IGNORE - Empat belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehilangan benda bersejarah tak lebih penting dari menyelamatkan gadis itu. _Kemal Satyangkara_

※※※


Gadis itu berteriak, dan Kei membekap mulut gadis itu setelah dia menariknya ke arah bangunan yang ada di pinggir jalan, hingga posisi mereka terlindungi bangunan itu.

Begitu tatapan mereka bertemu, barulah perlawanan yang gadis itu lakukan terhenti. Kei melepaskan tangannya dari wajah Anya. Saat itu Kei bisa menangkap keterkejutan di sepasang mata Anya, gadis itu seperti menuntutnya penjelasan untuk keberadaannya di tempat ini. Tentu saja sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberikan apa yang gadis itu tanyakan melalui sorot matanya.

Didengarnya derap cepat orang berlarian semakin dekat. Kei menarik tangan kanan Anya.

"Jalan ke lurus ke depan, jangan menoleh ke belakang." Dia berbisik pelan ditelinga gadis itu.

Gadis itu hendak menoleh, tapi Kei langsung menahan pipinya dan berbisik tajam.

"Jalan."

Anya mengangguk patah-patah.

Lalu mereka meneruskan langkah dengan Kei yang memposisikan diri lebih waspada.

"Itu dia!" Seruan itu berasal dari orang-orang di belakang mereka.

Kei melihat sekilas ke belakang, ada tiga orang yang mengejar mereka saat itu. Kei mempercepat langkahnya, seiring itu dia mendorong halus bahu Anya untuk berjalan lebih cepat.

Salah satu dari pengejar mereka, tiba-tiba sudah sampai di hadapan mereka. Keduanya sontak menghentikan kaki.

"Hei, ketemu lagi," ucap orang itu mengamati Anya dengan seringai di wajahnya.

Anya beringsut mundur, merapat pada Kei.

"Dia cowok lo?" orang itu menunjuk Kei.

Kei menatap balik orang itu dengan sorot tajam. Dia menyadari dua orang yang lain sudah berdiri di belakang mereka.

"Lo udah kasar sama bos kita, jadi jangan salahin kita kalo sekarang jadi tertarik untuk main-main sama lo."

Anya memeluk lengan kiri Kei erat-erat.

"Senpai, kita harus apa sekarang? Kenapa Senpai nggak langsung hajar mereka?" Anya berbisik dengan suara yang gugup.

Kei menghelakan napas. Mendorong mundur Anya, dan dia maju selangkah ke depan.

"Saya minta maaf kalo cewek ini udah bikin teman kalian celaka. Kita bisa selesaikan ini baik-baik. Mungkin kami bisa ganti rugi?"

Orang yang berdiri di hadapan mereka, menyeringai.

"Berapa yang kalian punya? Gue mau semua."

Kei mengeluarkan dompetnya dari saku belakang, lalu mengeluarkan seluruh uang yang ada di dalamnya. Kei lalu menoleh pada Anya yang sedang menatapnya dengan mulut menganga.

Dia kemudian mengisyaratkan Anya untuk melakukan hal yang sama. Gadis itu awalnya menolak, tapi karena Kei mengintimidasinya dengan tatapan, gadis itu pun mengeluarkan uangnya dari dalam dompet.

"Gue cuma bawa segini," ucap Anya seraya mengeluarkan uang dari dompet miliknya.

Kei menerima empat lembar uang berwarna biru dari Anya. Kei lalu menyerahkan uang berjumlah tujuh ratus ribu rupiah pada orang berambut ikal di depannya. Setelah menerima uang itu, temannya yang lain menunjuk jam tangan Kei.

Kei memperhatikan orang itu sejenak, kemudian beralih mengamati jam tangannya lekat-lekat.

"Senpai, jangan..." bisik Anya.

Pandangan Kei beralih pada Anya. Sorot mata juga wajah Anya meninggalkan jejak tak terpahami yang membuatnya rela menukar apa pun, demi keselamatan gadis itu.

Selang beberapa detik kemudian, Kei melepaskan jam tangannya.

Anya menahannya sekali lagi, tapi Kei tak mengindahkan. Dia mengulurkan jam tangan itu pada cowok berambut ikal.

"Sebenarnya ini juga belum cukup," kata orang itu menyeringai lagi begitu jam tangan Roger Dubuis milik Kei berpindah tangan. "Karena cewek ini yang berbuat, jadi gue mau dia sendiri yang minta maaf, langsung sama bos gue."

"Tapi sayangnya, kalian nggak akan dapat apa-apa selain itu," Kei menunjuk uang dan jam tangannya.

"Gimana kalo gue minta dengan cara paksa?"

"Akan lebih baik kalo kita selesaikan ini baik-baik tanpa kekerasan."

"Tapi sayangnya," cowok berambut ikal itu meniru ucapan Kei. "Cewek lo yang manis ini yang memancing kekerasan lebih dulu. Jadi, sebagai ikan yang lagi lapar, gue berusaha untuk menangkap umpan."

Cowok berambut ikal itu memberikan isyarat pada dua temannya, dan mereka bertiga secara bersamaan mulai menyerang. Kei sudah mengantisipasi hal ini beberapa menit yang lalu, maka saat salah satu dari orang itu hendak menyentuh Anya, dengan kesigapan penuh Kei menarik tubuh Anya ke sisi yang lebih aman, sementara tangan yang lain, menghalau serangan yang tertuju padanya.

"Bangsat!" Si rambut ikal tak terima.

"Udah saya bilang kan, kalian nggak akan dapat lebih dari apa yang dipegang sekarang." Ucap Kei tajam. Tidak bisa dipercaya, dia baru saja kehilangan jam tangan bersejarah hanya demi seorang gadis. Sialan!

Kei membaca gelagat lain dari cowok berambut ikal itu. Secara tiba-tiba sebuah tinjuan terjurus ke arah wajah Kei, dengan kesigapan penuh dia menghindar hingga membuat orang itu terhuyung ke depan karena pukulannya hanya menabrak angin.

Hal itu semakin memancing kemarahan, tidak hanya dari orang yang berusaha memukul Kei, tapi juga dua temannya. Tanpa dikomando, ketiga orang itu menyerang Kei bersamaan.

Kei menghindari serangan yang datang dari berbagai arah, dengan Anya yang masih berada di sisinya. Saat itu dia memiliki peran ganda, menjaga pertahanan diri dan melindungi gadis yang bersamanya.

Kei tidak melakukan perlawanan, dia hanya berusaha menangkis setiap serangan yang datang.

Kei sudah memperhitungkan segalanya, menyerang lawan di saat dia sedang melindungi seseorang bukanlah pilihan yang tepat. Karena itu sejak tadi dia hanya berusaha menangkis dan menghindar, sedikit pun dia tidak ingin melepaskan konsentrasinya pada Anya.

Setiap tangkisan yang dia lakukan berhasil membuat lawannya tersungkur ke jalan, Kei memanfaatkan waktu itu untuk menarik Anya menjauh dari sana. Jika dia ingin melumpuhkan lawannya, pertama-tama dia harus mengamankan Anya lebih dulu.

Kei melihat tempat pembuangan sampah di sisi kanan jalan, dia menarik Anya ke sisi bagian belakang tempat pembuangan sampah.

"Tunggu di sini."

"Di sini? Ya ampun, Senpai, di sini bau banget, tahu." Anya menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat.

"Saya nggak keberatan kalo harus nyerahin kamu sekarang juga ke mereka." Perkataan Kei itu sontak membuat Anya menggeleng.

Masih dengan menutup hidung dan mulutnya dengan tangan, Anya merunduk di belakang tempat pembuangan sampah.

Sesaat setelah Kei kembali ketepi jalan, ketiga orang itu sampai di depannya. Sebenarnya perkelahian adalah hal terakhir yang selalu dipilih olehnya. Jika masih memungkinkan untuk mengalah, Kei lebih baik mengambil cara itu. Dan sekarang, ketiga orang itu memaksanya untuk mengambil jalan terakhir yang paling dihindarinya.

Salah satu dari mereka langsung menyerang dengan pukulan, kali ini Kei tidak hanya menangkis, dia juga melakukan perlawanan dengan bebas. Satu per satu mereka menyerang Kei, dengan mudah Kei menebas setiap serangan.

Tidak ada satu pukulan pun yang mengenai tubuh Kei, padahal dia hanya mengeluarkan sedikit kemampuan beladirinya. Dan dia juga melakukan serangan yang memiliki dampak paling minim bagi orang-orang itu.

Ketika akhirnya perkelahian tidak dapat terelakkan, Kei tidak mau membuat orang lain terluka. Itu saja.

Menyadari kalau Kei bukanlah petarung biasa, ketiga orang itu merubah strategi, mereka menyerang Kei secara bersamaan. Kei terpaksa mengerahkan lebih banyak tenaga untuk mempertahankan diri dari serangan yang beruntun.

Ketika ketiga orang itu tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah, Kei terpaksa mengambil tindakan untuk menghentikan perkelahian.

Satu orang dia lumpuhkan dengan pukulan dirahang. Lalu orang berikutnya menyerang Kei dengan tinjuan yang sigap ditangkis olehnya. Kei balik melakukan beberapa serangan di bagian betis dan lutut. Orang itu seketika mengerang dan jatuh berlutut karena kehilangan kemampuan untuk berdiri.

Melihat dua temannya berhasil dilumpuhkan, si rambut ikal mengambil sesuatu dari balik jaketnya. Si rambut ikal menyeringai sambil membuka pisau lipat yang kini ada di tangan. Beberapa kali si rambut ikal menjuruskan pisau itu ke arah Kei, dan Kei berkelit untuk menghindar.

Saat menemukan waktu yang tepat untuk menyerang, Kei menarik bahu si rambut ikal, mencengkram bahu itu kuat, lalu tangannya yang lain dengan gerakan cepat menangkap pergelangan tangan si rambut ikal, memelintir telapak tangan itu hingga pisau lipat terjatuh.

Seiring dengan pisau lipat yang terlepas, si rambut ikal berteriak kesakitan. Kei bisa memastikan untuk sekarang cowok itu tidak akan bisa menggerakkan pergelangan tangannya.

Kei tidak mencederai mereka secara serius, niatnya hanya membuat ketiga orang itu berhenti mengejar agar dia dan Anya bisa segera pergi dari tempat itu.

Baru saja Kei hendak menjemput Anya di balik tempat pembuangan sampah, Kei melihat gerombolan orang yang lebih banyak berlarian ke arahnya, jumlahnya sekitar tujuh sampai delapan orang.

Mungkin orang-orang itu memang berkelahi dengan cara amatir, tapi Kei tidak bisa meremehkan. Apalagi orang-orang itu sedang terpengaruh minuman keras, hal buruk bisa saja terjadi dan Kei tidak mau mengambil resiko.

Kei menyusul Anya di belakang pembuangan sampah.

"Ayo cepat!" Kei meraih tangan Anya.

Gadis itu tidak bergerak, wajahnya terlihat shock.

"Anya, berdiri!" Kei perlu mengangkat bahu gadis itu agar bergerak.

Anya mengerjap beberapa kali sebelum kesadarannya pulih.

"Wah! Senpai keren banget tadi. Gue kayak lagi nonton film action, tahu!" Kei mengamati perubahan ekspresi di wajah Anya yang penuh dengan rasa takjub dan kekaguman.

Kei berdecak, tanpa mengubris ocehan Anya, cowok itu mengamati sekitar dan menemukan jalan setapak di belakang pembuangan sampah, dia lalu membawa Anya menyusuri jalan setapak itu dengan berlari.

"Kenapa lari?"

"Teman-teman mereka datang."

"Kalo gitu kenapa nggak Senpai hajar juga?"

Sambil berlari Kei melirik Anya sedikit kesal. Gadis ini, selalu bertindak sesuka hati tanpa berpikir panjang akibat buruk yang terjadi setelah itu.

Kei dan Anya terus berlari menyusuri jalan setapak lebih jauh.

Kei menghentikan kakinya ketika matanya tanpa sengaja menangkap kali yang bersisian dengan sebuah rumah. Sesaat Kei mengamati kali itu. Ukurannua selebar dua setengah meter dengan tinggi sekitar tiga meter dari permukaan air, dia tidak bisa memprediksi kedalaman kali tapi sepintas dari pengamatan, air di kali itu tidak terlalu dalam.

Pandangan Kei menyisir kali hingga ke bagian ujung, kali itu berbelok ke bagian belakang rumah, sebuah ide pun terlintas di benaknya.

Kei berjalan menuju kali masih dengan menggandeng Anya. Dia kemudian memberi isyarat agar Anya berjalan lebih dulu menuju kali.

"Mau ngapain?" Anya menatapnya bingung.

"Lewat sini," dia menunjuk tepi rumah yang berbatasan dengan kali. Ada ruang sepuluh senti untuk mereka jadikan pijakan meniti hingga ke ujung kali. "Kita sembunyi diujung kali belakang rumah ini."

"Kenapa kita nggak terus lari aja, siapa tahu ketemu tempat sembunyi yang lebih aman dari ini?" Anya menatapnya memprotes.

Kei menghelakan napasnya. Tidak ada waktu untuk mendebat atau mencari persembunyian lain, orang-orang itu sekarang pasti sedang mengejar mereka ke arah sini.

"Kamu mau tertangkap sama mereka atau ikutin apa yang saya bilang?"

Anya memberengut, meski begitu memilih menuruti Kei.

Kei membiarkan Anya meniti tepi kali itu lebih dulu. Keduanya menempelkan punggung ke dinding rumah sambil melangkah dengan perlahan. Kei yang berada di belakang Anya, sesekali mengawasi pergerakan gadis itu.

Seruan orang dan derapan langkah yang semakin dekat membuat langkah Anya berhenti.

"Jalan terus," Kei menegur.

Anya mengangguk.

"Lebih cepat. Kita harus sampai di ujung kali sebelum mereka sampai ke sini," ucap Kei lagi.

"Cepat gimana, pijakannya terlalu sempit, bisa-bisa aku jatuh ke kali, tahu."

Anya memberengut lagi, wajahnya kesal tapi juga terselip ketegangan tiap kali kakinya melangkah.

"Nggak akan jatuh, saya jagain."

Anya lalu meneruskan titiannya, lebih cepat dan hati-hati seperti intruksi Kei.

Cahaya-cahaya yang berasal dari satu sudut, membuat Kei tahu para pengejar mereka sudah sampai di jalan setapak dekat kali. Beberapa langkah lagi, mereka berdua pun akan sampai diujung kali.

Anya menghembuskan napas kuat-kuat setelah mereka berbelok ke sisi belakang rumah.

Tampak cahaya-cahaya memindai sekitar kali, menandakan orang-orang itu tengah berada di sekitar kali. Sedikit saja terlambat, keberadaan mereka akan terlihat.

Detik demi detik, orang-orang itu tidak beranjak dari kali. Kei melirik Anya yang tampak gelisah.

"Ada apa?"

"Pegel." Sahutnya dengan suara merengek.

Kei menyandarkan separuh tubuh gadis itu ke bahunya agar separuh beban tubuh gadis itu tertumpu padanya, lalu punggung tangannya menahan perut Anya.

"Seperti ini nggak masalah?"

Anya menjawab dengan senyuman, kemudian mengangguk.

"Kenapa kita lari dan sembunyi kayak gini sih? Senpai kan pemegang sabuk hitam karate, Senpai pasti bisa ngelahin mereka semua, kan?"

Kei menurunkan pandangan, dalam posisi seperti itu, hanya bagian atas kepala gadis itu yang bisa terlihat.

Ini bukan semata-mata ilmu beladiri yang dimilikinya saja, tapi juga menyangkut keselamatan gadis itu. Mudah saja bagi Kei untuk menghadapi orang-orang itu. Tapi siapa yang akan menjamin salah satu dari mereka tidak akan menyentuh Anya?

Selain urusan otot, Kei hanya berusaha memperhitungkan hal-hal lain yang mungkin terjadi. Kepercayaan dirinya tidak lebih penting daripada keselamatan gadis itu.

Jika sebelumnya mereka sempat menganggu Anya, tidak menutup kemungkinan mereka bisa berbuat lebih dari itu, apalagi setelah Anya melukai salah satu dari orang itu dengan batu.

"Perlu kamu tahu, saat mabuk orang bisa kehilangan kendali dan logika. 80% tindakan mereka bisa sangat berbahaya."

"Dari mana Senpai tahu kalo mereka mabuk?" Anya mendongak menatap Kei dengan kening berkerut.

Kei memalingkan wajah, mengawasi orang-orang yang masih mengejar mereka berada di sekitar kali, sengaja menghindar dari pertanyaan menyelidik dari Anya.

"Mm... sebenarnya, ada yang mau aku tanyain," gadis itu bicara lagi. "Kok bisa Senpai ada di luar resort, trus tiba-tiba tolongin aku?"

Pertanyaan itu membuat Kei tertegun. Pikirannya kembali mengulas kejadian berpuluh-puluh menit yang lalu saat dia masih berada di dalam resort.

Setelah mendapatkan pesan dari Anya, Keo tidak bisa lagi duduk dengan tenang seperti sebelumnya. Kegelisahan itu membuatnya mengambil keputusan untuk mengikuti Anya.

Dia melihat gadis itu berjalan ke luar resort, dipikirnya orang yang menjemput Anya sudah datang. Tapi kegelisahan itu berubah menjadi rasa heran ketika melihat Anya melewati areal parkir menuju jalan di luar resort. Kemudian dia memutuskan mengikuti Anya sampai ke jalan.

Tidak tahu apa yang mendorong Kei melakukan itu. Tapi benaknya memerintahkan untuk tetap mengikuti Anya. Dia akan kembali ke resort setelah memastikan penjemput Anya tiba dan membawa gadis itu pergi dari sana.

"Apa kamu nggak berharap saya ada di sini?" Kei bertanya dengan mata menyipit.

"Bukan, bukan gitu," Anya menjawab cepat. "Mm... Senpai, ngikutin aku, ya?" Tanya Anya dengan suara tertahan.

Kei memalingkan wajahnya, lalu mengembuskan napas kasar.

"Coba sekali aja berpikirlah sebelum bertindak, gunakan akal dikepala kamu untuk memilah apa yang harus dan nggak perlu dilakukan," Kei mengetuk-ngetuk kepala Anya dengan siku jarinya.

"Sakit," Anya mengeluh sembari mengusap kepalanya.

"Buat apa kamu berkeliaran di luar dan bertingkah sok jagoan? Apa kamu nggak takut, hm?"

Anya menggigiti ujung jari jempolnya.

"Senpai kalo marah-marah gitu kayak cowok yang lagi ngomelin pacarnya, tahu nggak sih."

Kei tertegun menatap puncak kepala Anya.

"Tadinya iya, aku takut banget, tapi pas lihat Senpai, rasa takutnya hilang. Nggak tahu kenapa, aku langsung ngerasa aman."

Kei baru menyadari hal aneh yang terjadi padanya berpuluh-puluh menit yang lalu. Tentang seperti apa perlindungan yang dia lakukan agar gadis itu tetap aman bersamanya. Tentang keselamatan gadis itu yang kekeuh dia perjuangkan sejak orang-orang itu mengejar mereka.

Pemikiran itu baru Kei sadari, seakan dia baru saja pulih dari hipnotis.

"Senpai,"

"Hm."

Anya mendongakkan kepala, membuat Kei yang sejak tadi hanya bisa melihat rambut hitam gadis itu, kini dia bisa menatap sepasang manik mata dan senyum hangat milik gadis itu dari jarak yang begitu dekat.

"Makasi ya."

※※※


FYI guys... untuk beberapa part setelah ini, ada part yang akan di private, jadi untuk kelancaran membaca, silahkan follow dari sekarang.

syukria.
kakahy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro