Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart

"Valkyrie."

Sosok seorang perempuan Eropa berbikini besi dan menggenggam sebuah tombak, muncul seketika di dalam kubah. Sepasang sayap putih raksasa mirip milik seekor burung mengepak pelan pada punggung.

"Pak Ruben, beri saya kendali," perintah Fonda.

Ruben menurut. Pria itu langsung menekan ibu jari pada tombol penyidik dan mengetik cepat pada keyboard.

"Kendali manual diaktifkan."

Fonda merenggangkan jari-jari tangan kiri kiri yang terpasang sarung tangan besi, mencoba mengontrol makhluk virtual itu. Terbang, berputar, dan melempar tombak.

"Dokter Fonda, Anda berbakat sekali memainkannya," puji Ruben terkagum-kagum. Pria itu menonton sambil mengerutkan hidung, menahan kacamata bulatnya melorot lebih jauh. "Apa Anda gamer?"

"Tidak. Saya hanya perfeksionis." Fonda menampik ungkapan penuh kekaguman itu. Dia menekan tombol lain sehingga terdengar suara mesin.

"Copper Canyon, Meksiko."

Lembah terjal berwarna-warni sontak tercitra, membentangkan jarak cukup jauh dari dinding kubah.

"Jadi, Cindaku akan bertarung dengan makhluk udara lagi?" tanya Ruben dengan wajah antusias. Pria itu tampaknya sudah melupakan rasa trauma dan kini bertingkah seperti anak kecil yang akan menonton film superhero.

"Ini cara teraman yang saya tahu." Fonda menekan tombol, membuka pintu lift, dan membuat robot wanita mengeluarkan perintah melalui pengeras suara yang berada di dalam sel Cindaku. "Waktu latihan Cindaku .... Waktu latihan Cindaku."

Dari layar, Fonda melihat Cindaku bangkit berdiri dan berjalan menuju kapsul transparan. Makhluk itu memakai rantai pada kedua tangan sebelum lift tertutup dan bergerak naik.

Akan tetapi, saat pintu lift terbuka, Fonda menekan tombol, mematikan proyektor dan membuat Ruben berseru panik. "Dokter Fonda, apa yang Anda lakukan?!"

Cindaku melangkah keluar, menapaki marmer putih yang menjadi alas. Makhluk itu melihat ke arah Valkyrie yang melayang di udara sebelum perhatiannya teralih ke luar kubah, tempat Fonda berada.

"D-Dokter Fonda, n-nyalakan proyektornya," cicit Ruben sambil berjongkok. "D-dia melihat ke sini."

Sayang, Fonda mengabaikan permintaan lirih itu. Dia malah dengan sengaja menggerakkan tangan kiri, membuat Valkyrie mengikuti gerakannya, dan menyeringai ke arah Cindaku.

Mata biru itu sontak berkilat ganas, menatap balik Fonda. Geraman rendah terdengar dan membuat Ruben langsung merangkak masuk ke dalam kolong terdekat.

"Copper Canyon, Meksiko."

Fonda akhirnya menyalakan proyektor. Wanita itu menekan tombol, membuat rantai Cindaku terlepas, sebelum dia bergumam ringan. "Waktunya bermain."

******

Getaran pada tangan kiri terasa menyengat saat Cindaku berhasil melompat dan mencakar paha kiri Valkyrie. Makhluk itu mengambil momentum saat lawannya terbang rendah, mencoba menusuk tombak pada tubuhnya.

Bulu putih loreng hitam yang menyelubungi sepasang tangan punggung dan dada itu sudah dinodai bercak merah, meski hanya luka ringan. Sayap kiri Valkyrie telah patah, tetapi makhluk itu masih bisa terbang, walau miring.

"Lempar tombaknya!" seru Ruben dengan semangat. "Lempar sekarang!"

Fonda memutar mata, menanggapi ide bodoh pria itu. Satu-satunya senjata Valkyrie hanyalah tombak dan apabila dia melemparnya, maka manusia burung itu tinggal menunggu waktu untuk dikalahkan.

Fonda menggerakkan tangan kiri, membuat monster virtual itu kembali terbang, saat suara tepuk tangan terdengar dari belakang.

"Saya tidak menyangka Anda dapat mengoperasikan mesin ini dengan cepat." Ucapan Dokter Hendra membuat Fonda dan Ruben menoleh. Kesalahan besar. Cindaku mengambil kesempatan untuk melompat dan memeluk Valkyrie dari samping sebelum mematahkan leher cantiknya.

Getaran terakhir dirasakan tangan kiri Fonda sebelum sarung itu berhenti bekerja.

"Ada keperluan apa hingga seorang direktur datang ke sini?" tanya Fonda sambil melepaskan sarung tangannya dan membiarkan Ruben mengambil alih mesin.

"Saya tidak bermaksud mengganggu waktu latihan." Dokter Hendra tersenyum ringan saat melihat ekspresi kesal Fonda. "Hanya saya mendapatkan banyak laporan bahwa tindakan Anda di luar kewajaran dan sedikit mengkhawatirkan."

Fonda sontak melirik ke arah Ruben. Pria kurus itu pun buru-buru membuang muka, menyibukkan diri dengan tombol-tombol mesin meski Cindaku telah kembali ke dalam lift.

"Tanpa ditemani pengawal?" tanya Hendra sambil melirik ke sekitar.

"Saya tidak membutuhkannya. Tidak ada hal berbahaya yang dapat terjadi di lorong," ucap Fonda sambil mendengkus. "Saya lihat Anda pun tidak ditemani pengawal."

"Setelah insiden terakhir, kita memang kekurangan tenaga." Dokter Hendra berjalan mendekat saat Fonda bangkit berdiri. "Saya lihat tindakan Anda berhasil. Saya akui bahwa pada awalnya saya pesimis."

"Dokter Hendra, apakah ini pujian? Saya akan sangat berterima kasih apabila pujian ini terdengar oleh dia."

"Cantik dan ambisius." Dokter Hendra tertawa renyah. "Jangan khawatir, Dokter Fonda. Saya selalu memperhatikan kesejahteraan anak buah saya. Untuk itulah saya datang saat ini."

Pria gemuk itu sedikit merunduk, mendekati telinga Fonda, dan berbisik, "Satu menit. Anda akan mendapatkan keinginan Anda selama satu menit."

Napas Fonda tertahan. Dia pun menatapi Hendra yang tersenyum dan mengangguk kepadanya.

Fonda sontak berjalan cepat, pergi meninggalkan ruangan tanpa berkata-kata. Wanita itu melewati lorong, menuju lift, dan menekan tombol.

Jantung Fonda berdebar sangat cepat. Sudah lama dia tidak mendapatkan kesempatan seperti ini.

Wanita itu menaiki lift dengan gelisah. Dia bahkan hampir berlari menuju kamarnya dan menggesek kartu dengan tangan gemetar.

Ruangan mewah, bagai kamar suite sebuah hotel berbintang lima, menyambut penghuni ruangannya. Namun, Fonda mengabaikan pemandangan luas langit biru dari jendela tanpa teralis, televisi raksasa yang tertempel di dinding, ataupun kompor mewah dua tungku yang terletak di dekat microwave dan kulkas.

Wanita itu melepaskan stilleto, membiarkan kakinya yang kini hanya terbungkus stoking hitam menapaki karpet bulu cokelat yang menghampar pada lantai, dan terus berlari menuju ranjang king size miliknya.

Dering telepon berkabel yang terletak di atas nakas terdengar saat Fonda hampir jatuh terpeleset. Wanita itu meraih gagang telepon dan berkata dengan napas tersengal-sengal.

"H-halo?"

"Halo." Suara seorang anak perempuan terdengar cadel dari seberang sana.

Mata Fonda memerah. Wanita itu menahan tangis dengan menutup bibirnya yang gemetar dengan telapak tangan.

"Halo, ini ciapa?"

Fonda menelan ludah. Wanita itu pun menjawab dengan nada lirih. "D-dewi. I-ini Mama."

"Mama? Mama di mana? Kenapa Mama belum jemput Dewi?"

Air mata Fonda mengalir turun saat dadanya terasa sesak. Dia mencoba mengontrol suaranya agar dapat menjawab, "M-mama masih sibuk. D-Dewi sehat-sehat di sana? A-apa mereka baik ke Dewi?"

"Baik!" Suara ceria anak itu terdengar lantang. "Tante Jodie bilang sebental lagi Dewi bisa jalan!"

Fonda menarik napas cepat saat mendengar jawaban dari putri tunggalnya. "J-jalan?"

"Iya! Kaya Nyi Bloong! Bisa jalan!"

Mereka akan mengganti kakinya dengan tubuh ular?

"J-jangan!" seru Fonda seketika. "E-enggak! Dewi enggak usah bisa jalan!"

"Kenapa? Dewi juga mau bisa jalan kaya yang lain."

"E-enggak! Mama enggak izinin!" Fonda berteriak panik. "Jangan biarin mereka sentuh Dewi! Dewi dengar Mama!"

"Sepuluh detik sebelum panggilan berakhir."

"Mama jahat!" Teriakan Dewi bertabrakan dengan suara pemberitahuan mesin.

Napas Fonda memburu. Mereka akan melukai putrinya, merusak masa depan darah dagingnya. Satu-satunya orang yang dia kasihi di dunia ini.

"Dewi! Dengar Mama! Jangan ada yang boleh ganti—"

Suara sambungan terputus menghentikan ucapan Fonda. Wanita itu menahan gemetar pada tubuh sebelum menjerit sejadi-jadinya.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang^^

12 April 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro