Bagian 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•Vote dan komennya jangan lupa mabroo

•••

Airin terlelap di pelukan Merapi. Namun, sedaritadi, Merapi sama sekali tak berniat memejamkan matanya. Yang ia lakukan saat ini adalah, mengusap lembut rambut milik Airin.

Cowok itu menghela napas pelan. Dipeluknya Airin semakin erat, kemudian, bibirnya mencium puncak kepala gadis itu dengan lembut.

Bisakah dia bersama Airin selamanya? Bagaimana jika suatu hari nanti Airin lelah dan memilih melangkah pergi dari hidupnya? Apa Merapi bisa tanpa Airin? Apa dia akan baik-baik saja tanpanya?

Merapi bukannya tidak sadar jika dirinya egois. Dia sadar, bahkan sangat sadar akan hal itu. Dia juga kasar pada Airin, Merapi tau itu.

Rasa takut kehilangan Airin membuatnya begini. Kesalahan yang dia  lakukan bersama Larissa, membuat Merapi takut Airin pergi dari hidupnya.

Ponsel milik Merapi berdering. Cowok itu menghela napas pelan dan memilih meraih ponselnya di atas meja.

Ketika mendapati nama Larissa, Merapi lantas terdiam. Haruskah dia pergi meninggalkan Airin lagi?

Merapi yakin, Larissa menghubunginya agar Merapi datang menemuinya. Memangnya, apalagi yang dia minta selain itu?

"Kenapa?" Merapi akhirnya memilih mengangkat panggilan itu.

"Merapi, bisa ke sini?"

"Gak bisa besok aja? Udah malem."

"Merapi, aku gak bisa tidur."

Merapi menghela napas pelan. "Gue ke sana."

Sambungan diputuskan sepihak oleh Merapi. Cowok itu bangkit dengan pelan seraya memindahkan kepala Airin pada bantal. Setelah terbebas, tangannya terulur meraih selimut dan menyelimuti tubuh gadis itu.

Merapi berjongkok di pinggir kasur. Tangannya terulur merapikan rambut yang menghalangi wajah Airin. Kemudian, bibirnya kembali mencium kening gadis itu dengan lembut. "Maaf," ucap Merapi pelan.

Merapi beranjak, dia meraih jaket dan juga kunci mobil miliknya. Saat dia membuka pintu kamar dan melangkah menuju anak tangga, dia dikejutkan dengan kehadiran Alvin---sahabatnya yang sepertinya baru saja datang.

"Bangsat." Merapi mengumpat kesal.

"Yang lain belum ke sini?" tanya Alvin.

"Ke sini? Ngapain?"

"Nginep, Pi. Yang lain mau ke sini katanya, tadi bilangnya udah pada otw."

Merapi sudah pernah bilang, kan? Rumahnya ini bebas dikunjungi oleh siapa saja. Selama mereka dekat dan kenal baik dengan Merapi, masuk tanpa izin tidak masalah bagi Merapi. Lagipula, rumahnya ini sudah seperti basecamp bagi mereka.

Jadi, tidak heran jika Alvin datang dan tiba-tiba berkeliaran di rumahnya seperti saat ini.

"Lo mau ke mana?" tanya Alvin.

"Rumah sakit."

"Ngapain? Airin sakit?" tanya Alvin lagi.

Merapi menggeleng. "Larissa, pendarahan. Dia di rawat di sana. Gue mau ke sana lagi. Btw, di kamar gue ada Airin. Jangan masuk kamar. Kalau mau main di kamar sebelah aja kayak biasa," pesan Merapi.

Alvin lantas terdiam. Cowok itu menganggukkan kepalanya dengan raut wajah kaget. "Larissa?"

"Iya."

"Gue pergi dulu." Merapi hendak melangkah pergi. Namun, Alvin menahan lengannya.

Cowok itu menatap Merapi dengan ekspresi wajah yang sulit sekali diartikan. "Lo yakin soal Larissa?"

"Maksud lo?"

"Anak lo."

Merapi memicingkan matanya. Kemudian, tangannya kini mencengkeram kerah Alvin dengan pandangan tajam. "Maksud lo apa?!"

"G-gue cuman nanya, Pi."

"Gak usah raguin anak gue. Gak perlu ikut campur urusan gue. Lo emang temen gue. Sekali lagi gue denger lo nanya kayak gitu, muka lo gue buat ancur!" Merapi melepas cengkeramannya dengan kasar.

Setelah mengatakan itu, Merapi akhirnya memilih pergi meninggalkan Alvin yang masih terdiam di tempatnya.

Alvin menghela napas pelan. Ketika cowok itu berbalik hendak melangkah ke arah kamar tempat biasa dia berkumpul dengan teman-temannya, Alvin justru malah dikejutkan dengan Airin yang tengah menyandarkan punggungnya di depan pintu.

"Kenapa temen lo?" tanya Airin.

"Rin, ngapain?" Alvin menatap Airin kaget.

Airin mengedikkan bahunya. "Temen lo sayang banget ya sama si Larissa. Lo hampir mau di hajar loh, tadi," kata Airin mengabaikan pertanyaan Alvin.

"Rin, Merapi sayang sama lo, kok."

"Iya, sayang banget dia sama gue." Sampai-sampai ngasih rasa sakit yang enggak kira-kira, lanjut Airin dalam hati.

"Rin---"

"Lo tau soal Larissa hamil?" tanya Airin.

Alvin terkejut. Cowok itu membelalakan matanya kaget. Melihat reaksi itu, Airin justru terkekeh pelan. "Pergaulan Merapi dulu emang gitu, ya? Sampai-sampai ninggalin benih gitu."

"Merapi sayang sama lo, Rin. Setelah jadian sama lo dia bener-bener ninggalin pergaulannya."

"Iya, tau kok. Tapi dia masih lakuin itu waktu lagi masa-masa PDKT sama gue. Andai aja gue enggak nerima dia,  kayaknya---gak tau, deh. Gue ngantuk mau lanjut tidur. Kamarnya gue kunci, ya." Airin memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelahnya, pintu tertutup dan terdengar suara pintu dikunci.

Alvin diam. Airin mungkin terlihat tidak peduli akan hal itu. Namun, dari cara dia berbicara dan tatapannya yang menunjukkan kekosongan itu membuat Alvin paham.

Airin tidak baik-baik saja.

Memang, gadis mana sih yang baik-baik saja ketika tahu pacarnya menghamili orang lain? Ya, walaupun kejadiannya sebelum mereka resmi berpacaran, tetap saja hal ini pasti berpengaruh pada hubungan mereka.

"Gue harus apa?"

•••

"Mama lo mana?" tanya Merapi ketika dia baru saja masuk ke dalam ruangan Larissa.

Senyum Larissa mengembang kala mendapati Merapi. "Mama aku suruh pulang, soalnya aku bilang kamu mau ke sini. Kasihan Mama nungguin aku terus, dia pasti capek."

Merapi memutar bola matanya malas. Sejak tadi pagi, Merapi yang duduk di sini. Dia pulang sebentar sudah dihubungi lagi diminta untuk kembali.

"Merapi, kamu ... Enggak marah, kan?"

"Hm."

"Merapi," panggil Larissa.

"Apa?"

Larissa menggeser tempat duduknya. Kemudian, wanita itu menepuk tempat di sebelahnya. "Sini. Kamu pasti ngantuk, kan?"

"Aku pengen usap kepala kamu. Kayaknya bawaan bayi, deh," sambung Larissa.

Mendengar kata bayi, Merapi menurut. Cowok duduk di sebelah Larissa.

"Tiduran, Pi. Aku mau usap kepala kamu."

Merapi lagi dan lagi menurut. Ketika tangan Larissa mulai mengusap kepalanya, Merapi terdiam, matanya terpejam.

Bayangan Airin yang dia tinggalkan ketika tertidur tadi langsung terlintas di kepalanya.

Harusnya Airin yang berada di posisi ini. Harusnya Airin yang mengusap kepalanya seperti sekarang. Harusnya ....

Merapi menghela napas pelan. Hatinya mendadak sesak. Di saat dia menghancurkan Airin, Airin justru meminta Merapi untuk menjadi lelaki yang kuat.

"Larissa," panggil Merapi.

"Iya?"

"Boleh kita enggak jadi nikah?"

Usapan tangan Larissa terhenti. Wanita itu terdiam, namun, setelahnya dia tertawa. "Kamu ... Bercanda, kan? Aku gak mungkin besarin anak aku sendirian."

"Gue bakal tetep tanggung jawab, Sa. Gue enggak akan lepas gitu aja, dia anak gue. Gue cuman minta satu, boleh kita gak jadi nikah?"

"Merapi, jangan bercanda. Kamu udah janji setelah anak kita lahir, kita akan menikah. Lagian, bukannya kamu sama Airin udah putus? Apa yang bikin kamu tiba-tiba berubah pikiran kayak gini?" tanya Larissa.

Merapi menghela napas pelan. "Gue cuman cinta sama Airin, Sa," lirih Merapi.

"Dan kamu enggak cinta sama anak kamu, gitu?!" tanya Larissa kesal.

Merapi menelan salivanya susah payah. Kemarin, memilih antara anaknya dan Airin adalah hal yang mudah. Tapi, kenapa malam ini terasa sangat sulit baginya?

"Sa---"

"Kenapa enggak kita gugurin aja dari kemarin-kemarin kalau ujung-ujungnya kayak gini?"

"Gak usah macem-macem." Merapi menjawab pelan.

"Aku nolak. Aku mau kita nikah. Kamu enak, Pi, cowok. Enggak akan diomongin sama orang-orang. Aku? Aku cewek. Kamu kira aku gak malu punya anak tapi enggak punya suami?!"

"Kalau lo malu, biar gue yang urus anak gue."

"Merapi!"

Merapi beranjak seraya mengacak rambutnya kesal. Cowok itu menatap ke arah Larissa. "Airin yang udah nolong gue, Sa. Dia yang udah nolong gue, gue gak bisa jauh dari dia. Gue capek terus-menerus sakitin dia. Gue enggak bisa kontrol emosi gue atas kesalahan gue sendiri yang berujung nyakitin dia. Gue gak bisa. Gue capek terus menerus menyesal setelah melakukan semuanya sama Airin."

"Kalau gitu, kita bunuh anak kita sekarang juga. Kamu bebas sama Airin!"

Merapi menahan tangan Larissa yang hendak memukul perutnya sendiri. Dada Merapi naik turun, cowok itu menatap Larissa. "Sa! Gak usah gila!"

"Kamu yang gila!"

Merapi memejamkan matanya kuat. Cowok itu membawa Larissa ke dalam pelukannya. Bukan karena dia takut kehilangan Larissa, apa yang dia lakukan semata-mata hanya untuk menahan pergerakan wanita itu yang mungkin bisa saja menyakiti janin yang ada dalam perutnya.

"Maaf." Merapi berucap pelan bukan karena menyesal. Kata itu terucap tanpa perasaan bersalah atau apapun, yang dia ucapkan terasa mengambang.

"Jangan bilang gitu lagi, Merapi."

•••

Pagi harinya, Airin duduk di meja makan sendirian. Sedangkan teman-temannya Merapi belum bangun. Mereka benar-benar berisik sejak semalam.

Merapi belum kembali dan Airin sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya untuk kali ini.

Airin tahu apa yang akan terjadi setelah Merapi kembali, mereka pasti akan bertengkar. Dan Airin malas untuk kali ini.

"Gue kayaknya harus bawa barang gue di kost," gumam Airin.

Masih ingat saat Airin kabur dari rumah Merapi? Untungnya dia langsung menemukan kost-kostan yang kosong. Al hasil, dia langsung menyewa tanpa pikir panjang. Ya, bagaimana lagi, waktu itu posisinya sudah sangat larut.

Untungnya juga, Airin memiliki uang hasil dari tabungannya. Airin bukan tipe gadis yang suka jajan berlebihan. Lagipula, uang saku yang diberikan oleh Papanya saat kemarin-kemarin lebih dari cukup untuk menyewa kost selama satu bulan.

"Airin." Airin terkejut kala tubuhnya tiba-tiba saja dipeluk dari samping. Gadis itu menoleh dan mendapati Merapi yang kini menyandarkan pipinya pada bahu milik Airin.

Dia terlihat begitu berantakan.

"Lo kenapa?" tanya Airin.

"Kangen." Merapi berucap pelan.

Airin mengedikkan bahunya tak acuh mendengar itu. "Udah sarapan?"

"Gak napsu."

"Yaudah." Airin beranjak dan membuat pelukan Merapi terlepas. Setelahnya, gadis itu melangkah menuju lemari makanan dan membawa nasi bungkus di dalam sana.

Airin kembali dan menyodorkan makanan itu pada Merapi. "Tadi gue beli di depan komplek sekalian sama sarapan gue. Kebetulan gak ada kembalian, yaudah gue beli dua. Lo makan aja."

Merapi tahu, Airin sengaja membelinya.

Untuk Merapi. Namun, sepertinya gadis itu sakit hati dengan sikap Merapi dan membuatnya berkata begitu.

"Gue makan, ya?" kata Merapi. Cowok itu mengambil piring dan juga sendok. Kemudian, dia membuka nasi bungkus itu dan mulai memakannya.

Melihat Merapi yang terlihat begitu lahap, membuat Airin tersenyum kecut. Gadis itu membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

Airin benci perasaan ini. Dia benar-benar benci menjadi orang lemah yang tidak bisa melakukan apapun seperti sekarang.

"Airin," panggil Merapi.

"Apa?"

"Mau minum, boleh?"

Airin beranjak dan membawakan segelas air untuk Merapi. Merapi menerimanya.

"Makasih."

Airin mengangguk.

Selama beberapa menit setelahnya, Merapi selesai menghabiskan sarapannya. "Mau jalan-jalan, gak?" tanya Merapi.

"Enggak."

"Hari ini, lo mau ngapain?" tanya Merapi lagi.

"Gak tau."

Merapi menunduk. Diraihnya tangan kiri Airin, kemudian menggenggamnya dengan lembut. "Airin, maaf," kata Merapi.

"Buat apa?"

"Semuanya."

Airin mengangguk. "Oke."

"Airin," panggil Merapi lagi.

"Kenapa?"

"Kalau lo dikasih kesempatan buat pergi dari hidup gue, apa lo mau?"

Airin terdiam. Gadis itu menatap Merapi yang masih menunduk menatap tangan mereka. "Lo mau kasih kesempatan gue buat pergi?"

"Lo beneran pengen pergi, ya?" tanya Merapi lirih.

Cowok itu tak berani menatap Airin. Merapi takut tidak bisa mengontrol emosinya lagi, Merapi takut dia menyakiti fisik Airin lagi.

"Kalau ada kesempatan, kenapa enggak? Tapi, sayangnya gak bisa. Bokap gue kan lelang gue demi dana perusahaan." Airin terkekeh pelan.

"Airin," panggil Merapi pelan dan terdengar ragu.

"Lo kenapa, sih? Dramatis banget perasaan."

Merapi mendongak. Matanya menatap langsung wajah gadis yang sangat dia cintai sampai saat ini.

Merapi menelan salivanya susah payah.

Tidak, dia tidak bisa melepaskan Airin. Merapi tidak rela. Merapi tidak siap kehilangan Airin secepat ini.

"Merapi?"

Merapi menarik tangan kiri Airin dan memeluk tubuh gadis itu. "Maaf, Airin, Maaf."

"Jangan pergi dari gue. Gue mohon, Rin, jangan pergi dari gue," lirih Merapi.

Merasakan pelukan Merapi yang semakin erat, Airin lantas terdiam. Dadanya mendadak sesak. "Lo kenapa, sih? Aneh banget," ucap Airin.

Merapi tidak menjawabnya. Dia memilih menenggelamkan wajahnya pada bahu milik Airin.

"Airin, kalau suatu hari nanti lo capek, istirahat aja, ya. Jangan pergi."

"Iya, istirahat." Gue harap selama-lamanya. Airin melanjutkan perkataanya dalam hati.

Airin sudah lelah, sungguh. Tapi, sepertinya perjalanan Airin belum setengahnya. Sebelum dia benar-benar hancur, Airin akan bertahan sebisanya.

Dan lagipula tak dapat dipungkiri, Airin ada hanya untuk disakiti. Dia sadar betul akan hal itu. Jadi, yasudah, Airin sudah terlatih disakiti. Airin sudah terbiasa hidup dengan rasa sakit.

Tidak perlu khawatir, jika Merapi takut Airin pergi, Airin akan bertahan selama yang dia bisa. Demi kepuasan Mama tirinya, Papanya, dan juga Merapi.

Dan Airin harap, tak ada satupun orang yang menyesal jika suatu hari nanti Airin benar-benar istirahat untuk waktu yang selama-lamanya.

TBC

Ada yang nungguin?

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Larissa

Spam next yuk!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro