Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart

Luka robek di lengan kanan dan lecet di rusuk kiri.

Fonda menyeringai puas melihat hasil perbuatannya. Cindaku duduk bersandar di dinding, membiarkan darah menetes turun, dan menatapi wanita itu dengan intens.

"Kamu harus lebih berusaha lagi," ucap Fonda sambil bersandar santai pada kursi kerjanya. "Saya baru pertama kali mengoperasikan alat itu secara manual dan kamu sudah luka."

Cindaku menggeram rendah. Namun, lengkungan pada bibir Fonda malah semakin tinggi. Rasanya memang menyenangkan dapat bermain seperti tadi. "Lain kali kita akan bermain lagi, oke?"

Bunyi dentang memutuskan pembicaraan satu arah yang sedang terjadi. Cindaku menoleh ke sumber suara. Dia menekan pintu kecil lift dan menemukan sepotong besar daging kangguru di atas piring.

Cindaku mengambilnya dengan kening mengerut. Makhluk itu mengendus daging sambil memandangi Fonda.

Apa dia curiga? Fonda membuang pandang, memutuskan kontak. Wanita itu menutup mata dan memberi waktu dirinya untuk beristirahat. Sejujurnya, tangan kirinya masih terasa kebas. Setrumam ringan berkali-kali yang dia rasakan memberikan efek ngilu dan harus diakui sarung itu terasa cukup berat, pantas Ruben tidak menggunakannya.

Fonda membuka mata dan menemukan Cindaku sedang melahap kudapan yang dia berikan. Bibir wanita itu melengkung samar. Dia memiliki waktu beristirahat setidaknya setengah jam sebelum menjahit luka makhluk itu.

*****

Dengkur halus terdengar saat Fonda, Bastian, dan satu pekerja Genma berdiri di depan sel. Wanita itu kemudian melangkah masuk dengan santai, diekori oleh pekerja Genma yang mendorong mesin anestesi.

Fonda mengamati sejenak angka pada layar mesin, memastikan benda itu berfungsi, sebelum mengangguk ke arah pekerja, meminta agar pria itu pergi. Meski obat bius sudah diberikan, tetapi tetap ada kemungkinan pasien terbangun dan bukankah lebih baik satu orang yang tewas oleh Cindaku yang mengamuk dibandingkan dua?

Ekspresi lega tampak pada wajah pekerja itu. Dia pun bergegas pergi sebelum pintu segera dikunci dari luar oleh Bastian.

Cindaku tampak lelap dalam tidur. Makhluk itu duduk bersandar pada dinding, sedangkan piring plastik kosong berada didekat lift. Daging kangguru yang telah dilumuri obat tidur telah habis dilahap olehnya.

Tidak ada yang berbicara. Bastian dalam posisi siaga mengarahkan moncong senapan bius ke arah Cindaku. Fonda berlutut di dekat makhluk itu, meraih selang bius, dan secara perlahan memasangkannya pada hidung dan mulut Cindaku. Dia kemudian menempelkan alat deteksi jantung pada dada pasiennya.

Detak jantung normal.

Fonda bangkit berdiri dan berjalan menuju bagian lain dari kandang Cindaku. Dia membuka sebuah pintu, jalur masuk kekamar mandi pribadi makhluk itu.

Sama seperti kamar mandi milik Inyiak. Genma masih memberikan mereka privasi dengan tidak memasang CCTV di sana. Sebuah toilet duduk dan pancuran berada di dekat wastafel dengan sikat gigi, sabun mandi, dan sampo.

Fonda mencuci tangan dan menghirup aroma dari sabun yang sering dipakai Cindaku. Bau citrus.

Wanita itu tersenyum miring sebelum membaui sampo. Sepertinya staf rumah tangga Genma Surabaya menyukai bau jeruk.

Akan tetapi, Fonda tidak berlama-lama. Dia meraih baskom besi yang berada di sana dan mengisinya dengan air bersih sebelum keluar ruangan untuk melakukan operasi.

*****

Dua puluh menit berlalu sejak Fonda menjahit luka robek pada lengan kanan Cindaku. Wanita itu dengan ahli menggunakan jarum yang telah disterilkan dan benang yang menyerap pada kulit, merapatkan daging yang terkoyak.

Napas Cindaku stabil. Makhluk itu bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Air dalam baskom telah berubah merah, begitu pula dengan handuk kecil yang dia pakai untuk menghapus darah dari luka robek sebelumnya.

Fonda mengambil kapas, meneteskan antiseptik, kemudian membersihkan luka baret pada tubuh Cindaku. Wanita itu mengerjakan tugasnya dengan teliti, menempelkan beberapa plester hanya pada lecet yang agak dalam. Dia kemudian bangkit berdiri membawa baskom kotor ke kamar mandi dan membersihkannya sebelum kembali untuk merapikan bekas operasi. Bersih, profesional, dan rapi.

Cindaku tampak terurus. Fonda menutup tas dokter, melepaskan selang gas, dan mendorong mesin ke arah pintu sel yang langsung dibuka oleh Bastian, lalu melangkah keluar.

Pintu sel tertutup. Sepuluh menit kemudian, Cindaku terbangun dan melihat sekeliling dengan tatapan linglung.

*****

Auman ganas menggelegar ruangan. Bastian telah berada di luar, meninggalkan Fonda seorang diri yang harus menghadapi kemarahan Cindaku.

Mata biru itu berkilat marah. Cindaku memukul tembok sambil menatapi Fonda yang duduk santai pada kursi kerja.

"Bisakah kamu tenang?" tegur Fonda dengan kening mengerut jengkel. "Saya tidak bisa membiarkan luka itu terbuka. Kamu bisa infeksi."

Sayang, Cindaku lebih tertarik meluapkan kekesalannya dibandingkan menunjukkan rasa terima kasih. Makhluk itu melihat ke tempelan plester yang menodai kulit putihnya sebelum melepaskannya dengan kasar.

Harimau, laki-laki, dan ego mereka.

Fonda memutar mata dan mendengkus sebal. Cindaku memiliki kemampuan regenerasi sama seperti Inyiak. Memang seharusnya dia tidak menyia-nyiakan plester untuk luka remeh seperti itu.

Cindaku mengaum, memamerkan keempat taring yang memanjang. Namun, makhluk itu tidak beranjak dari tempat duduknya, seakan tahu tidak ada guna menabrakkan diri pada teralis besi yang memisahkan mereka.

Fonda mengembuskan napas panjang. Wanita itu menekuk jari-jari tangan dan memeriksa lapisan kuteks yang mulai terkelupas pada ujungnya. Sudah waktunya mengganti warna.

Dia menoleh ke arah Cindaku dan bertanya, "Ungu atau merah?"

Teriakan yang menyerupai harimau marah mengusik gendang telinga Fonda. Wanita itu mendengkus dan meraih salah satu botol. "Ungu kalau begitu."

Lima belas menit berlalu. Fonda mengamati warna ungu yang melapisi seluruh kuku tangan dan kaki.

Fonda kemudian menoleh ke arah sel. Cindaku telah kembali ke wujud manusia. Namun, mata birunya masih menunjukkan permusuhan, begitu pula dengan geraman pendek-pendek saat pandangan mereka bertemu.

Rupanya dia sangat tersinggung.

Fonda mengembuskan napas panjang. Berdua begini saja sangat membosankan. Wanita itu pun memutuskan untuk mengantongi kuteks ungunya lalu berjalan mendekati jeruji.

Hanya dalam hitungan detik, Cindaku telah memelesat. Dia berdiri dan berusaha mencakar Fonda.

Akan tetapi, Fonda telah berhenti beberapa sentimeter dari cakar yang memanjang. menatapi kuku panjang hitam tajam itu dengan penuh perhatian.

Napas Cindaku pendek-pendek. Makhluk itu menggeram, seakan hendak memangsa Fonda.

Fonda mengeluarkan botol kuteks. Dia menggocoknya sejenak, kemudian membuka tutupnya.

Kening Cindaku mengerut saat melihat ulah Fonda. Pupil makhluk itu pun seketika mengecil saat dia merasakan sapuan kuas pada cakarnya yang perkasa.

"Ya, hari ini ungu," ucap Fonda puas saat Cindaku menarik kembali tangannya dan menatapi hasil pekerjaan wanita itu. "Sudah jam lima sore, sampai jumpa besok."

Tidak ada balasan dari Cindaku, mungkin makhluk masih terbengong-bengong panik menatapi cakarnya yang kini terlihat feminim. Namun, Fonda tidak berminat menoleh. Wanita itu terus melangkah, membuka dinding buatan, kemudian meninggalkannya.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang

8 April 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro