Bagian 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udara dingin kota Binjai malam ini membuat sebagian orang mengenakan jaket. Terlihat dari beberapa orang yang lalu lalang, saat aku membeli makanan tadi. Aku dan Mitha juga melakukan hal yang sama. Jaket abu-abu milikku cukup menghilangkan gigil yang menyapa.
Malam ini, kost juga terlihat lebih ramai dari biasanya. Penghuni kamar sebelah sedang kedatangan pihak keluarga. Berisik suara anak-anak sesekali terdengar, kemudian disusul suara teguran dari yang lainnya.
Aku? Dari tadi mengamati handphone menunggu Anjas memberi kabar apakah dia jadi mengajakki bertemu besok pagi pukul sepuluh. Sambil menunggu, aku melihat-lihat story wa teman-temanku. Hanya sedikit orang yang aku punyai kontaknya.
Saat tiba di sebuah nama, aku terkejut dan merasa bersalah. Dia membuat story wa 'MUNGKIN DIA SUDAH LUPA'. Ananta, dialah yang sedang membuat story itu. Astaghfirullah! Sudah dua hari ini aku lupa menghubunginya. Kucari namanya di kontakku, nada berdering muncul dari layar handphone.
"Assalamualaikum! Halo, Ananta."
"Wa'alaikumussalam." Cuek sekali nada bicara Ananta menjawab salamku.
"Sedang, apa?" Sebuah pertanyaan basa-basi kulontarkan.
"Masih pentingkah menanyakan tentang kegiatanku?" Bukannya menjawab Ananta justru memberikan pertanyaan sindiran.
"Maaf, aku sakit kemarin, jadi tidak sempat mengabarimu." Aku berusaha memberi penjelasan padanya.
"Sakit? Kamu terus saja aktif di wa, terpampang jelas kata online pada akunmu. Aku harap kamu tidak melakukan kesalahan fatal, Asnita."
"Aku memang sedang sakit, tapi ada hal yang ingin aku cari tahu tentang Atuk, Aku aktif wa karena sedang membalas pesan dari cuci Atuk yang berhasil aku kenali. Kami ada membuat janji untuk bertemu dan membicarakan Atuk." Aku harap penjelasanki bisa diterima oleh Ananta.
"Lalu kenapa tidak sambil mengirimkan pesan padaku? Apa pembahasan kalian sangat seru? Atau kau memang sengaja mengabaikanku?"
"Aku tidak membahas apa-apa. Kami hanya murni ada janji untuk bertemu dan akan membahas Atuk saat bertemu, bahkan di wa aku cuek membalas pesannya.
Memang ini salahku, bukannya aku mengabari Ananta, aku malah sibuk menunggu Anjas membalas lagi pesanku. Karena hal itu aku beberapa kali mengintip wa menanti pesan Anjas. Bodohnya lagi aku sama sekali tidak ingat Ananta.
"Atuk lagi! Atuk lagi! Aku bosan pembahasan kita beberapa waktu ini selalu Atuk, bisakah kita membahas tentang kita saja?" protes Ananta.
"Maaf, tapikan memang aku sedang ingin meluluhkan hati Atuk, maka wajar jika pembahasan kita tentang Atuk saja."
"Jujur aku berpikir kau bukan mau meluluhkan hati Atuk. Aku berpikir kau ingin melacur dengan Atuk. Kau tidak sedang mengikuti jejak ibumu di kota Binjai, 'kan? Aku berharap kau tau diri tentang status dan derajatmu," omel Ananta.
"Kamu ... Maaf ...."
Aku menutup telepon dari Ananta. Perkataan dia tadi sangat menyakiti hati. Bagaimana bisa dia berpikir aku akan melacur. Apalagi melacur dengan Atuk. Apa yang ada dipikirannya, sehingga dia mencurigai aku ingin melakukan hal yang sama seperti ibu. Aku tidak mau bicara dengan Ananta malam ini. Kumatikan handphone agar dia tidak bisa menghubungi.
***
Sebenarnya aku masih malas untuk aktif handphone karena takut Ananta akan menghubungiku. Namun hari ini aku ada janji dengan Anjas, jika aku tidak aktif dia tidak akan bisa mengabariku. Dengan terpaksa aku aktifkan kembali handphoneku.
Saat kubuka aplikasi whatsapp, masuk pesan secara beruntun. Ternyata dari Anjas dan Ananta. Kubuka pesan Anjas terlebih dahulu.
[Assalamualaikum, Asnita]
[Wah, lagi gak aktif wa]
[Aku cuman mau mengingatkan besok kita mau ketemu pukul 10. Jangan lupa!]
[Asnita, bahkan sampai ini kamu belum aktif. Niat ketemu gak sih? Kamu gak ada kuota, ya? ]
Aku sedikit terkekeh membaca pesan dari Anjas, dia kesal karena pesannya tidak kunjung terbalas. Langsung kuketikan balasan pesan Anjas.
[Iya, nanti kita ketemu di tanah lapang merdeka kota Binjai, ya..]
Selanjutnya kubuka pesan dari Ananta. Sebenarnya malas, tapi aku tidak mau menambah masalah.
[Sayanggggggg]
[Aku minta maaf atas apa yang aku ucapkan tadi. Aku sadar telah menyinggungmu. Aku harap kamu mau memaafkan aku]
Terlihat panggilan masuk berkali-kali. Mungkin dia berusaha terus menghubungiku, sayangnya tak berhasil karena aku  mematikan handphone.
[Sayang, Ayo dong aktifkan handphone kamu. Aku udah sadar ucapan aku tadi kelewatan. Kedepannya aku akan terima semua cerita tentang Atuk. Besok-besok kita bahas lagi tentang Atuk, ya]
[Sayang, aku tuh ngucapin itu karena kamu juga. Coba aja kamu gak lupa ngabarin aku, pasti gak akan terucap dari mulutku kata-kata seperti itu ]
[Aku harap kedepannya kamu gak lupa ngabarin aku. Apapun kesibukannya]
[Oh, iya, ini aku transfer uang buat kebutuhan kamu di kota Binjai. Nanti kalau kurang bilang, ya.]
[Jangan marah lagi, ya. Nanti aku bisa sakit mikirin kamu]
Aku kaget karena lagi-lagi dia mengirimiku uang. Aku sendirian merasa tidak enak dengan semua pemberian dia. Yang tadinya aku ingin marah, jadi gagal karena transferan itu. Bukan maksudku mata duitan, tapi bagaimana menjelaskan kesalahan orang yang selalu mencukupi kebutuhanku.
Satu hal yang juga aku takuti jika aku melanjutkan marah, dia akan meminta kembali semua uangnya. Aku takut dia meminta ganti rugi dan aku tidak punya cukup uang. Memang uang yang dia berikan tidak aku gunakan seluruhnya. Namun beberapa sudah aku gunakan.
[Iya, aku maafkan. Aku juga minta maaf karena tidak memberi kabar. Kedepannya aku akan lebih sering mengabarimu. Terimakasih uangnya, tapi seharusnya tidak usah]
Balasan itu yang akhirnya aku kirimkan pada Ananta. Padahal awalnya aku ingin mengirimkan jawaban marah, tapi tidak jadi.
Lupakan soal Ananta, sekarang aku mau bersiap-siap untuk bertemu dengan Anjas. Aku penasaran apa yang ingin dia bicarakan. Jika dia ingin aku kembali ke kota Panipahan, jelas aku akan menolak.
"Mit ...."
"Iya, Kak. Ada apa?"
"Baju ini bagus, gak? Terus kerudungnya nyambung, gak?"
"Bagus, kok,"
"Gak norak, 'kan?" Aku memastikan.
Aku khawatir jika pakaian yang aku gunakan norak. Siapa tahu Anjas akan bercerita dengan Atuk. Jika Atuk tahu pakaianku norak, pasti aku malu. Jadi harus pakai baju terbaik. Selesai menyocokkan baju dan kerudung, aku langsung menuju jalan raya depan. Aku memutuskan untuk naik becak saja.
Aku tiba di lapangan merdeka kota Binjai pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Sengaja datang lebih awal agar Anjas tidak menunggu lama. Aku kirim pesan pada Anjas.
[Aku sudah sampai di Lapangan Merdeka]
[Aku juga sudah, kamu di mananya?]
[Dekat lapangan basket]
[Aku di tribun. Aku yang nyamperin kamu atau kamu yang mau kesini?]
[Kamu aja yang kesini]
Pesanku hanya dibaca oleh Anjas. Mungkin dia sedang menuju ke sini. Ternyata dia anak yang tepat waktu, sebelum pukul sepuluh dia sudah datang.
"Assalamualaikum, Asnita." Seseorang mengucapkan salam dari belakang.
"Wa'alaikumussalam, eh, Iya, Anjas." Aku sedikit terkejut, tidak menyangka secepat itu dia tiba.
"Boleh, aku duduk?"
"Silahkan!"
Lima menit pertama kami saling diam, sampai akhirnya.
"Aku ...."
"Kamu ...."
Kami bicara secara bersamaan, kemudian saling tertawa dan diam lagi. Mungkin sampai besok akan begini terus jika tak ada yang memulai pembicaraan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro