Bab 2. Aku Benci Tugas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua santri nampak khusyuk memanjatkan hajat kepada-Nya. Dilanjutkan dengan membaca Al-Qur'an sembari menunggu waktu adzan subuh.

Pukul enam pagi.

"Mas Basith, kamu tahu kartu peserta ujian saya?" tanya Ahmad.

"Kalau saya tak salah lihat, sepertinya di kantong tas bagian depan," jawabku sembari mengecek semua perlengkapan sekolahku.

"Tidak ada, tadi saya sudah periksa tidak ada," keluh Ahmad.

"Coba cek sekali lagi, Mas," sahut Maki yang sedang berbenah diri.

"Iya," jawab Ahmad dengan nada sedikit lesu, "Alhamdulillah, ketemu." soraknya.

"Alhamdulillah," jawab semua.

"Ayuk, berangkat nanti terlambat." sahut Wahyu yang sedari tadi sudah siap berangkat.

Suasana sekolah yang sudah mulai ramai dan mirip dengan suasana pasar. Sepintas terlihat wajah-wajah serius. Apalagi mata pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang menjadi momok bagi sebagian siswa.

Sebelum memulai kegiatan sekolah, para santri sudah terbiasa melaksanakan salat Dhuha berjamaah di masjid. Lantunan dzikir dan doa serta asma Allah memberi secercah cahaya padaku yang sedari tadi sedikit tidak konsentrasi.

Suasana berubah menjadi sunyi, siswa di kelasku berubah menjadi patung-patung dengan wajah tegang. Di saat begini, tak bisa berkutik mencari contekan dari teman, gerutu Ahmad yang duduk di belakangku.

Wajah-wajah tegang bak menghadapi hukuman karena berbuat kesalahan. Berubah menjadi wajah ceria tatkala bunyi bel tanda pelajaran pertama usai. Semua Murib berhamburan keluar, mencari tempat ternyaman untuk belajar kembali. Ada juga yang nongkrong di kantin sekedar untuk melahap makanan atau minum es.

Aku, Maki dan Wahyu memilih untuk duduk di teras kelas. Sembari membaca ulang buku yang ada di tangan. Sesekali menahan tanda kantuk yang menyerang.

"Ngopi enak nih." celetuk Ahmad.

"Sudah, konsen dulu ini. Nanti nilainya merah, mau kena hukum apa!" teriak Maki yang selalu serius dengan buku.

"Iya... Iya, anak Mama," sahut Ahmad.

Kami tahu Maki selalu serius untuk belajar. Nilai turun sedikit saja hanya angka di belakang komanya saja, dia sudah stress. Bahkan sampai badannya demam. Bel berbunyi kembali, tanda harus berkutat dengan soal ujian lagi.

Itulah kehidupan para santri yang memilih untuk belajar di sekolah formal dan belajar di dalam pondok. Kami harus pandai membagi waktu antara menghafal materi pelajaran di sekolah maupun menghafal Al-Qur'an maupun materi di pondok. Terkadang merasa jenuh dengan rutinitas sehari-hari. Namun, kita sebagai santri harus mengingat kembali niat kami dulu mondok.

Seusai kegiatan hari ini, kami berempat bergotong royong membersihkan kamar. Kondisi kamar yang kacau balau seperti kapal pecah, karena sibuk mencari beberapa buku yang tak kunjung ditemukan.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kami yang sedari tadi khusyuk dengan buku masing-masing, memutuskan untuk segera merebahkan diri di pulau kapuk yang terbuat dari selembar tikar serta menempel di lantai.

Pagi pun berganti, tak terasa hari Sabtu sudah datang kembali. Suasana berubah riuh karena berebut kamar mandi. Entahlah, itulah keunikan kami berempat. Apalagi terkadang rasa jahil yang kumat, ada saja ulah usil kami.

Tak terasa sudah pukul setengah tujuh. Bergegas ke sekolah, mengerjakan apa yang telah menjadi kewajiban kami sebagai seorang siswa. Selembar kertas siap di isi dengan jawaban yang tepat, agar nilai kita selamat.

Tiga mata pelajaran hari ini usai, tiba-tiba suara pengeras suara berbunyi. Menyerukan agar semua siswa menuju kelas masing-masing.

"Wah, ada apa ya!" ucapku.

"Entah, yuk ke kelas." ajak Maki.

Terpampang dengan jelas di papan tulis. Tugas tambahan untuk menambah nilai di raport. Kulihat sekeliling kelas, ada yang mengeluh, ada yang berteriak sebagai tanda protes, ada pula yang tampak santai. Salah satu yang ngedumel siapa lagi kalau bukan si Ahmad.

Selembar kertas kuterima. Tertulis di sana tugas untukku. "TULISLAH TENTANG SOSOK AYAH"

"Ada apa?" tanya Ahmad.

"Enggak ada apa-apa kok, Mas." jawabku menghindar darinya.

"Ayo, balik kandang!" ajak Wahyu.

Kami pun kembali menuju asrama, dalam perjalanan pulang pikirku melayang. Bagaimana aku akan menulis tentang Ayah, dari aku bayi saja tak melihat sosoknya!.

"Sudah jangan melamun di tengah jalan." Maki menyadarkan diriku yang sedari tadi masih berdiri di pintu masuk ke pesantren.

Hatiku pilu, ibarat anak muda yang galau karena cinta. Resah dan gelisah menunggu dirinya. Apalah daya tanganku tak sampai. Ingat nasihat Pak Kiai kemarin tetaplah mendoakan Ayah walaupun diriku tak pernah melihat sosoknya.

"Mas Basith, sejak pulang sekolah sampai malam begini kok murung?"  tanya Maki.

"Eng--gak kok, perasaanmu saja," aku berusaha menutupi apa yang sebenarnya aku rasakan.

"Sudah, jangan disimpan sendiri. Ceritalah pada kami bertiga," sahut Wahyu yang duduk di pojok kamar.

"Begini saja kita semua saling bantu satu sama lainnya. Mulai dari Mas Wahyu, yang lebih terlihat galau," balas Maki.

"Yo wis, aku setuju. Bagaimana Mas Ahmad?"

"Aku juga setuju Mas Basith,"

"Aku, dapat tugas materi matematika dan Al-Quran Hadist."

"Ya sudah kita kerjakan bersama," sahut Maki sembari membantu Wahyu membawa setumpuk buku.

Mereka pun sibuk dengan setumpuk buku tadi. Mencari jawaban yang benar dan tepat untuk setiap pertanyaan yang ada di selembar kertas yang diberikan tadi siang.

"Tugas Al-Quran Hadist direkam Mas?" tanyaku.

"Iya, nih."

Mereka berempat berbagi tugas, ada yang menjadi kameraman, koreografer dan pemegang naskah hafalan. Waktu sudah tak berkompromi lagi, mata pun sudah tersisa lima Watt lagi. Kami pun memutuskan untuk meneruskan besok.

Hari libur setelah ujian semester. Akan tetapi tugas masih menanti untuk dikerjakan. Setelah beres-beres kamar dan sekeliling asrama bersama. Kami berempat meminta ijin untuk mengerjakan tugas sekolah.

Memanfaatkan ruangan yang kosong dan sepi untuk berlaga di depan kamera bagaikan artis.

"Kamera siap!" tunjuk Ahmad.

"Siap!" jawab Maki dengan acungan jempol.

"Mas Wahyu siap?" tanya Ahmad.

"Bismillahirrohmanirrohim, siap!"

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Teman-teman yang saya sayangi. Bapak guru yang saya hormati. Dalam kesempatan kali ini saya akan menjelaskan sedikit tentang pintu-pintu surga. Antara lain yaitu Babul ayman atau pintu kanan, pintu surga yang dimasuki oleh orang-orang yang sempurna tawakalnya. Selanjutnya yaitu Babur radhiin atau pintu ridha," ucap Wahyu dengan serius.

"Yaitu pintu surga yang dimasuki oleh orang-orang yang ridha kepada takdir Allah. Babut taubah atau pintu taubat, pintu surga yang dimasuki oleh orang-orang yang bertaubat nasuha.
Babul walid atau pintu berbakti pada orang tua, pintu surga yang dimasuki oleh orang-orang yang berbakti kepada orang tua. Babul hajji atau pintu haji, pintu yang dimasuki oleh orang-orang yang menyempurnakan hajinya. Babudz dzikri atau pintu dzikir, pintu yang dimasuki oleh orang-orang yang banyak berdzikir, dan terakhir yakni Babul ilmi pintu ilmu, pintu surga yang dimasuki oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat," lanjut Wahyu.

"Teman-teman, yang lebih penting bagi kita adalah berusaha mengamalkan amalan-amalan di atas agar kita layak memasuki pintunya di surga kelak. Jangan sampai ketika surga memiliki delapan pintu namun tidak ada satupun yang terbuka untuk kita. Sekian penjelasan singkat dari saya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,"

"CUT". ucap Ahmad.

"Alhamdulillah..." ucap mereka serentak. Mereka bersorak-sorai layaknya artis yang menghilangkan penat setelah selesai shooting.

"Selanjutnya tugasmu Mas Basith," ucap Wahyu.

"A--aku!"

"Iya, Mas Basith."

"Kok bingung gitu," sahut Ahmad.

"E... Gimana ya?" sahutku ragu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro