagi kemampuannya. Target beberapa bulan semenjak Aryo kembali masuk kantor selalu mencapai target. Klien juga tidak banyak yang protes. Andai saja Inggit masih sendiri, dia pastikan putranya yang akan jadi suaminya. Aah, Aryo menyingkirkan segera pikiran konyolnya.

Agan langsung mengangkat ponselnya begitu ada telepon masuk.

"Halo, Git! Kamu di mana?" Lama tidak terdengar suara lawan bicaranya, Agan makin panik. Hanya suara napas yang tersengal dan rintihan.

"Git, aku ke sana sekarang. Apa pun yang terjadi bertahan, ngerti? Ini perintah kamu harus tunggu aku!!" Intonasi suara Agan naik. Aryo ikut panik, tapi tidak sempat bertanya, karena putranya sudah melesat pergi. Dihubunginya beberapa orang untuk mengikuti Agan. Firasatnya hal buruk sedang terjadi.

Agan segera mengecek lokasi Inggit, dan melajukan mobilnya secepat mungkin. Di belakangnya menyusul orang suruhan Aryo untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

***

Inggit berusaha mempertahankan kesadarannya sampai Agan datang. Mendadak perutnya didera sakit yang hebat, entah apa penyebabnya. Jalanan memang tidak sepi orang, tetapi Inggit tidak mempercayai siapa pun sekarang. Yang diingatnya cuma Agan, sahabat dan orang yang sudah teruji kalau dia bisa dipercaya. Mengingat suaminya sendiri berbohong, membuat Inggit semakin merasakan sakit.

Di sisa kesadarannya, terdengar ketukan di kaca mobil. Inggit berusaha tersenyum dan membuka pintu.

"Gan, maka ...." Kalimat Inggit terhenti dan tak sempat dilanjutkan. Pandangannya mengabur dan menggelap seketika.

"Git ... Inggit!" Agan mengangkat Inggit dan dibawa ke mobilnya. Orang suruhan Aryo bergegas mendekat dan membantu. Agan akan berterima kasih ke ayahnya nanti. Mereka sangat membantu kali ini. Kalau tadi dia sendirian, mobil Inggit terpaksa ditinggal dan resiko akan dicuri orang.

"Tolong salah satu dari kalian bawa mobil itu ke kantor. Yang lain ikuti saya ke rumah sakit," perintah Agan dan langsung dikerjakan sesuai yang diminta.

UGD rumah sakit terdekat situasinya ramai karena baru saja terjadi kecelakaan. Agan melajukan mobil menuju rumah sakit lain. Orang suruhan Aryo mengarahkan ke rumah sakit area pusat kota. Dia sempat menghubungi pihak rumah sakit dan siap melakukan tindakan begitu mereka sampai.

Benar saja, beberapa perawat sudah menunggu di depan pintu IGD. Inggit diangkat dan segera mendapat perawatan. Agan ragu saat akan menghubungi Anjas. Tetapi dia suaminya dan berhak tahu. Agan tidak menelepon, dia hanya mengirim pesan. Lama sekali tidak dibalas dan masih centang satu di menit ke lima belas. Agan akhirnya melakukan panggilan telepon. Tidak diangkat dan sepertinya memang dimatikan.

Sebenarnya ada masalah apa di antara mereka? Agan garuk-garuk kepala menghadapi masalah Inggit yang masih jauh dari kata selesai.

Dokter memanggil Agan dan menjelaskan apa yang terjadi. Dia terpaksa menerangkan hal yang harus dilakukan pada Inggit karena terlalu lama kalau harus menunggu Anjas. Bahkan dihubungi lagi setelah penjelasan dokter, belum ada respon juga.

"Pasien sebaiknya dirawat inap, Mas. Atau kalau mau pulang usahakan bedrest, istirahat total. Tensinya rendah sekali, bahkan hari ini pasien menstruasi. Jadi saya sarankan biar istirahat di sini dulu sampai tensinya normal kembali."

Agan sedikit lega tidak ada yang serius dengan kondisi Inggit. Mau tidak mau Agan akhirnya mengambil keputusan untuk Inggit dirawat. Dia merasa Anjas akan melakukan hal yang sama kalau dia ada di sini.

Agan membayar semua biaya perawatan Inggit. Dia memakai fasilitas perusahaan untuk menghindari fitnah. Kasihan Inggit kalau masalahnya bertambah karena dia membantu biaya rumah sakit dengan uang pribadinya.

Inggit masih terlelap dengan wajah pucat. Ada karyawan kantor yang datang lima belas menit lalu, membawakan berkas yang perlu diperiksa Agan sebelum masuk ke bagian produksi siang nanti. Agan lega paling enggak ada orang lain di sana tepat saat Aryo datang.

Aryo langsung ke rumah sakit begitu meeting beres. Berbarengan dengan mertua Inggit yang juga datang ke rumah sakit. Mereka belum saling mengenal, tetapi ada satu orang yang membuat Aryo langsung memasang tampang sangar dan penuh waspada.

***

Maafkan keterlambatan yang nggak bisa dicegah ini. Kesehatan dan kesibukan di duta, sedang menyita perhatian.

Doakan semoga kita selalu sehat, jadi saya bisa kembali totalitas lagi.

Selamat membaca, saya aka sangat menghargai saat kalian tinggalkan salam untuk saya. Salam kenal juga ngak apa-apa.

Oke, sehat selalu. Stay safe and happy, healthy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro