Bagian 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kesal, rasanya Anjas tak punya nyali. Padahal dia yang mengajakku bertemu. Akhirnya aku memulai pembicaraan terlebih dahulu.
"Sebenarnya kita bertemu untuk apa?" Aku mulai bertanya.
"Aku ingin memberikan penawaran, maukah kamu kembali ke kota asalmu dan tidak kembali lagi ke Binjai?" Akhirnya Anjas memberi tahu tujuan kami bertemu.
"Kembali? Ada banyak hal yang bisa aku lakukan di sini. Lagi pula kota asalku memang Binjai. Apa salahnya jika aku menetap?"
"Aku takut jika Atuk tau, kamu akan lebih sakit hati. Aku lebih menyarankan kamu untuk kembali."
"Tidak!"
"Keras kepala sekali, aku lakukan ini karena aku peduli. Ini terlalu bahaya. Kamu itu gak kenal Atuk."
"Makanya aku mau kenalan sama Atuk. Biarkan aku mengenal beliau secara utuh, mengenal sisi baik dan buruknya Atuk." Aku berusaha bicara dengan tenang.
"Akan aku beri tahu informasi apapun yang ingin kamu tahu tentang Atuk. Sisi baik, buruk, ambisi dan kelemahannya. Apapun. Tapi tolong jangan pernah temui Atuk lagi. Kembali ke kotamu!" Anjas mulai memberikan penekanan dibeberapa kata.
"Aku bukan hanya butuh informasi, aku ingin saling mengenal dengan Atuk. Aku mau Atuk tahu tentang aku dan sebaliknya. Jadi, jangan paksa aku untuk kembali!" Tak mau kalah, aku juga memberi beberapa penekanan pada kata-kataku. Anjas malah sedikit tergelak dengan yang aku katakan.
"Lucu ... Ayahmu itu lucu."
"Lucu? Ayahku lucu? Lucu dari mananya?"
"Kenapa pula dia tidak datang kemari untuk meminta maaf secara langsung pada Atuk? Kenapa dia harus mengirimkan anaknya yang keras kepala? Ibumu juga, kenapa dia tidak berusaha untuk menemui mertuanya?" Rentetan pertanyaan dilontarkan Anjas.
"Tahu apa kamu tenang ayah dan ibuku? Secuil kisah mereka saja kamu tak tahu!"
"Maaf, bukannya menyinggung. Tapi, benarkan? Aku memang tidak terlalu paham kisah ayah dan ibumu. Hanya saja ada yang mengganjal, apa alasan mereka tidak ikut ke sini bersamamu?!"
"Meninggal! Mereka berdua sudah meninggal! Yang aku punya sekarang hanyalah Atuk dan keluarga di Binjai ini. Jika kalian tidak menerimaku juga, lantas aku bagaimana? Aku tinggal sendiri? Sebatang kara?" Pecah, tangisku mulai pecah.
Aku bisa melihat wajah terkejut dan menyesal  Anjas. Mungkin dia tidak mengira apa yang akan aku ucapkan.
"Kamu serius?"
"Kamu ada lihat nada bicara dan wajah bercanda dariku?"
"Innalilahi wa innailaihi roji'un, maaf aku tidak tahu. Maaf aku sudah menyinggung perasaanmu." Anjas mulai melunak.
"Bagaimana kalian mau tahu, jika baru saja aku tiba di kota ini sudah diusir. Belum sempat aku menyampaikan hajatku. Belum sempat aku bertanya kabar Atuk. Aku sudah diusir!" terangku.
"Lagi pula apa kalian pernah peduli dengan kehidupan kami? Kalian pernah mencari tahu tentang kami? Aku hanya ingin memperkenalkan diri. Aku ingin memberi kabar," lanjutku.
Anjas terdiam lagi. Aku tidak tahu dia memikirkan apa, tapi bisa aku pastikan ada rasa penyesalan di dirinya.
"Maaf ... Aku minta maaf ...," ucapnya lagi.
Kami saling diam, lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Dalam diam aku mengamati tempat ini. Tidak sunyi tidak pula ramai. Anak-anak berlari mengejar gelembung balon yang ditiup ayahnya. Beberapa anak SMA terlihat saling bercanda, tawanya terdengar nyaring dan lepas.
"Sudah makan?" Anjas memecah kesunyian mungkin dia mau mengajak makan siang.
"Gak lapar," jawabku tanpa basa-basi.
"Ok. Jadi rencana selanjutnya apa?"
"Rencana apa?"
"Rencanamu di kota Binjai. Apa kamu akan begini terus?"
"Aku akan bertemu dengan Atuk, entah bagaimana pun caranya."
"Jangan bertemu di rumah kami. Satpam sudah diberi tahu jika kamu datang lagi, langsung usir. Pikirkan cara lain. Aku akan membantu sebisaku."
Aku melihat ke arahnya, tak menyangka dengan apa yang dia katakan. Atuk sudah berpesan demikian pada setiap satpam? Makin susahlah aku mau bertemu dengan Atuk.
"Kau ada saran?" Aku butuh saran dari Anjas yang lebih mengenal Atuk.
"Temui Atuk di tempat yang dia harus menjaga wibawanya. Selama ini beliau memperkenalkan diri sebagai orang yang berwibawa. Reputasinya juga sangat bagus. Dia selalu menghindar dari orang yang bisa membuat reputasinya rusak. Jadi akan lebih aman jika kamu temui dia di tempat umum. Tidak mungkin dia akan memarahi kamu di depan banyak orang," papar Anjas.
"Kalau di kampus? Aku tidak mungkin menguntit ke mana Atuk pergi. Seenggaknya aku harus tahu rutinitas Atuk Agar bisa menemukan celah. Aku berpikir kampus tempat yang cocok."
"Kampus hanya untuk mahasiswa. Jika orang asing datang pun ada kemungkinan di usir jika mengganggu."
"Kalau begitu aku mau jadi mahasiswa saja."
"Silahkan jika itu pilihanmu. Semoga pilihanmu tepat."
Aku kemudian izin untuk balik ke kost. Sebenarnya Anjas ingin mengantarkanku, tapi aku gak mau mendengar ledekan dari Mitha. Aku memutuskan untuk naik becak saja.
Setelah tiba di rumah ternyata tidak ada Mitha., Untungnya kami punya kunci kost masing-masing. Jadi tidak perlu saling tunggu jika ada yang pergi.
Karena Mitha tidak ada di rumah, aku akan menelpon Ananta. Dia harus segera mendapatkan kabar dariku. Aku tidak mau urusan akan jadi panjang lagi.
"Aku ada rencana untuk berkuliah di kampus Atuk," ucapku setelah kami saling mengucap dan menjawab salam.
"Kenapa harus berkuliah? Kenapa tidak langsung ke rumah Atuk saja? Kuliah itu boros dan buang-buang uang jika tujuanmu hanya untuk meluluhkan hati Atuk."
"Kata Anjas Atuk sudah berpesan pada satpam agar tidak mengizinkan aku masuk. Akan sangat sulit sekali jika aku mendekati lewat rumah Atuk," jelasku.
"Anjas?"
Aku lupa Ananta belum mengenal Anjas, maka pembahasan selanjutnya adalah penjelasan tentang siapa Anjas. Bagaimana kami bisa bertemu dan kenal. Aku juga memperkenalkan Mitha agar tidak ada kesalah  pahaman antara aku dan Ananta lagi.
Ananta hanya merespon dengan mengucapkan kata 'oh'. Dia lebih sering menanyakan Mitha. Dia bilang ingin meminta nomor Mitha agar aku lebih mudah dipantau. Tentu saja aku tidak memberi nomor Mitha. Bukan karena aku cemburu, tapi menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Jadi kamu izinkan aku untuk kuliah, 'kan?" Aku mengganti topik pembicaraan tentang Mitha menjadi tentang kuliah lagi.
"Boleh selagi tidak boros dan tidak buang-buang waktu. Ingat! Waktumu hanya enam bulan untuk meluluhkan hati Atuk. Dan sekarang sudah seminggu lebih kamu ada di kota Binjai. Progresnya juga sangat sedikit. Aku tidak yakin waktu enam bulan itu cukup." Ananta mengingatkan tentang kesepakatan kami.
"Tentu saja aku ingat, Ananta. Jika tidak lebih dari enam bulan aku akan siap menerima konsekuensinya."
"Aku tidak akan memberikan konsekuensi apapun. Aku hanya mau setelah enam bulan kau di kota Binjai, kau kembali ke sini dan kita menikah. Hanya itu!"
Aku memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan dengan Ananta. Aku langsung mengucap salam dan menutup telepon. Saat hendak kembali ke menu utama, sebuah pesan masuk. Pesan dari Anjas.
[Assalamualaikum, Asnita. Maaf mengganggu waktumu. Aku mau bilang kalau nenek mau ketemu sama kamu. Kamu bisanya nanti malam atau besok?]
Nenek? Mau bertemu denganku? Untuk apa? Apakah dia akan memarahiku juga? Sebenarnya aku ingin menolak, tapi siapa tahu nenek hanya ingin melepas rindu. Aku putuskan untuk bertemu dengan nenek malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro