IGNORE - Lima belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ada kesempatan yang hilang, maka harus ada kesempatan lain yang dimanfaatkan. _Kanyadewi Sihandar_

※※※


"Mereka nggak ngejar kita lagi, kan?" tanya Anya.

"Semoga aja," Kei menjawab singkat.

Keduanya keluar dari persembunyian, setelah Kei memastikan tempat itu aman dari para pengejar.

Mereka lalu menyusuri jalan setapak ke arah dimana mereka datang sebelumnya.

"Kita harus cepat kembali ke resort sebelum mereka muncul lagi di sini."

Anya mengangguk. Sekilas menoleh ke belakang, karena saat dipersembunyian, cowok itu sempat melihat beberapa orang tampak berlarian ke arah yang berlawanan dengan jalan yang mereka lalui sekarang.

Keduanya berjalan cepat, sesekali berlari.

Sayup-sayup dikejauhan Anya mendengar suara orang yang berbicara. Anya menajamkan pendengarannya, makin lama suara itu seperti mendekati mereka. Sebelum Anya bertindak, Kei lebih dulu meraih tangannya.

Kakinya refleks berlari ketika Kei lebih dulu melakukan hal yang sama.

"Itu mereka," hanya penjelasan itu yang Anya dengar keluar dari mulut Kei ditengah-tengah pelarian mereka.

Beberapa meter kemudian, cowok itu berhenti secara mendadak. Kei pergi ke salah satu sisi pohon, lalu mengintip ke satu arah.

"Kenapa?"

"Mereka juga berjaga di sana," jawaban Kei itu membuat Anya ikut mengintip.

Kei benar, terlihat beberapa orang tengah menunggu di sebuah jalan.

Kecemasan Anya semakin bertambah karena suara-suara orang yang berjalan ke arah mereka semakin dekat.

"Gimana nih?" tanya Anya panik.

Anya melihat Kei mengedarkan pandangannya. Lalu tatapannya tertuju pada sebuah bangunan bertingkat yang tampak belum selesai dibangun.

"Ayo," Kei menggerakkan jarinya, Anya mengikuti cowok itu.

Mereka masuk ke bagian dalam bangunan. Tempat itu tidak berpintu, cukup luas dan tidak bersekat. Hanya ada sebuah ruang kecil di bawah tangga, yang mungkin direncanakan untuk kamar mandi.

Melihat dari kondisi bangunan yang berlumut dan dipenuhi bercak hitam, Anya menaksir bangunan ini sudah terbengkalai cukup lama.

Anya menoleh pada Kei. "Kita sembunyi di sini?"

Sebelum Kei menjawab, suara orang yang bercakap-cakap semakin terdengar jelas. Bersamaan dengan itu Kei mengajak Anya ke belakang sisi tangga.

Lalu berjongkoklah mereka di balik tangga itu, karena sejauh mata memandang hanya tempat itu yang bisa mereka jadikan tempat untuk berlindung.

Tanpa mereka sangka, suara langkah kaki memasuki bangunan tempat mereka bersembunyi. Suara langkah itu mendekati mereka.

Anya merapatkan dirinya semakin dekat pada Kei, salah satu tangannya mencengkram tepi jas cowok itu ketika suara langkah orang itu terdengar semakin dekat dengan tangga.

"Woi! Gue udah periksa di sana, bersih!"

Suara langkah itu terhenti sejenak, kemudian terdengar lagi, lalu menghilang.

Anya menghelakan napas lega, tanpa sadar menjatuhkan kepalanya di dada Kei.

"Hampir aja," gumamnya.

Anya sudah akan menarik kepalanya, saat telinganya tiba-tiba menangkap detakan cepat dan kuat berasal dari dada Kei.

Sebelumnya detakan serupa sempat Anya rasakan juga saat mereka berlarian ketika orang-orang itu mengejar mereka.

Anya menempelkan daun telinganya lebih rapat pada dada Kei. Berusaha mencari-cari lebih jelas tempat detakan itu berasal.

"Senpai, gugup?" tanyanya masih dengan telinga yang menempel di dada Kei. "Kenapa? Senpai, takut?"

Kei terkesiap, seketika memundurkan tubuhnya menjauh dari Anya. Untuk beberapa detik, Anya sempat melihat Kei menatapnya dengan pandangan aneh, sebelum akhirnya cowok itu memalingkan wajah.

Anya menyenggol bahu Kei sambil berbisik dengan cengiran lebar.

"Cowok yang tadi aku lihat menghajar tiga orang sekaligus bisa ngerasa takut juga ya."

"Diam," bisik Kei tajam. "Mereka bisa aja denger suara kamu."

Anya mengangguk-angguk meski mulutnya masih memperlihatkan senyum meledek.

"Cari mereka sampe ketemu. Gue mau cewek itu gimana pun caranya, gue nggak akan biarin dia lolos gitu aja. Dia udah bikin hancur muka gue."

Cengiran yang sempat mampir di wajah Anya kontan lenyap ketika mendengar teriakan dari arah luar bangunan. Tubuhnya seketika menegang.

"Denger itu, hm?" tanya Kei sembari menggerakkan dagu.

"Mereka duluan yang gangguin aku."

"Itu nggak akan terjadi kalo kamu menunggu jemputan di dalam resort."

Bibir Anya merengut.

Keduanya lalu keluar dari persembunyian begitu para pengejar mereka pergi dari sana.

"Jadi, gimana sekarang?"

"Yang jelas, untuk sementara waktu kita nggak bisa kemana-mana."

"Trus aku nggak bisa ke Lembang dong?"

"Dengan terpaksa saya bilang, iya."

"Senpai nggak mau bantuin aku keluar dari sini, biar aku bisa pergi ke Lembang?"

"Tadi saya terpaksa ngelakuin hal yang paling nggak saya suka gara-gara kamu. Dan sekarang saya nggak mau mengulang itu lagi."

Anya memikirkan sesuatu, menimbang apakah dia harus menghubungi Adrian untuk membantunya keluar dari tempat ini.

"Terlalu bahaya juga kalo kita menerobos mereka." Kei melanjutkan.

Anya bersandar ke badan tangga, kata-kata Kei juga wajah kekecewaan ayah menganggu benaknya.

Dia menoleh ke arah Kei, tatapan mereka bertemu. Sesaat kemudian cowok itu menghembuskan napas kasar.

"Ya udah, ayo kalo gitu."

"Ayo kemana?"

"Mau ke Lembang, kan?"

Seulas senyum cerah terbit di wajah Anya. Lalu mengangguk.

"Trus gimana caranya kita pergi dari sini?"

"Cukup berdiri di belakang saya. Apa pun yang terjadi tetap di sana dan jangan ngelakuin apa-apa."

Membayangkan kembali perkelahian yang sempat dilihatnya beberapa waktu lalu, membuat Anya merasa gugup. Dia menatap Kei dari belakang, matanya memperhatikan tubuh atletis cowok yang malam ini berbalutkan jas abu-abu.

Seperti apa cara cowok itu menyelamatkannya dari gangguan orang-orang mabuk tadi, memunculkan semburat merah di kedua pipinya. Anya merasa dibalik sikap dingin Kei, cowok itu memiliki sisi hangat untuk melindungi.

Anya menempelkan kedua tangannya di pipi, bersamaan dengan itu sebuah senyum merekah lebar di sepanjang garis bibir.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Bukankah sebelumnya dia mencari-cari alasan agar dia bisa bersama cowok itu? Dan sekarang dia punya alasan kuat untuk tidak datang ke Lembang, bukan?

"Ntar dulu." Secara mendadak Anya menarik jas abu-abu Kei. 

Cowok itu menoleh.

"Gue nggak mau ke Lembang."

Kei menatapnya cukup lama. Kemudian cowok itu memijit pelipis sambil menggerutu.

"Kamu ini bener-bener labil dan suka berubah-ubah ya."

"Setelah  kupikir-pikir, aku nggak mau ngerepotin Senpai lagi. Jumlah mereka banyak, pasti bakal bahaya kalo Senpai harus melawan mereka satu per satu."

Anya tidak membual, dia juga mencemaskan Kei. Dia tidak bisa menempatkan cowok itu dalam situasi yang membahayakan. Bagaimana kalau orang-orang itu menggunakan senjata tajam dan mengeroyok Kei?

"Kalo gitu sekarang kamu telepon ayah kamu."

Anya mengangguk, mengeluarkan ponselnya dari tas. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dan lima pesan, semuanya dari Adrian. Saat proses ijab qabul, Anya memang sempat mematikan nada dering ponselnya karena tidak mau menganggu prosesi sakral itu dan belum mengaktifkannya lagi.

Saat ini Adrian pasti sedang kebingungan karena dia tidak ada di resort.

Saat akan menekan kontak ayahnya, wajah muram laki-laki itu terbayang lagi.

Sungguh, sekarang Anya merasa telah menjadi anak terburuk di dunia, ketika hatinya lebih memilih bersama dengan Kei dari pada laki-laki yang sudah membuat dia lahir ke dunia.

Anya mengembalikan ponsel ke dalam tas dengan seribu maaf yang diucapkan untuk sang ayah. Kalau Anya mendengar suara ayah sekarang, dia pasti semakin merasa bersalah. Jadi lebih baik, dia tidak perlu mendengarnya, meski dengan begitu Anya akan membuat ayah cemas, kenyataannya sekarang dia baik-baik saja.

Tinggal bagaimana besok Anya menghadapi kemarahan ayah. Setidaknya kemarahan ayah nanti bisa Anya jadikan sebagai penebusan dosa untuk kejadian malam ini.

Suara ledakan yang bertubi-tubi menjeda perhatian mereka. Anya melihat jam tangannya, jarum jam telah menunjukkan detik-detik pergantian tahun.

"Kayaknya pesta kembang api udah di mulai. Ayo kita lihat."

"Jangan di luar," Kei menahan Anya. "Mereka mungkin masih ada di sekitar sini. Kita ke atas," cowok itu menunjuk ke arah tangga.

Anya langsung berlari menaiki anak tangga dengan penuh semangat, di belakang Kei mengikuti. 

Anya memperhatikan ruangan lantai dua. Sama halnya dengan bangunan di lantai bawah, tempat ini pun tidak terdapat sekat apa pun. Bedanya, ada sebuah balkon yang berada di samping bangunan.

Mereka lalu pergi ke balkon itu.

"Jangan terlalu dekat dengan balkon," Kei mengingatkan lagi ketika Anya berdiri didekat pagar pembatas.

"Kita belum sepenuhnya aman."

Anya mengangguk lalu mundur beberapa langkah tanpa mengalihkan matanya dari langit. Berdiri dia sambil memperhatikan kembang api yang mulai meramaikan langit malam.

Suara dentuman bersahutan dari berbagai penjuru.

Anya mengeluarkan kamera polaroidnya, beberapa kali menekan tombol memotret. Sesekali dia juga mengarahkan kameranya ke arah Kei yang kini berdiri di sampingnya. Cowok itu juga sedang menatap percikan berwarna-warni yang terus menghias langit. Kei tidak menyadari Anya yang memotretnya.

Saat tersadar, cowok itu langsung meraih kamera itu, Anya berusaha mengambil kembali, tapi Kei tak membiarkan.

"Apa yang bisa kamu lihat dalam kondisi gelap begini?" Kei mengeluarkan ponselnya dari saku, memberikan penerangan di sekitar mereka, lalu mengarahkan lensa kamera polaroid ke arah mereka berdua.

Anya mengerjap menatap Kei, tidak menyangka cowok di sampingnya sedang mengambil foto selfie bersama.

Kei menoleh. "Kamu masih bisa ngeliatin saya nanti, sekarang lihat kamera dulu."

Terpatah-patah Anya meluruskan kepalanya ke depan.

Setelah Kei menekan tombol, dan mengembalikan kamera padanya, Anya masih diselimuti ketidakpercayaan.

Kei mengambil hasil foto itu, lalu menyerahkannya pada Anya. Melihat Kei yang tersenyum dalam foto itu, membuat Anya langsung tersadar.

"Lagi! lagi!" Seru Anya penuh antusias.

Kei tidak menanggapi, cowok itu memutar tubuh, berjalan memasuki ruangan.

Anya mengekor, meninggalkan keriuhan kembang api sebagai tanda pergantian tahun yang terjadi di luar sana.

Entah kenapa, Anya merasa, malam ini cowok itu jauh lebih menarik dari pada pesta kembang api.

※※※

Pesta kembang api yang berasal dari resort tempat digelarnya pernikahan keluarga Om Damar sudah selesai beberapa menit lalu, tapi di tempat lain dentuman kembang api masih terdengar di kejauhan.

Sekarang keduanya duduk di dalam ruangan, dekat pintu balkon. Mereka hanya memanfaatkan penerangan alam yang berasal dari sinar bulan dan pendar bintang.

Sambil memperhatikan hasil foto dari kamera polaroid, sesekali Anya menoleh pada Kei yang sedang duduk memainkan ponsel. Anya melirik ponselnya yang tergeletak di sebelahnya dalam kondisi mati karena kehabisan baterai. Saat ini Adrian bukan hanya panik, cowok itu pasti seperti kesetanan mencarinya.

"Sebenarnya aku punya temen yang bisa ngebantu kita keluar dari tempat ini. Emang sih ilmu beladirinya nggak sejago Senpai, tapi dengan satu tambahan tenaga, mungkin bisa ngebantu Senpai ngelawan orang-orang itu?"

Anya memperhatikan Kei, menunggu reaksi dari cowok itu.

"Kalo begitu telepon dia supaya kamu bisa keluar dari sini. Tapi saya nggak akan kemana-mana." Jawab Kei tanpa mengalihkan fokus perhatiannya dari layar ponsel.

Kening Anya mengernyit. "Emang Senpai nggak mau pulang?"

Cowok itu tidak menjawab.

"Trus apa gunannya Senpai ikut beladiri kalo di kondisi seperti ini, keahlian itu nggak menolong?"

"Saya nggak bisa mengorbankan orang lain, cuma untuk nujukkin kemampuan."

Anya menatap Kei tak mengerti. "Tapi kita dalam keadaan bahaya, udah sewajarnya kan Senpai ngelawan mereka."

Anya tidak bisa percaya ini, cowok itu masih memikirkan keselamatan orang-orang mabuk yang telah menganggunya dari pada berusaha mengeluarkannya dari tempat ini? Pantas saja, saat diawal-awal perkelahian Kei lebih sering menghindar dan menangkis serangan.

Coba kalau Adrian yang bersamanya, cowok itu bisa mematahkan semua tulang belulang orang-orang itu karena berani menyentuh Anya

Anya mendengus, mulai kesal.

"Jadi tadi kita kabur melarikan diri, cuma gara-gara Senpai nggak mau bikin mereka celaka? Harusnya Senpai bikin orang-orang itu babak belur karena mereka udah kurang ajar sama aku!" Nada suara Anya meninggi. "Kalo nggak mau bikin mereka celaka, kenapa nggak sekalian aja Senpai serahin aku ke mereka, ngapain juga repot-repot nyelamatin dan bawa aku ke sini, hah?"

Diberondong tudingan yang bertubi-tubi, Kei menatap Anya terkejut. Kei memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Kamu nggak akan ngerti." Ucapnya berkata tajam.

Anya mendengus lagi. "Emang. Senpai itu aneh, nyebelin tahu nggak!"

Anya berdiri lalu berjalan ke balkon dengan kaki yang dihentak-hentakkan, dia berdiri dekat pagar pembatas. Peringatan yang sebelumnya cowok itu katakan untuk tidak berdiri dekat pagar pembatas, tidak Anya pedulikan lagi.

"Jangan berdiri di luar, ayo masuk."

"Biar! Biarin orang-orang itu lihat, biar sekalian aku dibawa sama mereka. Senpai nggak usah capek-capek tolongin lagi supaya nggak bikin mereka celaka!"

Anya benar-benar kesal. Percuma tadi dia berpikir Kei benar-benar melindunginya karena peduli. Ternyata karena alasan nggak masuk akal itu.

Menjengkelkan! Kenapa dia harus menghabiskan malam tahun baru ini bersama cowok seperti itu! Anya jadi menyesal.

Ditatapnya layar ponselnya yang gelap. Kalau saja benda itu tidak kehabisan baterai, sekarang dia pasti akan meminta Adrian menjemputnya di tempat ini.

Benar kata Fira, satu-satunya cowok yang peduli padanya dengan tulus, hanya Adrian.

Tiba-tiba Anya merasa tubuhnya tertarik, Anya terkesiap. Dia melihat tangan Kei yang sedang berusaha membawanya masuk ke dalam ruangan. Refleks tangan Anya yang bebas menggapai-gapai pagar pembatas, dia lalu berpegangan kuat dibesi melawan pegangan Kei.

Kei akhirnya mengalah, cowok itu melepaskan Anya.

"Di luar dingin, dengan baju begitu kamu bisa masuk angin kalo tetap ngotot di sana."

Suara bernada lembut itu, membuat Anya menoleh pada Kei. Cowok itu juga tengah menatapnya dengan sorot lembut.

Kekesalannya perlahan menyurut, berganti rasa canggung yang tiba-tiba datang.

"Aku ini yang masuk angin, kenapa Senpai yang repot," gumamnya.

Kei memperhatikan Anya saksama. Lalu menghela napas pendek.

"Oke, terserah. Tapi masuk dulu, saya mau ngomongin soal Ale."

Kening Anya mengernyit.

"Kenapa sama Ale?"

"Makanya ke sini dulu."

Anya berdecak. Enggan menuruti Kei, tapi karena penasaran akhirnya Anya masuk ke dalam ruangan.

Sebelum bicara cowok itu menarik napas panjang sebentar.

"Soal Ale, lebih baik dia berlatih karate di dojo."

Anya menoleh, memperhatikan Kei dengan menyipitkan mata.

"Dia udah punya niat untuk berlatih serius."

Anya menggaruk-garuk dagunya. Membahas soal Ale, Anya merasa sedikit was-was. Pasalnya dia sempat memberitahukan pada Ale, salah satu alasannya mengikutsertakan adiknya itu les karate privat, agar dia bisa lebih dekat dengan Kei.

Apakah adiknya itu memberitahukannya pada Kei?

"Emang Ale udah cerita apa aja?"

"Dia cuma bilang, kalo mau ikut latihan karate di dojo, dia harus dapat izin dari kakaknya."

"Cuma itu?" Anya menatap Kei serius.

Kei membalas tatapan Anya. "Apa ada yang lain, yang seharusnya Ale ceritakan ke saya?"

Anya buru-buru memalingkan muka. "Nggak ada tuh."

Lewat sudut mata, Anya sadar tatapan Kei masih tertuju padanya.

"Kalo Ale latihan di dojo, dia bisa berlatih lebih fokus."

"Emang kalo latihan sama Senpai nggak bisa begitu? Seharusnya justru lebih fokus kan, karena perhatian Senpai jadi nggak terbagi dengan anak-anak yang lain."

Kei memijit pelipis.

"Sebenarnya apa alasanmu mengikutsertakan Ale karate? Untuk main-main?"

Anya membulatkan mata, mengibas-ngibaskan jemarinya. Bagaimana pun, Kei tidak boleh tahu alasan yang sebenarnya.

"Kalo begitu, lebih baik Ale nggak perlu latihan privat lagi karena saya nggak mau membuang tenaga dan waktu untuk sesuatu yang nggak membuahkan hasil."

Tapi Anya juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersama cowok itu meski sebelumnya dia sempat merasa kesal pada cowok itu.

"Kalo Ale latihan di dojo, kemampuannya akan tersalurkan dengan benar. Dan dia bisa jadi atlet karate."

"Kenapa Senpai peduli soal itu?" Anya mengangkat alisnya. "Iya, kenapa Senpai mau repot-repot mikirin soal itu, Ale kan bukan siapa-siapa."

"Jelas saya memikirkan, karena di sini kamu yang maksa saya menggunakan waktu luang saya untuk mengajar Ale. Kalo akhirnya beladiri yang saya ajarkan cuma digunakan untuk pamer, terlihat hebat atau untuk jadi preman, maaf, bukan itu tujuan utama saya membantu anak-anak berlatih di dojo."

Anya baru bisa mengedipkan mata setelah cowok itu selesai bicara. Mendengar Kei bicara sebanyak itu, Anya cukup shock dibuatnya.

Anya menatap Kei sesaat, sejurus kemudian senyum lebar menghias di wajahnya. Baik, ada kesempatan yang hilang, maka kesempatan yang lain juga harus dimanfaatkan.

"Oke, aku kasih izin Ale ikut latihan di dojo, tapi dengan satu syarat."

Kei terlihat menunggu Anya melanjutkan ucapannya.

"Syaratnya, Senpai harus kencan satu hari sama aku."

※※※

part selanjutnya,  di private yaa, yang masih ingin baca, boleh follow dulu dari sekarang...

kalo nggak salah, ini part terakhir sebelum saya unpublish ignore beberapa bulan yang lalu, kan? ya nggak sih?

suwun..

kakahy

※※※


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro