Bagian 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini merupakan hari kedua acara MATAMA. Acara berlangsung sama saja seperti semalam, bedanya hari ini yang melakperkenalan adalah para senior dan organisasi kampus. Ada organisasi yang sangat membuatku tertarik yaitu warna pensil. Organisasi ini berisi mahasiswa yang memiliki hobi menulis. 
 

Aku ingin belajar menulis puisi seperti ibu, siapa tahu bakat itu sebenarnya menurun ke aku. Tapi selama ini aku tidak sadar. Jadi aku putuskan untuk memilih organisasi warna pensil. 
 

Mitha sendiri tertarik pada organisasi BEM. Ya, dari tipe perjuangannya, dia memang cocok masuk organisasi tersebut. Dia akan mengembangkan dirinya dari segi kepemimpinan, katanya. Aku tidak tertarik dengan BEM karena takut diminta untuk demo. 
 

Karena memang organisasi tersebut yang paling keras berteriak jika negara ini ada masalah. Organisasi tersebut yang akan maju paling depan jika ada ketidakadilan di sini. Selalunya begitu. 
 

Aku merupakan tipe orang yang kurang suka akan pertengkaran kasar. Jika ada masalah lebih baik di selesaikan dengan cara bicara. Saat cara tersebut tidak berhasil, aku lebih memilih untuk mengucapkan kata-kata yang pas untuk menjatuhkan lawan.
 

Sayangnya beberapa waktu ini aku tidak punya musuh, sehingga kemampuanku menjatuhkan lawan lewat kata-kata tidak terlalu terpakai. Musuh terberaku selama ini ya, diri sendiri yang terkadang merasa malas. Mana mungkin aku menjatuhkan diriku sendiri dengan kata-kata dariku sendiri. Eh, bagaimana? Begitulah pokoknya.
 

Karena aku dan Mitha memilih organisasi yang berbeda, kami berpisah. Aku diminta untuk ke ruang kumpul warna pensil, sedangkam Mitha ke ruangan BEM. Tak masalah jika kamu harus berpisah sejenak, toh kami akan bersama lagi. Aku dan Mitha membuat janji, ketika sudah selesai perkenalan organisasi kami akan bertemu di bawah pohon mangga depan gedung tarbiyah.
 

"Silahkan perkenalkan diri!" perintah seseorang dalam ruangan ini. 
Karena tidak ada yang kunjung angkat tangan, aku memilih angkat tangan saja. Kemudian dipersilahkan untuk memperkenalkan diri. 
 

"Aku Asnita, usia sembilan belas tahun. Aku berasal dari kota Panipahan, Riau. Salam kenal teman-teman semua." Setelah perkenalanku baru teman-teman yang lain banyak yang ikut perkenalan diri. 
Kemudian para senior yang mengurus organisasi ini menjelaskan tentang prestasi organisasi. Kemudian Pentingnya menjadi seorang penulis. Terakhir, mereka memberi tugas untuk membuat tiga puisi atau menuliskan puisi yang paling kami suka. Tentu saja ini tugas gampang, aku tinggal melihat puisi milik ibu. Jangankan tiga, bahkan sepuluh puisi pun bisa aku berikan. 
***

Harga Dari Sebuah Cita-cita By Asmayani

 
Berapa harga? tak perlu disebut.
Lihat wajah-wajah keriput.
Harap yang tak menyusut.
Doa tak pernah surut.

Berapa Harganya?
Oh, ini dibayar dengan air mata.
Nah, itu dibayar dengan juang dan tenaga.
Yang sebelah sana dibayar dengan sejuta do'a.
Yang bagian sini dibayar dengan kerja keras, keberanian dan usaha.

Adakah yang harganya murah?
Misalnya, dibayar dengan putus asa.
Atau sejuta rasa kecewa.
Bolehkah kubayar dengan rasa takut saja?
Izinkan kutukar dengan kesombongan, aku enggan berdo'a.

Maaf, Nak.
Harga cita-cita tak murah.
Jika tak mampu pergilah.
Cita-cita bukan untuk sang penyerah.
Apalagi untuk si pasrah.
Binjai, 27 Desember 1994
Puisi ke dua
Ajarkan Aku berciuman, Bunda! By Asmayani

Ajarkan Aku berciuman, Bunda!
Aku adalah si cupu yang tak berguna.
Bercumbu dengan banyak rasa kecewa.
Berdamai dengan rasa lelah.
Bercerai dari rasa bahagia.

Ajarkan aku berciuman, Bunda!
Cium di pipi yang basah air mata.
Cium di bibir yang tak sanggup melontar makna.
Cium di kening yang lepas pada sajadah.

Ajarkan Aku berciuman, Bunda!
Kecup pada kenang yang berdamai dengan lupa.
Kecup pada hati yang bersantai dengan luka.
Kecup pada harap yang bersemai esok lusa.

Ajarkan Aku berciuman, Bunda!
Berumah dalam rasa menerima.
Bersandar pada tembok dengan sejuta tanya.
Bertumpu pada tiang-tiang norma.

Ajarkan Aku berciuman, Bunda!
Ajarkan Aku berpelukan, Bunda!
Ajarkan Aku bergandengan, Bunda!
Aku tak pandai.
Aku tak bisa.
Ajarkan Aku, Bunda!

Binjai, 12 November 1994

***

Puisi ke tiga
Rupa-rupa Takut || By: Asmayani

Rupa-rupa Takut.
Ragam-ragam ragu.
"Nanti pasti bisa."
Kata penenang saja.

Macam-macam pikir.
Jenis-jenis khawatir.
''Nanti terlewatkan.''
Kata seorang teman.

Mimipi-mimpi tidur.
Juang-juang bangun.
"Kau telah hebat."
Ujar kata hati.

Mata-mata lelah.
Tubuh-tubuh rebah.
"Pergi istirahat!"
Logika berbicara.

Lemah-lemah raga.
Kumpul-kumpul jasa.
"Wanita mandiri."
Ungkap diri ini.

Kisah-kisah bahagia.
Cerita-cerita ceria.
"Senyummu manis"
Ucap cermin tipis.

Tuang-tuang luka.
Habis-habis sudah. 
"Lebih dari bisa."
Bertahan apapun alasannya.

Binjai, 19 Oktober 1994
***
Tugas puisi selesai aku tulis, semuanya murni karya milik ibu. Aku ingin suatu saat akan mampu menulis seperti ibu. Menuangkan perasaan lewat tulisan, tapi aku beberapa waktu lalu sudah mulai mencoba namun hasilnya tidak sama. Malah puisiku tidak ada rasanya.  Aku akan banyak berlatih lagi agar bisa menyamai puisi ibu.
 

"Waw, puisi siapa ini yang cukup indah. Karya Asmayani? Aku tidak pernah tahu ada penyair yang bernama tersebut." Seorang pembina bertanya. 
 

"Itu puisi karya ibu saya," jawabanku mendapatkan tepuk tangan dari teman-teman organisasi. 
 

Acara dilanjutkan dengan membaca beberapa karya dari teman-teman lain. Ada yang menuliskan puisinya sendiri. Ada juga yang membacakan karya dari penulis puisi terkenal seperti puisi eyang Sapardi Djoko Damono. Ruang ini riuh dengan suara tepuk tangan.
 

Tiba-tiba ada kunjungan dari Dosen, Rektor dan yayasan ke setiap organisasi. Akhirnya aku bisa menampakkan diri lagibdi depan atuk. Saat selama ini aku tidak terlalu jelas bertemu dengannya, tapi sekarang bisa secara jelas. 
 

Seseorang masuk, dia berbisik pada kakak pembina organisasi. Kemudian kakak pembina organisasi meminta kami untuk menjaga attitude dan sopan. Karena rombongan yayasan akan segera tiba. 
Saat itu aku sudah tidak sabar, benar saja dalam rombongan itu ada Atuk di dalamnya. Saat memasuki ruangan, mata kami langsung bertemu. Atuk langsung bisa tanda bahwa ini aku. Sontak wajah panik bisa kulihat dari mukanya. 
Beruntung karena ini sedang kunjungan organisasi, untuk mahasiswa baru dan dia tetap menjaga wibawanya. Diam adalah cara dia bertahan diri. Aku rasa diamnya dia itu sambil memikirkan banyak hal. Boleh jadi memikirkan aku yang ada di sini. Atau jangan-jangan dia memikirkan cara mengusirku lagi.
 

Dalam ruangan ini dia tidak banyak bicara, hanya sesekali mililhat jam tangan. Kemudian dia berbisik ke salah satu panitia pembina. Panitia pembina melirik ke arahku dan mengangguk. Setelah mereka pergi, panitia memintaku untuk ikut. Awalnya aku bingung mau diajak ke mana. Ternyata aku tertegun saat membaca papan nama pada pintu ruangan. Kenapa aku di bawa ke ruangan ini.
Tertulis jelas di depan pintu masuk  'Ruang Ketua Yayasan' 
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro