Status Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mau tak mau aku dan Lita harus kembali ke rumah ini. Tinggal di kampung kelahiranku. Tinggal di rumah yang sudah menjadi tempat bernaungku selama dua puluh tiga tahun. Walaupun rumah orang tuaku sederhana, tapi tempat ini nyaman meski Lita masih belum terbiasa. Ini kampung, berbeda dengan tempat tinggal kami saat di kota. Walaupun masih satu kabupaten, tapi berbeda saat tinggal di rumah milik Mas Muklas. Di sana nyaman dan rapi, berbeda dengan keadaan di sini yang harus dilakukan dengan manual. Tapi aku tetap harus bersyukur.

Aku masih memiliki dua adik yang masih duduk di bangku SMA dan SMP. Ya. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Bapak meninggal saat si sulung berusia lima tahun.

Sebenarnya aku sedih melihat ekonomi keluargaku. Ibu harus banting tulang untuk menghidupi Agus dan Gusti. Ibu hanya mengandalkan jualan gorengan yang dijajakan secara keliling. Kebun milik bapak sudah dijual untuk membiayai sekolah Agus dan Gusti. Aku tak bisa banyak membantu karena tak kerja, mengandalkan kelapangan hati Mas Muklas saat akan memberi uang untuk ibu. Kadang dia lapang, kadang sempit. Sesuai mood dia ingin memberi. Aku pun tak bisa banyak menuntut. Ibu pun tak masalah, selagi beliau bisa usaha.

Kesedihanku bertambah karena ibu memiliki hutang pada saudara yang sampai saat ini belum bisa dikembalikan. Uang itu ibu pinjam saat Gusti sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Ibu tak bilang padaku. Beliau tak ingin kembali merepotksnku karena sebelumnya pernah pinjam uang padaku dan belum dikembalikan. Padahal aku tak menganggpanya hutang. Kalaupun ibu butuh bantuan, pasti aku akan membantu jika bisa, apalagi untuk biaya rumah dakit Gusti. Tapi kendala selalu datang dari Mas Muklas. Dia tak ingin ikut campur dengan hutang ibu.

"Mbak, SPP Gusti sudah nunggak tiga bulan. Kalau bulan ini nggak dibayar nanti Gusti nggak bisa ikut ujian," adu Gusti padaku.

"Nanti Mbak usahakan. Kamu sekolah saja yang rajin." Aku menenangkannya.

"Memang Mbak punya uang? Bukannya Mbak ke sini nggak bawa apa-apa?" tanya Agus datar.

Mbak memang nggak punya uang, Gus. Tapi Mbak punya harga diri.

"Wes, rampungke dahare terus pangkat sekolah. Wes awan." Ibu menengahi.

Kami fokus sarapan bersama di ruang makan yang sederhana ini. Sarapan pagi ini hanya nasi dan telur dadar. Setidaknya mereka bisa sarapan agar perut mereka terisi dan bisa fokus pada pelajaran.

Ibu memberikan uang jajan pada Agus dan Gusti. Satu lembar lima ribu untuk masing-masing. Hanya itu yang bisa ibu berikan. Agus sering mengeluh karena baginya uang lima ribu tak seberapa. Ia iri pada temannya yang diberi uang jajan lebih dari sepuluh ribu.

Sedih. Hal itu yang kurasa. Dulu, aku bisa meringankan beban ibu sebelum menikah. Tapi, sekarang aku justru memberi beban pada ibu dengan tinggal di sini, apalagi bapak sudah tidak ada.

"Bu. Apa Ajeng kerja saja?" tanyaku pada ibu. Lebih ke arah usul.

"Wes, kowe ning umah wae karo ngenteni masa idah. Ibu aseh kuat golet duit. Sing penting kowe gelem dijak susah koyo ngene. Ngene iki sing ibu nduwe," balas beliau santai.

Bagaimana aku akan membiarkan ibu cari uang sendiri sedangkan aku enak-enakan menikmati? Aku tak masalah diajak susah, tapi aku tak tega jika hanya berpangku tangan mengandalkan ibu seorang diri. Aku ingin bantu ibu.

Perhatianku teralih ketika mendengar suara Lita menangis. Aku bergegas dari dapur untuk menuju kamar dan memastikan anak gadisku. Sudah beberapa hari badannya panas. Aku belum membawanya berobat karena panasnya masih naik turun. Hanya usaha dengan mengompres dan memberinya paracetamol.

Aku menggendong tubuh Lita ketika tiba di kamar. Tangan kutempelnya pada keningnya karena merasa badannya masih hangat. Panasnya naik lagi.

"Nduk, Ibu ke pasar, ya. Cucian sudah Ibu bilas, tinggal jemur saja." Ibu pamit.

"Iya, nanti Ajeng jemurin." Aku menimpali.

Ibu berlalu dari kamar ini untuk ke pasar membeli bahan jualan nanti sore. Tugasku hanya membantu beliau dan mengurus rumah. Itu pun kadang sebagian dikerjakan ibu. Apalagi beberapa hari ini Lita sangat manja karena sedang tidak enak badan.

Lita kuajak menjemur pakaian di luar walaupun dia merengek karena masih ingin rebahan di kasur. Dia kududukkan di atas lincak yang ada di belakang rumah setelah berhasil kubujuk.

"Jeng."

Fokusku teralih ketika suara laki-laki menyebut namaku. Pandangan kulempar ke sumber suara. Aku memaksa senyum padanya. Dia Pak Badrun, rentenir beristri banyak.

"Setelah jadi janda, kamu makin cantik saja." Pak Badrun memuji.

Aku tak menanggapinya, sibuk menjemur pakaian. Entah kenapa beberapa hari ini dia sering lewat depan rumah, dan pas saat aku menjemur pakaian atau sedang menyiram tanaman.

"Pak Badrun mau nambah lagi, ya! Wah! Sekarang sasarannya janda baru. Muda dan cantik lagi!" seru seseorang.

Pandangan kulempar ke sumber suara. Terlihat kumpulan ibu-ibu sedang mengerumuni tukang sayur keliling. Aku menggendong tubuh Lita, lalu masuk ke dalam. Enggan mendengar gosip tetangga tentang diriku. Terlebih tentang Pak Badrun yang selalu menggodaku. Dia sudah memiliki tiga istri, tapi masih saja belum puas dan ingin cari lagi. Belum lagi beberapa mantan istinya yang sudah diceraikan. Aku tidak bisa membayangkan jika Pak Badrun benar-benar mengincarkku untuk menjadi istri keempatnya. Dan aku akan menolak keras jika hal itu terjadi.

Saat ini, aku belum ada kepikiran untuk mencari pengganti Mas Muklas. Aku masih berharap jika dia akan mengajakku rujuk. Selama dia dan Heni belum menikah, harapan itu ada untukku. Aku hanya memikirkan masa depan Lita. Aku ingin kembali berkumpul dengan Mas Muklas dan Lita dalam dalam satu rumah. Hanya itu yang kuminta.

"Bu. Kita pulang ke rumah Ayah, yuk?"

Pikiranku buyar. Aku menatapnya sendu. Lidahku terasa kelu. Aku selalu tak bisa membalas ucapan anak gadisku. Tapi aku berusaha menguatkan.

"Enakan di sini. Lita banyak teman. Lita bisa main di luar. Kalau di rumah Ayah, teman Lita sedikit. Lita cuma bisa main pas sore saja." Aku membalasnya.

"Tapi Lita pingin pulang ke rumah ayah. Di sana rumahnya bagus. Kasur Lita juga empuk. Lita bisa makan ayam goreng, sosis, nugget, sama jalan-jalan ke mol. Di sini nggak ada."

Air mata mengalir begitu saja di pipi. Di sana memang nyaman, tapi ini kenyataan yang harus kita terima. Mas Muklas sudah tak mau menganggap kita lagi. Kita seakan seperti ampas tebu yang habis manis, sepah dibuang.

Aku hanya bisa membujuk anak gadisku untuk sabar dan belajar sederhana.

Nikmatilah dan syukuri apa yang ada saat ini, Lita. Ibu janji akan membahagiakanmu suatu hari nanti  Ibu akan mengembalikan apa yang pernah jadi milikmu. Ibu janji.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro