Bagian 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku saranin baca sama narasinya juga. Pelan-pelan sadja.

Vote dan komennya jangan lupa broo

••

"Alvin?" Merapi terkejut ketika dia membuka pintu rumah milik Larissa---Berniat untuk segera pulang karena tugasnya sudah selesai, malah mendapati Alvin yang kini berdiri di depan pintu.

Sahabatnya itu terkejut dan terlihat gelagapan. Matanya menatap gelisah ke dalam rumah dengan tangan yang mencengkeram erat kresek yang dia bawa.

"Ngapain lo?" tanya Merapi.

Alvin diam. Tak lama setelahnya, Larissa datang, gadis itu nampak terkejut kala mendapati Alvin yang kini berdiri berhadapan dengan Merapi.

Dia menatap ke arah Merapi dan juga Alvin secara bergantian. "Alvin, kamu mau jemput Merapi, ya?" tanya Larissa tidak nyambung.

Alvin masih diam. Tanpa di duga, cowok itu menyerahkan kresek yang dia bawa pada Larissa. Kemudian, dia menghela napas pendek. "Gue capek, Sa," ucap Alvin.

"M-Maksudnya?"

"Gue capek pura-pura kayak gini. Mau sampai kapan? Gue mau tanggung jawab sama anak gue, Larissa. Gue---"

"Maksudnya?" Merapi memotong cepat. Dia menatap Alvin tajam, tangannya mengepal. Dadanya bergemuruh menahan amarah.

Alvin menunduk di depan Merapi. "Maaf, Pi."

"Alvin, kamu ngelindur, ya? Anak ini anaknya Merapi, kita---"

"GUE, MERAPI! ANAK DI DALAM KANDUNGAN LARISSA ANAK GUE!"

Rahang Merapi mengeras mendengarnya. Cowok itu mengepalkan tangan semakin erat. "Maksud lo apa?!" tanya Merapi. Tangannya kini naik mencengkeram kerah baju yang dikenakan oleh Alvin.

"M-Merapi, Alvin bohong, jangan percaya sama dia. Aku---"

"Lo diem!" Merapi menujuk Larissa tepat pada wajahnya. Kemudian, matanya kini menatap Alvin penuh amarah. "Jelasin."

"Reuni waktu itu, yang lakuin hal itu gue, bukan lo. Gue miskin, Pi, gue gak punya cukup uang buat tanggungjawab. Kerjaan gue cuman cukup buat sehari-hari gue sendiri, gue---"

"Dan lo jebak gue?"

"Maaf."

"Anjing!" Merapi memukul wajah Alvin dengan kuat. Sahabatnya itu tersungkur dan sama sekali tak berniat untuk melawan.

Kemarahan Merapi tidak cukup sampai di situ. Dia terus melayangkan pukulan pada Alvin dan membuat dia nyaris kehilangan kesadarannya.

Larissa berusaha menghentikan dengan teriakan. Namun, yang terjadi adalah, dia yang terkena pukulan sampai-sampai membuatnya jatuh dan meringis.

"Sakit! Merapi, perut aku, sakit!" Larissa berteriak.

Merapi menghentikan pukulannya pada Alvin. Dia menatap tajam ke arah Larissa dan tertawa keras. "Bangsat! Lo bener-bener cewek bangsat, Larissa!"

"Gak tahu diri," lanjut Merapi.

Larissa merintih kesakitan. Malam ini sangat sepi, tak ada satu orangpun yang berjalan melewati jalan ini. Dea---Ibunya Larissa bekerja shift malam.

Kini, di tempatnya, Larissa hanya mampu menangis merasakan perih di bagian perut.

Merapi berjalan mendekat ke arah Larissa. Ditariknya rambut wanita itu kemudian menatapnya dengan mata memerah karena amarah. "Siapa yang rencanain ini?" tanya Merapi.

"M-Merapi, sakit."

"Gue nanya sama lo! Siapa yang rencanain ini?!"

"P-Pi, gue yang minta. Jangan sakitin Larissa, jangan sakiti anak gue, gue mohon!" rintihan Alvin membuat Merapi menoleh tanpa melepaskan cengkeramannya pada rambut Larissa.

Cowok itu tertawa keras. "Gue kasih semuanya yang anak lo dan Ibunya mau, Alvin. Gak usah bersikap seolah-olah gue monster yang bakal bunuh mereka.'

"Alvin miskin, Merapi! Aku juga gak cinta sama dia. Apa yang aku lakuin sama dia atas dasar sama-sama enggak sadar. Aku pindah ke kamar kamu karena aku yakin kamu lebih mampu buat hidupin anakku!" Teriakan Larissa membuat Merapi tertawa.

"T-tolong, sakit."

Yah, semua wanita hanya mengincar hartanya. Sedaridulu memang begitu. Pemikiran Merapi yang sudah hilang soal itu, kini kembali.

"Merapi, tolong, perut aku sakit." Larissa menangis.

Merapi tiba-tiba tertawa. Dia beranjak dan merapikan bajunya sendiri. "Oke, gue udah tau kebenarannya. Gue balik, dah!" Merapi melangkah meninggalkan Larissa dan Alvin dengan wajah ceria.

Melihat itu Alvin terpaku. Bagaimana bisa Merapi berubah sikap dalam hitungan detik begitu?

"M-Merapi," panggil Alvin.

"Apa?" Sepertinya, mood Merapi kembali jelek. Nada suaranya kini terdengar dingin.

"Gue minta maaf. Lo boleh benci gue, tapi gue minta tolong, tolong bawa Larissa ke rumah sakit."

Merapi berbalik. Cowok itu berdecih. "Gak mau."

"Merapi---"

"Dah!" Merapi melambaikan tangannya dan melangkah pergi.

Namun, lagi-lagi ucapan Alvin membuat langkah Merapi terhenti. "Gimana kalau Airin ada di posisi Larissa dan enggak ada satu orangpun yang mau nolong dia? Padahal, ada orang yang jelas-jelas lihat keadaan dia enggak baik-baik aja?"

"Lo lagi ngomongin diri sendiri?" tanya Merapi.

Merapi melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo tahu betul hubungan gue sama Airin enggak baik-baik aja semenjak Larissa ngaku dia hamil anak gue. Apa lo nolong dia? Enggak, kan? Kenyataannya, apa? Lo yang bersikap seolah-olah diri lo baik di depan temen-temen yang lain, padahal kenyataannya lo lebih busuk dari gue! Lo manfaatin gue, dan lo hancurin hidup gue!"

Alvin mengepalkan tangannya. Dia terpaksa melakukan ini. Dia tahu dirinya salah. Alvin sadar dirinya sudah memanfaatkan Merapi.

Alvin juga tahu dia terlihat layaknya orang baik depan semua orang, padahal kenyataannya dia yang busuk. Dia yang telah membuat nama Merapi semakin jelek di mata teman-temannya sendiri dan juga orang lain.

Alvin juga sadar, hubungan Merapi dan Airin kacau setelah Larissa mengatakan dia hamil.

Alvin tidak berniat menjebak Merapi. Namun, malam itu, Larissa tiba-tiba saja tidak ada di sampingnya. Berkali-kali Alvin menemui Larissa setelah malam itu, Larissa selalu mengatakan bahwa Alvin tidak perlu bertanggung jawab. Dia bilang, dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak memiliki apapun untuk jaminan hidup.

Alvin juga terkejut saat satu bulan setelahnya, Larissa datang menemui Merapi di saat dia tengah berkumpul bersama teman-temannya di rumah Merapi.

Dia bilang, dia hamil. Bingung? Tentu.

Alvin langsung menarik Larissa dan bertanya apa maksudnya. Larissa bilang, malam itu setelah melakukannya dengan Alvin, Larissa masuk ke dalam kamar Merapi. Sehingga, jika Larissa mengaku demikian, Merapi tidak bisa mengelak.

Larissa juga bilang, Alvin tidak akan bisa bertanggungjawab sedangkan pekerjaannya tidak sebagus itu. Karena kacau, Alvin terhasut oleh Larissa dan mengiyakan. Itulah kesalahannya.

Namun, Alvin kerap kali dihantui rasa bersalah setiap kali mendengar merapi mengamuk. Belum lagi, jika dia sudah curhat perihal Airin.

Merasa itu salah, akhir-akhir ini Alvin mencoba untuk membujuk Larissa. Alvin bilang, Alvin bisa menghidupi mereka. Namun, Larissa menolak. Alvin tidak menyerah dan selalu datang setiap malam untuk sekadar memberi makanan pada Larissa. Walaupun yang dia dapat tetap penolakan.

Bahkan, malam setelah Merapi mengatakan Larissa masuk rumah sakit, Alvin juga sempat mengunjunginya. Walau ujung-ujungnya diusir.

Dan malam ini, adalah puncaknya. Kedok keduanya terbongkar.

Jika Alvin mengatakan semua ini rencana Alvin, justru sebaliknya. Ini rencana Larissa, Alvin hanya melindunginya.

"Lain kali, kalau butuh duit ngomong." Setelah mengatakan itu, Merapi melangkah pergi.

•••

"Airin."

Merapi mengepalkan tangannya. Sudah hampir satu jam dia berkeliling rumah untuk memastikan di mana Airin, namun, Merapi sama sekali tidak menemukannya.

Pikirannya kalut, semua barang lagi-lagi menjadi pelampiasan. Merapi menendangnya dan juga melemparnya dan membuat lantai berantakan.

Tangannya mengepal. Punggungnya merosot pada tembok dengan tangan yang kini beralih menjadi Jambakkan di kepalanya. "Airin ninggalin gue, Airin pergi." Merapi bergumam.

Tangannya kini terasa dingin. Ketakutan itu kembali secara tiba-tiba dan membuat Merapi merasakan panik seketika. Cowok itu beranjak dan berlari ke arah dapur. Mengambil pisau, kemudian menatapnya dengan pandangan takut. "Airin sakit hati, dia pasti capek. Dia pasti sakit," kata Merapi lagi.

"MERAPI!"

Merapi yang hendak menusukkan pisau itu pada perutnya, kini terhenti. Pisau itu jatuh, Merapi menatap ke arah di mana suara itu muncul.

"Bangsat, lo ngapain, anjing?" Tubuh Merapi ditarik. Cowok itu tiba-tiba saja tertawa. "Gue gak ngapa-ngapain," jawabnya.

Sebastian. Sahabat merapi. Niatnya kemari untuk mengambil barang yang tertinggal. Namun, dia tidak menyangka malah melihat barang berada di lantai di sepanjang pintu masuk sampai dapur.

Dan yang dia lihat sekarang, Merapi hampir saja menusukkan pisau dapur pada perutnya sendiri. Dan ketika ditanya, Merapi malah tertawa dan berkata tidak akan melakukan apapun?

"Lo kenapa Merapi?" tanya Sebastian.

Merapi diam. Dia menunduk menatap pisau yang sudah tersimpan di atas lantai. "Airin pergi. Airin capek," kata Merapi. Raut wajahnya kini berubah sedih.

Melihat itu, Sebastian terdiam. "Pi?"

"Gue udah sakitin dia. Dia pergi karena gue udah sakitin dia!" Lagi, Merapi tiba-tiba berubah menjadi emosi. Tangannya mengepal, "Dia gak boleh pergi. Dia harus sama gue!"

Jujur, Sebastian sering melihat Merapi mengamuk soal Airin atau Larissa. Namun, dia tidak pernah melihat Merapi mengalami perubahan suasana hati se extream ini.

"Pi, tenang dulu."

"Gue harus cari dia, Bas. Gue harus cari dia!"

"Lo tau gak? Gue mau kasih kabar baik buat dia. Larissa enggak hamil anak gue." Merapi melebarkan senyumnya.

Namun tiba-tiba, dia berubah kesal. "Tapi dia kabur dari rumah gue, Anjing! Gue harus cari dia!"

Saat Merapi hendak pergi, Sebastian memukul tengkuknya dengan keras dan membuat Merapi pingsan.

Cowok itu menghela napas pelan. "Niat gue ke sini bawa barang. Bukan ngurusin lo." Dengan berat hati, Sebastian menggendong Merapi di punggung dan membawanya ke kamar.

Setelahnya, dia terdiam. "Gue harus pastiin dia kenapa. Serem banget gue lihat dia udah kayak orang gila," gumam Sebastian.

TBC

Airin tidak muncul gaiss

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Merapi

Airin

Larissa

Alvin

Sebastian

Spam next kuy

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro