Bab 6. Calon suami Gyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa ini?" Dikta mengerutkan kening saat Gyana tiba-tiba saja sudah muncul di hadapannya dan memberikan selembar uang berwarna merah kepadanya. Bukan memberikan lebih tepatnya, tetapi melempar. Dan tatapan gadis itu saat melemparnya juga tampak sengit seperti biasanya.

"Uang bakso," jawab Gyana datar. Dan sebelum yang lainnya melihat keberadaannya--entah yang lainnya itu siapa saja, gadis itu memutuskan untuk pergi.

Dikta yang merasa bingung tentu saja tidak melepas gadis yang hari ini mengenakan kemeja putih itu begitu saja. "Tunggu dulu! Uang bakso apa ini maksudnya?"

Gyana terpaksa berhenti karena Dikta menarik ransel yang disandangnya. "Nggak usah narik-narik juga kali."

Dikta pun segera melepas pegangannya pada ransel hitam Gyana. "Sori. Tapi tolong ini jelasin maksudnya apa?" Pemuda itu menyodorkan uang seratus ribuan itu pada pemiliknya.

"Katanya pinter, masak kayak gini aja nggak paham?"

Dikta menggelengkan kepalanya. "Memang nggak paham, bakso apa maksud kamu?"

Gyana mencoba menelisik wajah Dikta yang benar-benar menunjukkan kebingungan. Dan sepertinya pemuda ini memang tidak sedang berbohong. Apa jangan-jangan dirinya sudah salah tuduh?

"Ini uang bakso kemarin," lirih Gyana masih mencoba menelisik wajah yang katanya tampan itu. Apalagi saat sedang mengenakan kemeja hitam seperti sekarang ini, kata Reni aura seorang Pradikta begitu terpancar. Namun, di mata Gyana tentu saja tidak seperti itu.

"Kemarin? Bakso? Aku nggak paham."

Gyana berdecak kesal karena tindakan cerobohnya. Jadi maksudnya yang membelikan bakso kemarin bukan Dikta? Melainkan Tante Septi? Bisa jadi seperti itu. Sial!

"Sori, gue ada kelas!" Gyana buru-buru pergi meninggalkan Pradikta yang diam-diam mengulum senyum geli. Pemuda itu tidak mengejar Gyana karena gadis itu pasti akan marah. Dan aktingnya juga bisa jadi akan terbongkar.

Tentu saja dia ingat perkara kemarin dan bakso yang gadis itu katakan karena memang dirinya yang membelikannya. Namun, demi bisa berinteraksi lama dengan gadis itu tentu saja akting seperti tadi diperlukan. Meski interaksi yang terjadi bukanlah sesuatu yang baik, tetapi pemuda itu merasa bersyukur bisa melihat wajah manis Gyana dari jarak yang begitu dekat.

*

"Katanya benci, tapi deket-deketan terus." Cibiran itu terdengar saat Gyana akan berbelok di koridor menuju kelasnya. Sosok Reni sudah berdiri di sana entah sejak kapan. Gadis itu tampak seksi dengan celana jeans ketat yang membungkus kaki rampingnya, yang kali ini dipadukan dengan kemeja bergaris hitam putih.

"Lo ngapain, deh?" sahut Gyana malas sembari melanjutkan langkahnya.

"Lo yang abis ngapain?" Reni tampak menyelidik wajah Gyana yang selalu tampak kesal setiap kali berinteraksi dengan Pradikta. Hal yang sungguh membingungkan di mata Reni karena akhir-akhir ini kedua manusia itu terlihat dekat. Contohnya saja kemarin, Pradikta bahkan membawakan ponsel Gyana, juga mengantar gadis ini ke kampus. Dan baru saja, entah apa yang dilakukan keduanya, Reni hanya bisa menyaksikan mereka berinteraksi dari kejauhan.

"Kepo aja lo." Gyana memilih masuk ke kelas karena sebentar lagi kelas pertamanya akan dimulai.

Reni yang ikut duduk di kursi dekat dengan Gyana memusatkan penuh perhatian ke gadis itu. "Kalian kayaknya akhir-akhir ini deket, deh. Gue nggak salah tafsir, kan?"

Gyana memutar bola matanya malas sembari berujar, "Gue juga nggak tahu kenapa dia harus selalu ada di sekitaran gue setiap waktu." Gadis itu akan menyimpan rapat tentang kedekatan yang terjalin antara orang tua mereka dan bahkan rencana perjodohan konyol itu. Dan lagi, selama beberapa hari semenjak makan bersama hari itu tidak ada lagi pembahasan yang ayahnya lakukan mengenai perjodohan. Jadi, Gyana akan menganggap jika pertanyaan waktu itu bukan hal serius.

"Nggak mungkin kan, Gy, kalau dia naksir lo?" Reni menyelidik wajah Gyana yang tampak kesal mendapat pertanyaan seperti itu.

"Mana gue tahu, sih, Ren? Misal iya juga nggak ada pentingnya buat gue."

Reni menggelengkan kepala, merasa aneh dengan sosok Gyana. Coba dirinya yang ada di posisi itu, menjadi orang yang mungkin Pradikta sukai, tentu saja hal tersebut akan menjadi sesuatu yang begitu membahagiakan. Di mana mimpinya untuk bisa dekat dengan idola kampus ini terwujud.

"Lo aneh, padahal kalau dia suka lo itu sesuatu yang perlu dibanggakan."

Gyana diam, bukan hanya karena dosennya masuk, tetapi lebih tidak suka meneruskan obrolan tidak penting yang terjadi. Lagi pula, Dikta itu bukannya sedang menyukainya, Gyana yakin jika seorang Pradikta sedang mencari cara untuk mempermainkannya. Entah dendam apa yang pemuda itu miliki hingga terlihat begitu membencinya.

*

Rain : Seblak mana itu, pengin.

Gyana tersenyum membaca balasan dari Rain setelah dirinya mengirim foto semangkuk seblak pada gadis itu.

Gyana : Makanya ke sini, nanti aku ajak muter-muter. Kulineran bakso sama seblak.

Setelah mengirimkan balasan pesan itu, Gyana menyimpan ponselnya dan mulai menikmati seblak yang dijual tidak jauh dari area kampus. Kebetulan makanan favorit Rain sama dengannya. Olahan yang pedas dan asin, sering merencanakan suatu saat bisa kopi darat dan mereka makan bersama.

Rain : Kamu atuh yang ke Bandung, aku susah mau ke mana-mana. Di sini juga ada seblak enak. Bakso merconnya yang di deket rumah aku juga juara.

Gyana membaca pesan itu sekilas, belum berniat membalasnya karena sedang menikmati kuah pedas dari seblak. Sesekali melihat jam di ponsel karena kini tengah menunggu seseorang. Baru setelah makanannya tandas, gadis itu mengetikkan pesan balasan.

Gyana : Nanti, ya, pas liburan, mudah-mudahan bisa kopdar.

Satu pesan lain masuk dari orang yang Gyana tunggu. Gadis itu memesan kaset DVD online penyanyi lawas yang disukai ayahnya. Sebentar lagi cinta pertamanya itu ulang tahun dan rencananya, kaset DVD itu adalah hadiah yang akan Gyana beri. Agak susah mencari barang-barang lawas seperti itu, apalagi yang original. Dari seorang teman, dirinya bisa mendapatkan nomor penjualnya. Dan mereka memutuskan untuk bertemu di luar.

Rain : Iya, aku pengin banget ngobrol sama ketemu kamu langsung.

Gyana tersenyum saat membaca pesan balasan tersebut, lalu melambai pada sosok pemuda yang tampak sedang celingukan. Dari ciri-ciri yang disebutkan di pesan, sepertinya pemuda itu yang dirinyan tunggu.

"Gya?" Gyana mengangguk dengan menunjukkan senyuman ramah.

"Andi, ya?"

"Iya." Pemuda itu lalu menarik satu kursi untuk duduk. "Ini kasetnya, ori semua kok. Dulu koleksi almarhum papa gue."

Gyana menatap jajaran kaset yang Andi keluarkan dengan mata berbinar. Membayangkan wajah ayahnya yang pasti akan senang mendapatkan semua ini.

"Memang beneran udah nggak dipake?"

"Enggak, kemarin mau dibuang malah sama kakak gue. Sayang aja gitu."

Gyana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, gue ambil."

"Coba dulu aja ya, Gy." Andi mengeluarkan laptopnya dan mencoba semua DVD lawas itu. Hanya satu yang rusak dan pemuda itu memberikan diskon.

"Wah, makasih banget, ya, dikasih diskon." Gyana menampakkan senyum cerah yang dibalas pemuda berkulit kecokelatan itu dengan senyuman yang tidak kalah lebar. Dari cara Andi menatap Gyana, seperti ada ketertarikan di sana.

"Boleh kontakan nggak setelah ini?" tanya Andi setelah transaksi mereka selesai. Gyana membalas dengan uang tunai sesuai kesepakatan mereka.

Gyana yang tidak paham mengangkat alis.

"Masih boleh hubungin lo nggak setelah ini? Siapa tahu nanti ada koleksi kaset baru lagi?"

Gyana yang tahu maksud terselubung dari kalimat itu melempar senyum tipis. Lalu—

"Nggak boleh, dia udah terlarang untuk dideketin." Suara lain menghentikan jawaban yang baru saja akan terlontar dari bibir Gyana.

"Kenalin, gue Dikta, calon suami Gyana." Dengan begitu percaya diri, pemuda berambut gondrong itu mengulurkan tangan pada Andi. Sementara Gyana yang melihat itu hanya bisa menggeram kesal, dan menahan diri untuk tidak menyiram kepala Dikta dengan kuah seblak yang belum selesai dia makan.

***

Terima kasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Sampai jumpa minggu depan :) 

Seperti biasa mau ingetin yang mau baca lebih cepat silakan ke Karyakarsa karena cerita ini sudah tamat di sana. 

Akun Karyakarsa - ayaarini236

IG - dunia.aya

Spoiler Bab 7

"Tapi buku yang aku cari ...." Pemuda itu malah berpindah posisi menjadi tepat di belakang Gyana. Secara otomatis gadis itu menahan napas saat lengan Dikta menjulur ke arah depan, dan mengambil buku yang ada di depannya. Dan sialnya Dikta tidak langsung menarik tangannya padahal buku sudah ada di tangan pemuda itu. Sedikit merunduk, Pradikta menatap wajah Gyana yang mendadak gugup, melempar senyum, lalu menarik tangannya sembari menggeser tubuh.

Saat itulah Gyana baru sadar untuk mengambil napas yang sejak tadi tertahan. Ada gugup yang merajai, apalagi saat aroma khas seorang Pradikta masih tertinggal di indera penciumannya. Parfum yang pemuda itu kenakan adalah jenis yang—sialnya Gyana sukai. Campuran antara wangi maskulin dan buah-buahan segar. Gadis itu tidak bisa menjabarkan bagaimana wangi parfum lawan jenis. Namun, untuk dirinya yang tidak terlalu menyukai parfum dengan bau menyengat, parfum pemuda ini sangat ramah dihidungnya.

Tunggu! Apa yang dirinya lakukan saat ini? Mengapa jadi membahas parfum pemuda itu? Melirik ke arah samping, Dikta tengah mengamatinya dengan senyuman tertahan yang—sial, kenapa jantung Gyana malah berulah di dalam sana? Gadis itu secepatnya pergi sebelum virus Dikta merasuk ke dalam otaknya dan membuat kewarasannya hilang.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro