Bagian 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•Vote dan komennya jangan lupa yaa•

•••

Malam ini, Airin duduk di sofa dengan Hoodie milik Merapi yang melekat di tubuhnya. Matanya menatap ke arah televisi yang menyajikan sebuah acara. Namun, pikiran dan tatapan mata Airin kosong.

Dia sama sekali tidak menyimak apa yang dia lihat dan juga dengar.

Setelah menamparnya, Merapi langsung berusaha menghentikan darah di hidung Airin. Dia juga mengobati luka di punggung Airin dan memberikan Hoodie yang kini Airin kenakan. Setelahnya, Merapi masuk ke kamar lain dan mengurung dirinya sampai saat ini.

Langkah kaki seseorang yang menuruni anak tangga tak membuat Airin tersadar.

Namun, Airin sadar ketika pahanya tiba-tiba saja dijadikan bantalan. Seseorang kini memeluk pinggangnya dengan sangat erat. "Lagi apa?" tanyanya.

Airin menunduk, gadis itu mendengkus kala mendapati Merapi.

"Airin," panggil Merapi.

"Apa?"

"Lagi apa?" tanya Merapi.

Airin mengalihkan pandangannya ke televisi ketika Merapi menatap tepat di matanya. "Nonton tv," jawab Airin.

"Airin, maaf. Gue nyakitin lo lagi." Merapi menghela napas berat.

Mendengar itu, Airin lantas tertawa pelan. "Santai."

"Lo gak akan pergi, 'kan?" Merapi bertanya dengan nada suara pelan. Dia terdengar ragu menanyakan kalimat itu.

Airin kembali menunduk menatap Merapi. Gadis itu mengedikkan bahunya tak acuh.

"Larissa gimana? Udah sehat?" tanya Airin memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

Mendengar pertanyaan itu, Merapi semakin mengeratkan pelukannya. Dadanya terasa panas. Rasa takut itu tiba-tiba kembali hadir. Merapi membuang napas kasar. "Jangan bahas itu," gumam Merapi.

"Oke."

Keduanya langsung terdiam. Suara televisi kini menyelimuti keheningan mereka.

Merapi sibuk dengan perasaan takutnya. Dan Airin yang sibuk dengan pikiran kosongnya.

"Merapi," panggil Airin tiba-tiba.

"Iya?" Merapi mendongak.

"Kalau suatu hari nanti gue capek, gue boleh pergi?" tanya Airin tanpa sadar.

Merapi mencengkeram pinggang Airin spontan. Matanya memerah mendengar pertanyaan Airin. "G-gak boleh. Istirahat aja, jangan pergi," ucap Merapi.

"Emang lo mau pergi ke mana?" tanya Merapi pelan.

Airin mengedikkan bahunya. "Gak tau. Bagusnya ke mana ya?"

"Di sini aja, Rin. Jangan kemana-mana."

Airin menghela napas pelan.

Melihatnya, Merapi lantas memilih duduk dan mengusap pipi Airin dengan lembut. "Gue jahat ya? Makannya lo bilang kayak gini?"

Bukannya menjawab Airin malah menepis tangan Merapi. Akan tetapi, pandangannya terpaku pada lengan Merapi yang terdapat banyak sayatan yang jelas-jelas disengaja.

Airin meraihnya. Gadis itu sontak menatap Merapi. "Lo ngapain, Merapi?!" tanya Airin.

Merapi menunduk menatap ke arah lengannya yang kini dipegang oleh Airin. "Gak papa, Rin." Merapi menariknya dan memilih menyembunyikan lengannya di belakang tubuh.

Cowok itu mendongak dan beralih menatap Airin.

"Merapi."

"Enggak sebanding sama perlakuan gue ke lo, Rin," jawab Merapi cepat.

Airin berdecak pelan. Gadis itu menarik lengan Merapi dengan tangan kirinya.

Merapi menyerah. Dia membiarkan Airin menatap sayatan yang dia ciptakan sendiri itu.

"Pake apa?" tanya Airin.

"Rin, gak papa."

"Gue tanya pake apa, Merapi?"

Merapi diam. Cowok itu mengigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan Airin. Di saat Merapi sudah begitu jahatnya pada Airin, gadis itu masih khawatir pada keadaan Merapi?

Dadanya kembali sesak. Andai Merapi bisa mengontrol emosinya, andai Merapi tidak melakukan hal yang kini membuatnya menyesal bersama Larissa, mungkin, dia dan Airin masih bahagia sampai hari ini.

Mungkin, hubungannya tak akan se-toxic sekarang.

"Merapi?"

"Airin, gak papa. Jangan tanya lagi." Merapi menjawab dengan nada bergetar menahan tangis.

Kini, tangannya beralih menggenggam tangan Airin dan mengusap punggung tangan itu dengan lembut menggunakan jempolnya. "Gue sayang sama lo, Airin. Lo tau, kan?" tanya Merapi.

"Iya." Enggak, gue gak tau. Airin melanjutkan dalam hati.

Telepon rumah tiba-tiba saja berdering. Merapi dan juga Airin sontak mengalihkan pandangan mereka ke arahnya.

Dengan berat hati, Merapi beranjak. Cowok itu meraihnya dan memilih mengangkatnya. "Ya?"

"Merapi, aku telepon kamu beberapa kali. Tapi enggak diangkat. Bisa ke sini? Aku tiba-tiba laper, tapi pengen masakan kamu."

Merapi sontak menatap ke arah Airin. Di sana, gadisnya terlihat acuh tak acuh dan sama sekali tak menatap ke arah Merapi.

"Gak bisa besok?"

"Merapi ...."

"Oke." Merapi menghela napas kasar. Tangannya mencengkeram telepon itu dengan erat.

Menarik napasnya secara perlahan, kemudian dia hembuskan. "Tunggu," kata Merapi lagi. Kemudian, dia mengakhiri panggilan dan menyimpan telepon itu ke semula.

Merapi melangkah ke arah Airin. Dia bersimpuh di depannya dan menggenggam tangan kiri gadis itu dengan lembut. Matanya menatap lekat wajah Airin dengan tatapan bersalah. "Gue harus pergi," kata Merapi.

"Pergi aja."

Jika Airin melarangnya, Merapi bersumpah akan menetap di sini dan mengingkari ucapannya pada Larissa. Namun, jawaban Airin tak sesuai dengan ekspektasinya.

Gadis itu mengizinkan Merapi.

Dengan berat hati, Merapi beranjak. Kemudian tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala Airin dan memberikan sebuah kecupan di sana. "Mau nitip sesuatu?" tanya Merapi.

"Titip salam buat anak lo."

Merapi sontak menghentikan usapan tangannya. Cowok itu kembali berjongkok, dan menatap wajah kekasihnya. "Rin ..."

"Larissa udah nunggu lo. Mending lo pergi sekarang. Ibu hamil gak baik tidur larut," ucap Airin. Wajahnya menoleh ke arah lain dengan tangan yang kini mengepal.

"Gue bakal pulang secepatnya."

"Kalau kemaleman nginep aja di sana."

"Airin ..."

"Pi, cepetan pergi. Gue ngantuk. Gue mau tidur." Airin beranjak, gadis itu langsung melangkah menaiki anak tangga dan meninggalkan Merapi yang masih berjongkok di depan sofa.

Cowok itu menunduk, mengepalkan tangannya erat. Akhirnya, Merapi beranjak dan memilih mengambil jaket dan juga kunci mobil di kamarnya.

Saat sampai di sana, dia melihat Airin membungkus tubuhnya dengan selimut. Merapi menghela napas pendek dan memilih mengambil kunci mobil dan juga jaket tanpa menghampiri Airin lagi.

•••

Sudah satu jam sejak kepergian Merapi, Airin belum juga memejamkan matanya. Gadis itu memeluk kedua lututnya dengan erat seraya menenggelamkan wajahnya di sana.

Tok tok tok!

Airin menoleh ke arah jendela kamar. Gadis itu membelalakan matanya, turun dari atas kasur dan berjalan mendekat ke arah sana.

"Airin, gue Chiko."

Mendengar itu, Airin lantas membuka pintu balkon dengan cepat. Alisnya berkerut kala mendapati Chiko yang kini sudah berdiri tepat di depannya. "Ngapain?"

"Gue tau Merapi gak ada. Gue enggak lihat mobilnya."

"Ya, terus?"

"Ayo pergi."

Airin sontak saja terdiam mendengar ajakan Chiko yang tiba-tiba begini.

Chiko berdecak pelan. Dia melepas jaketnya kemudian menyampirkan ya di bahu milik Airin. "Airin, ayo pergi."

"Bang, lo gak perlu repot-repot lakuin ini. Lo sadar gak, perbuatan lo sekarang, bisa bikin persahabatan lo sama Merapi rusak kalau dia tahu."

Chiko tertawa. "Gue gak takut persahabatan gue sama dia berantakan. Gue lebih takut lo tersiksa lebih jauh lagi, Airin. Gue enggak bisa terus menerus tutup mata sedangkan gue tahu kalau Merapi itu sama sekali enggak baik buat lo."

"Emang lo gak capek? Gue tahu hati lo pasti sakit kan waktu tau Merapi hamilin Larissa?" tanya Chiko.

Cowok itu menghela napas pelan. "Bohong kalau lo bilang lo baik-baik aja."

Airin diam beberapa saat. Gadis itu lantas memilih menutup pintu balkon dan mengangguk. "Gue gak tau ini bakal bertahan berapa lama. Gue yakin cepat atau lambat gue bakal balik lagi ke Merapi."

"Rin, lo bisa pergi dari dia selamanya. Ada gue."

Airin menggeleng. "Enggak akan bisa."

"Rin ..."

"Lo gak ngerti masalahnya apa!" Airin menatap Chiko kesal.

Airin paham maksud Chiko baik. Tapi, untuk lepas dari Merapi adalah hal yang mustahil untuk Airin.

Airin tidak mau membuat Papanya malu. Airin juga tidak mau pertemanan Chiko dan Merapi berantakan.

Dan lagi, jika saja Airin pergi, akan ada gadis lain yang menjadi samsak hidup Merapi. Jika gadis itu adalah gadis yang lemah, apa Airin akan tega membiarkannya?

Jika Airin pergi sekarang, mungkin saja Larissa yang akan menjadi penggantinya. Jika itu terjadi, kandungan Larissa bisa saja terkena imbasnya. Dan Merapi, akan menyesal karena sudah membunuh anaknya sendiri.

Airin tidak mau itu terjadi. Cukup Airin saja, Airin sudah terbiasa dengan ini.

"Lo mau ajak gue pergi, kan? Ayo pergi sekarang. Gue butuh tempat istirahat," kata Airin.

Chiko mengangguk. Yasudah, untuk saat ini setidaknya Airin ikut dengannya. Masalah nanti, biar Chiko mencari cara lain agar Airin tidak kembali pada Merapi.

Tidak boleh. Jikalau tidak bersama Chiko pun, Airin berhak mendapatkan pria lain yang lebih baik.

Airin dan Chiko kini berjalan menuruni anak tangga. Balkon di kamar Merapi memiliki tangga yang langsung terhubung ke pintu utama.

Maka dari itu, Airin tidak heran kenapa Chiko bisa ada di balkon kamar Merapi secara tiba-tiba begitu.

"Kenapa lo bisa tahu gue di kamar Merapi?" tanya Airin.

"Merapi enggak pernah izinin lo tidur di kamar lain. Dia sering cerita, dia takut lo gak nyaman katanya. Makannya, Merapi lebih milih dia yang pindah daripada lo."

Airin terkekeh pelan.

Setelah sampai di gerbang, Chiko mengajak Airin untuk naik ke atas motornya. Setelah itu, motor melaju meninggalkan pekarangan rumah Merapi.

TBC

Tinggal nunggu Merapi ngamokk

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Chiko

Larissa

Spam next yuk

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro