Perceraian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiii ...
Aku bawa kisah baru buat kalian.
Semoga kalian suka dan ada pelajaran yang bisa diambil.
Sediakan hati yang kuat, tahan emosi, dan jangan baper!
.
.
.
♡♡♡


Ketuk palu dari hakim persidangan seakan menjadi tanda jika saat ini aku telah resmi menyandang status 'janda'. Status yang tak pernah kuinginkan sebelumnya. Jangankan kuinginkan, memikirkannya pun tak pernah. Aku terpaksa menyetujui permintaan Mas Muklas untuk bercerai walaupun aku tidak menginginkan hal ini terjadi, tapi Mas Muklas kukuh untuk menceraikan aku dengan berbagai alasan. Aku tak becus urus rumah, tak secantik dulu, dan alasan lain yang tak masuk akal. Alasan yang membuatku mau menandatangi surah cerai ini adalah mengenai niatnya ingin menikahi wanita lain.

Apa salahanku? Aku sudah berusaha sebaik mungkin menunaikan tugasku dari pertama kami berumah tangga sampai saat ini, dan aku tak pernah mengabaikan tanggung jawab sebagai seorang istri, termasuk kewajiban di atas ranjang. Tujuh tahun membina rumah tangga bersama bukanlah waktu yang singkat. Terlebih, kami sudah dikarunia seorang putri.

Kenapa Mas Muklas tak memikirkan masa depan Lita, putri kita? Kenapa dia lebih memilih wanita lain dan meninggalkan kami? Apa yang akan aku jelaskan pada Lita nantinya?

Air mata masih mengalir di pipi. Rumah tangga yang kurajut selama tujuh tahun harus berakhir hari ini. Rumah tangga yang awalnya kupikir akan selamanya, kini harus terputus karena orang ketiga.

Perhatianku teralih ketika mendengar langkah alas kaki. Aku beranjak dari tempat duduk. Pandangan kulempar ke arah Mas Muklas. Dia berjalan meninggalkan ruangan ini bersama Heni, wanita yang digadang-gadang akan menjadi istrinya.

"Mas." Aku membuka suara.

Mas Muklas menghentikan langkah, membalikkan tubuh, lalu menatapku. "Apa masih kurang jelas?" tanyanya.

"Sering tengokin Lita kalau Mas libur. Lita pasti akan sering menanyakan Mas," pintaku.

"Itu urusanmu. Bukannya yang pingin punya anak itu kamu? Bukannya kamu sendiri yang minta hak asuh Lita? Jadi urus Lita sepenuhnya, dan aku nggak akan ikut campur." Mas Muklas menimpali.

"Kenapa sekarang kamu berubah, Mas? Kamu dulu perhatian banget sama Lita dan janji nggak bakal menyesal sudah punya dia walaupun awalnya kamu nggak mau. Tapi kenapa kamu sekarang begini?" Aku menatapnya sedih.

"Sudah! Kita sudah resmi cerai, jadi nikmati hidupmu sekarang, dan aku menikmati hidupku." Mas Muklas berlalu dari posisinya bersama Heni setelah mengatakan hal itu padaku.

Sesak rasanya dada ini. Air mata tak hentinya mengalir di pipi mengiringi nasib yang harus kujalani.

"Ibu!"

Kuusap air mata ketika mendengar seruan Lita. Senyum paksa kusungging pada putri kecilku yang berdiri di ambang pintu seorang diri. Aku bergegas menghampirinya.

"Bu. Ayah kok pergi sama Tante Heni? Lita mau ikut Ayah, tapi nggak boleh sama Ayah," tutur anak gadisku yang sebentar lagi akan menginjak usia empat tahun.

"Kita pulang, yuk," ajakku, mengabaikan pertanyaannya mengenai sang ayah. Aku masih enggan untuk membicarakan masalah ayahnya. Masih terasa sakit di dada jika mengingat ucapan Mas Muklas mengenai Lita.

"Ayah?" tanya Lita.

"Ayah ada urusan. Kita pulang saja ke rumah nenek." Aku meraih tangan Lita, lalu menggandengnya untuk meninggalkan tempat ini.

Masih tak percaya jika rumah tanggaku akan berakhir secepat ini. Ingatanku tertuju pada saat mengenal Mas Muklas, lalu sampai menikah, memiliki anak, dan menjalani rumah tangga dengan suka cita selama tujuh tahun. Tapi kini aku menerima kenyataan jika hubungan aku dan Mas Muklas memang telah berakhir. Masih belum percaya.

"Bu, kita pulang ke rumah nenek? Memangnya Ibu masih marahan sama Ayah? Kok lama banget marahannya?" Lita masih melayangkan pertanyaan padaku mengenai ayahnya.

Aku memang tak banyak mengatakan apa pun padanya mengenai hal ini. Dia masih kecil dan belum waktunya tahu. Aku takut akan mengganggu mentalnya.

"Ya ampun, Lita! Nenek nyariin kamu, ternyata kamu di sini!" Ibu terlihat panik.

"Lita kaleh Ajeng, Bu. Ora opo-opo. Syukure ampun rampung." Aku menenangkan ibu.

"Pun rampung?" tanya ibu.

Kepala kuanggukkan.

"Nengendi Mulas?" Ibu mengedarkan pandangan.

"Sudah pergi sama Heni. Lebih baik kita pulang," ajakku.

"Ibu mau ngomong sama dia."

"Sudah nggak ada di sini, Bu. Kita pulang saja." Aku masih membujuk.

Ibu terpaksa menurutiku. Beliau pun kesal pada Mas Muklas karena sudah ingkar janji. Sebelum aku dinikahi Mas Muklas, dia mendatangi almarhum bapak dan berjanji akan menjagaku dan menyayangiku sepenuh hati. Mengetahui Mas Muklas akan menceraikanku, ibu sangat marah. Kemarahan ibu menjadi saat tahu Mas Muklas selingkuh dengan Heni, teman SMA-ku.

Mungkin ini kesalahanku telah mengenalkan Heni pada Mas Muklas saat dia datang ke rumah meminta bantuan? Aku tak menyangka jika niat baikku dimanfaatkan olehnya. Dia mengambil Mas Muklas dariku. Dia salah satu penghancur rumah tanggaku. Apa salahku?

Yang kupikirkan saat ini adalah Lita. Apa yang harus aku jelaskan padanya jika kami harus meninggalkan rumah kita tempat saat dia kecil untuk selamanya? Secara tidak langsung Mas Muklas mengusir kami. Aku tidak bisa menuntut karena rumah itu miliknya. Rumah itu hasil jerih payahnya sebelum menikah denganku. Jadi aku menerima kenyataan jika harus meninggalkan rumah itu.

Mengenai orang tua Mas Muklas, mereka tak ikut campur dengan masalah kami. Seolah tutup mata dan telinga akan kelakuan anaknya. Lagipula, orang tuanya memang sibuk dengan urusan pribadi karena mereka bercerai dan menjalani rumah tangga sendiri-sendiri tanpa peduli pada anak mereka.

Apakah ini salah satu karma? Aku tak percaya itu. Tapi kejadian ini seakan membuatku yakin bahwa buah tak jatuh dari pohonnya. Tidak. Aku masih berharap jika takdir memang tak berpihak padaku. Lita tak bersalah dalam masalah ini. Dia hanya korban. Aku yakin dia bisa bahagia ke depannya dan tak akan mengalami hal yang sama seperti aku dan Mas Muklas. Aku yakin.

♡♡♡

Silakan koment.
Apresiasikan perasaanmu untuk bab ini.

Bully Muklas sama Heni juga boleh. 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro