Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Airin, gue mau beli rokok ke toko depan. Mau nitip sesuatu?"

Airin menoleh ke arah Chiko---salah satu sahabat Merapi. Lelaki dengan rambut gondrong yang diikat rapi ala Eren Yeager Attack on Titan itu menatap ke arah Airin.

"Enggak usah, Bang."

"Atau sekalian mau ikut aja? Siapa tau kalau udah di sana mau beli sesuatu, gitu?"

Mendengar pertanyaan yang di lontarkan oleh Chiko, sontak membuat Merapi melayangkan tatapan tajam padanya. Belum lagi, pergelangan tangan kiri Airin kini dicengkeram erat oleh Merapi.

Airin berdecak kesal. Lihat, ketika cemburu Merapi pasti akan menyakiti Airin begini. Padahal, Airin sama sekali tak melakukan kesalahan apapun.

"Oke, oke. Gue pergi dulu kalau gitu." Chiko akhirnya memilih melangkah pergi meninggalkan Merapi dan Airin yang terduduk di ruang tengah.

Teman-teman Merapi yang lain masih berada di lantai atas. Merapi jamin, mereka akan menghabiskan waktu mereka di sana sampai sore nanti.

"Lo suka diperhatiin sama dia?" tanya Merapi.

"Enggak." Airin menjawabnya dengan malas. Gadis itu menarik tangannya yang dicengkeram oleh Merapi.

Merapi menghela napas pelan. Dadanya terasa terbakar melihat itu. Bagaimana jika suatu hari nanti Airin benar-benar bersama orang lain? Apa yang akan Merapi rasakan?

Cowok itu berdecak kesal dan memilih merebahkan tubuhnya dengan paha Airin yang dia jadikan bantalan.

Tangannya kini memainkan ujung rambut gadis itu yang terjatuh. "Larissa hari ini pulang," kata Merapi.

"Oh, gak ke sana? Siapa tau dia butuh lo." Airin membuang arah pandangnya berusaha menghindar agar tidak menatap ke arah Merapi.

Melihat itu, Merapi lantas meraih tengkuk Airin dan meminta gadis itu untuk menunduk menatapnya. "Gue cuman cinta sama lo, Airin," ucap Merapi pelan.

Airin diam. Gadis itu menepis tangan Merapi dan memilih membuang napas dengan pelan. Namun sialnya, yang dia rasakan adalah rasa sesak.

Merapi menatap tangannya yang di tepis. Merapi marah, Airin tidak percaya padanya. Begitu pikir Merapi.

Tangannya mengepal. Tak mau menyakiti Airin, Merapi akhirnya memilih kembali duduk dan membawa Airin ke dalam pelukannya.

Diusapnya kepala gadis itu dengan lembut. "Jangan kayak gini, lo buat gue takut, Airin," ucap Merapi.

"Gue gak papa. Gimana pun juga, lo punya tanggung jawab buat Larissa dan anak lo."

"Maaf," lirih Merapi.

Airin menghela napas pelan. Gadis itu membalas pelukan Merapi dan menenggelamkan wajahnya pada dada Merapi.

Andai saja Larissa tidak hamil, mungkin, Merapi tidak akan berubah menjadi lelaki yang kasar seperti sekarang.

Mungkin, Merapi masih menjadi Merapi yang pertama kali Airin kenal.

Banyak tersenyum padanya, lembut, dan juga dia selalu bercerita apapun ketika mereka bertemu.

"Airin, lo yang udah nolong gue. Harusnya gue berterimakasih, bukan malah nyakitin lo." Merapi membuang napasnya dengan pelan.

Merapi mengepalkan tangannya. "Lo yang udah buat pemikiran soal perempuan itu berubah. Tapi, gue justru malah bikin lo merasa sakit hati setiap hari," sambung Merapi.

"Lo---"

"Gak usah dibahas. Gue gak ngerti lo ngomong apa." Airin memotong. Gadis itu hendak melepas pelukannya.

Namun, Merapi justru malah menyentuh rahang gadis itu dan menyatukan bibir keduanya. Merapi menatap gadis itu dari dekat. Merapi ingin mereka terus berdekatan tanpa batas waktu.

Merapi ingin bersama Airin. Dia tak mau menyakiti gadis itu lagi. Namun, semakin Merapi mencegah, semakin dia melakukan hal yang tidak terduga.

Bersamanya, Airin terluka. Merapi sadar akan itu.

Merapi turun ke leher Airin. Mengecupnya dengan lembut, sampai akhirnya dia berhenti dan menenggelamkan wajahnya di sana. "Maaf," ucap Merapi lagi.

Merapi mendongak, diusapnya bibir Airin dengan lembut. Matanya menatap sayu kedua bola mata Airin. "Airin, lo enggak akan pergi, kan?" tanya Merapi.

"Lo tau jawabannya. Gue gak punya pilihan apapun untuk gue pilih."

Merapi mengigit bibir bawahnya. Setelahnya, dia mencium lembut kening Airin dengan mata terpejam erat. "I love you, Airin."

Airin mendorong bahu Merapi agar lelaki itu menjauh. Kemudian, dia beranjak. "Gue mau ke toilet."

Setelah mengatakan itu, Airin masuk ke dalam kamar mandi. Merapi terdiam, rasanya ... Kosong. Hatinya benar-benar patah ketika Airin sama sekali tak membalas ucapan soal perasaannya.

Gadis itu pergi. Dia mendorong Merapi. Itu sebuah penolakan? Atau ... Apa? Merapi memukul dadanya kencang, kemudian, dia menaikan kedua kakinya ke atas sofa dan meringkuk seraya meremas rambutnya dengan kuat.

Sedangkan di kamar mandi, Airin menyandarkan tubuhnya pada pintu. Dia jatuh ke bawah dan menyentuh dadanya yang terasa sesak.

Mati-matian dia menahan air matanya agar tidak tumpah di depan Merapi. Dan sekarang, di kamar mandi, sendirian ... Airin terisak.

"Gue benci sama lo, Merapi. Gue bener-bener benci sama lo," lirih Airin.

Sampai kapan Airin akan bertahan?

Kapan kebahagiaan akan berpihak padanya?

Jika kebahagiaan tidak juga datang pada Airin, Airin tidak masalah jika dia harus mati dengan cara tragis sekalipun. Airin ... Lelah.

•••

"Airin?"

Airin menoleh, gadis itu tersenyum ke arah Chiko yang baru saja keluar dari dalam rumah Merapi.

Hari sudah sangat sore. Siang tadi, Merapi pergi menemui Larissa. Dan semenjak Merapi pergi, Airin memilih duduk di teras rumah tanpa melakukan apapun.

"Mau pada pulang?" tanya Airin menatap satu persatu teman-teman Merapi.

Mereka mengangguk bersamaan. "Iya, Rin. Udah sore. Minggu depan kayaknya nginep lagi, sih," jawab Sebastian---salah satu teman Merapi.

"Oh, yaudah, hati-hati, ya."

Mereka semua pergi. Terkecuali Chiko. Cowok itu memilih duduk di samping Airin dan menatap ke arahnya. "Merapi, kemana?" tanya Chiko hati-hati.

"Ketemu Larissa. Dia baru pulang dari rumah sakit."

"Airin, boleh gue kasih saran?" tanya Chiko.

"Ya?"

"Soal Merapi, apa lo enggak berniat menjauh dari dia?" tanya Chiko.

Airin terkekeh pelan. Kemudian, gadis itu menggeleng. "Enggak akan pernah bisa," jawab Airin.

"Kalaupun lo tahu kebenaran soal---"

"Kehamilan Larissa? Gue udah tau. Kalau gue bisa pergi, dari kemarin gue udah pergi, Bang."

Chiko tercengang. Cowok itu menatap Airin kaget setelah mendengar jawaban yang tak terduga itu. "Lo ... Tau?"

"Tau."

"Dan lo---"

"Enggak. Gue gak ada niatan buat ngejauh. Gue udah siap sama semua resiko. Makasih udah peduli sama gue."

Chiko diam. Cowok itu menatap wajah manis gadis di sampingnya. "Lo sendiri dalam hati lo, apa lo mau ngejauh dari Merapi?"

Iya.

"Enggak."

Hati dan ucapan Airin benar-benar bertolak belakang. Gadis itu lantas membuang arah pandangnya ketika mendapati Chiko yang memperhatikan sorot mata Airin.

"Lo bohong."

"Enggak ada urusan apapun sama lo. Ini urusan gue sama Merapi, lo enggak akan pernah ngerti." Airin menjawab lagi.

Chiko tertawa pelan. Tangannya kini terulur menepuk pundak Airin dengan lembut. "Lo diancam?"

"Enggak."

"Merapi udah ngelakuin hal lebih sama lo?"

Airin memicingkan matanya. "Maksud lo apa---"

"Kalau lo mau pergi dari dia, gue bersedia tanggung jawab kalau emang dia ngelakuin hal lebih sama lo. Airin, lo berhak bahagia."

Airin tercengang. Apa-apaan tadi?

Chiko?

Setahu Airin, dia satu-satunya teman Merapi yang tidak pernah berpacaran. Kenapa sekarang tiba-tiba dia menawarkan hal seperti itu pada Airin?

"Gue gak pernah lakuin hal lebih sama Merapi."

"Jadi, masalahnya apa?" tanya Chiko. Matanya menatap Airin seolah memberi sebuah harapan.

Airin menggeleng. "Gue gak bisa."

"Lo khawatir soal pertemanan gue sama Merapi?"

Kenapa pertanyaan Chiko begitu tepat sasaran?

"Airin---"

BUGH!

Airin membelalakan matanya kala Chiko tiba-tiba saja ditarik dan pipinya dihantam dengan kuat oleh kepalan tangan.

Cowok itu tersungkur ke lantai. Pandangan Airin naik. Merapi. Dia mengepalkan tangannya dengan dada naik turun menahan amarah.

"Anjing lo, Chiko! Berani lo deketin cewek gua?!" teriak Merapi.

Airin menarik bahu Merapi. Namun, Merapi menepisnya sampai Airin tersungkur menabrak pot besar hingga pot itu pecah.

Airin memekik kala punggungnya tertusuk oleh pecahan pot berbahan kaca itu.

"Airin!" Chiko beranjak. Namun, Merapi mendorong Chiko dan langsung berlari mendekat ke arah Airin.

"Lo ngapain, sih?!" teriak Merapi. "Cewek Anjing!" Lanjutnya.

Airin memejamkan matanya kuat. Sumpah demi apapun, punggungnya terasa sangat perih.

Merapi menarik tangan kiri Airin dan membawanya masuk dengan kasar.

Chiko diam. Bahkan, di saat Airin kesakitan, Merapi masih memperlakukan Airin dengan kasar.

Saat Chiko hendak mengejar, pintu ditutup dengan keras dan dikunci.

"MERAPI! AIRIN KESAKITAN!" teriak Chiko.

"URUS URUSAN LO SENDIRI, BANGSAT!" Chiko menghela napasnya mendengar jawaban di dalam sana.

Akhirnya, dia memilih pergi meninggalkan rumah Merapi. Malam nanti, dia akan kembali. Chiko bersumpah akan membawa Airin pergi.

Airin berhak bahagia.

•••

"Suka lo tinggal di sini?! Suka digodain sama temen-temen gue, hah? Lama-lama lo kayak jalang tau, gak?!"

Airin mendesis pelan kala dirinya di dorong hingga punggung menabrak tembok.

Airin tersenyum. Sepertinya, neraka itu akan datang lagi. Airin benar-benar tidak sabar menantikannya.

"Jawab!" Merapi mencengkeram rahang Airin dengan kuat dan meminta gadis itu mendongak.

Airin menatap Merapi dengan berani. "Iya. Gue seneng," jawab Airin.

"Anjing!" Merapi menampar Airin.

Wajah Airin menoleh ke kanan. Darah kini mengalir di hidungnya. Gadis itu terkekeh pelan.

"Gue pastiin lo enggak akan ketemu sama temen-temen gue lagi. Terutama si Chiko!"

"Iya, terserah." Airin menatap ke arah lantai yang kini terdapat tetesan darah.

Merapi terdiam melihat itu. Tubuhnya mematung.

Lagi? Dia menyakiti Airin lagi?

Merapi langsung terjatuh dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan. Tangannya yang semula mengepal kini terbuka secara perlahan. Di tatapnya telapak tangan itu, kemudian Merapi menunduk.

"A-Airin---"

"Cinta itu bohong ya, Pi?" tanya Airin seraya tertawa.

Gadis itu mengusap hidungnya dan menatap ke arah Merapi seraya tersenyum. "Kenapa? Tangan lo sakit habis nampar gue?" tanya Airin.

Merapi melepas bajunya. Cowok itu langsung membersikan darah di hidung Airin. "M-Maaf."

"Gak papa."

"Airin, mau tampar gue juga?" tanya Merapi. Cowok itu menatap mata Airin dengan pandangan takut.

Airin menggeleng. "Gak ada gunanya."

"Jangan benci gue, jangan benci gue." Merapi menunduk.

"Airin, jangan tinggalin gue. Gue mohon, jangan pergi dari gue. Gue minta maaf." Merapi kembali berucap.

"Santai, santai." Airin hendak beranjak. Namun, Merapi langsung menarik Airin ke dalam pelukannya.

Pelukan itu semakin mengerat kala Merapi melihat tembok yang tadi disandari oleh Airin terdapat darah.

Merapi menunduk. Punggung Airin ... Terluka. Dan Merapi, menambah lukanya.

Lelaki macam apa Merapi ini sebenarnya? Kenapa dia bisa setega ini pada gadis yang dia cintai?

"Maaf."

TBC

Please saya sebel sama kata maaf .hm.

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Chiko

Merapi

Airin

Spam next yuk!

Masih kuat menuju part selanjutnya?

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro