Bagian 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak tadi, Merapi duduk di samping kasur kamar sebelah. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan Airin yang sampai saat ini belum sadarkan diri.

Airin berbaring di atas kasur dengan posisi miring. Sedangkan tangan lainnya, Merapi gunakan untuk menahan pinggang Airin agar gadis itu tidak menjatuhkan punggungnya ke kasur.

Bahkan, Merapi mengabaikan rasa perih di bagian lengannya.

Papanya Merapi sudah memanggil Dokter. Airin juga sudah diobati. Papanya Merapi sempat bertanya dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Namun,  Merapi tidak menjawab dan memilih bungkam sampai saat ini.

Sebastian sempat marah. Namun, Merapi memilih mengabaikannya karena cemas dengan keadaan Airin.

Bahkan, telapak tangan gadis itu kini terasa begitu dingin di genggamannya.

Merapi menunduk, mencium punggung tangan itu berkali-kali.

"Pi, lo mendingan balik ke kamar, deh. Istirahat sana."

"Airin." Merapi mengabaikan ucapan Sebastian yang tengah berdiri bersandar pada lemari dengan kedua tangan terlipat dan memilih menyebut nama Airin dengan pelan.

Seakan mantra, Airin kini membuka matanya secara perlahan. Gadis itu meringis kala merasakan perih di bagian punggungnya.

Airin melirik Merapi. kemudian, gadis itu menarik tangannya yang digenggam oleh Merapi secara spontan dan memilih mengubah posisi menjadi duduk.

Gadis itu kembali meringis seraya memegangi kepalanya yang terasa begitu pening.

"Airin, maaf." Merapi merasa hatinya sakit tat kala Airin kembali menolaknya.

"Airin," panggil Merapi lagi.

Airin mengabaikannya. Matanya mengedar mencari sesuatu. Kemudian, dia melihat seragamnya tergeletak di sampingnya.

Sepertinya, punggung Airin sudah diobati. Atasannya hanya mengenakan tanktop sekarang. Tak memperdulikan itu, Airin memilih mengenakan seragamnya tanpa peduli dengan Sebastian dan juga Merapi yang berada di depannya.

"Airin, makan dulu, ya? Dokter bilang lo telat makan." Merapi berkata pelan.

"Gue mau balik." Airin meringis ketika lengan bagian belakangnya tak sengaja bergesekan dengan bantal.

Gadis itu mendengkus. "Maaf ngerepotin," kata Airin.

Merapi menggeleng. "Rin, jangan gini ..."

Namun, Airin memilih beranjak. Mengabaikan rasa pusing dan juga rasa perih dari punggung dan lengan bagian belakangnya. Belum lagi, tangan kanannya yang belum pulih terasa semakin sakit saat ini.

"Istirahat, Pi. Sampai ketemu lusa." Setelah mengatakan itu, Airin memilih melangkah pergi.

Saat Airin sudah pergi, Merapi menatap ke arah Sebastian sebentar. "Anterin cewek gue balik."

"Ngamuk gak nih?"

"Kalau gue bisa, gue yang bakal nganterin. Gak sudi gue sebenernya minta tolong sama lo." Merapi menjawab dengan mata yang terfokus pada punggung Airin yang kini sudah menjauh.

Sebastian memilih melangkah mengikuti Airin. Setelah kepergian Sebastian, Merapi tertawa pelan. Namun, tawa itu lebih terdengar seperti tawaan miris.

"Lo nyakitin Airin lagi, Pi." Merapi meremas rambutnya dan menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Bayangan dirinya ketika mendorong Airin sampai gadis itu memekik dan berusaha menghindar dari pecahan piring kembali berputar di kepalanya.

"Airin cewek yang lo cari. Harusnya dia bahagia sama kayak saat lo bahagia ketika ketemu sama dia, Pi. Enggak kayak gini, enggak. Tujuan lo bukan buat nyakitin dia." Merapi bergumam pelan.

Kemudian, cowok itu mendongak dan menatap langit-langit kamar. Dadanya sesak, selalu saja begini.

Dia yang menyakiti Airin, dan dia sendiri yang menyesal.

Merapi beranjak. Berjalan seraya menopang pada apapun yang bisa ia raih.

Kakinya melangkah menuju ke ruang tamu. Sesampainya di sana, dia melihat Sebastian yang tengah memanaskan motor.

Di sana Airin tersenyum.

Karena Sebastian.

Senyum itu, kapan terakhir kali Merapi melihat Airin tersenyum karenanya?

"Rin ... Apa lo bahagia?"

•••

"Rin, Rin!"

Airin menoleh, gadis itu mengerutkan alisnya kala mendapati Sebastian yang kini melangkah ke arahnya.

"Kenapa?"

"Gue anter. Lo lagi sakit juga. Oh iya, tadi Om Arif titip pesen, katanya lo mendingan besok istirahat dulu. Jangan ke mana-mana."

"Terus, Om Arif sekarang di mana?" tanya Airin.

Keduanya kini berjalan bersamaan. Airin terlihat santai, tak terlihat sedih ataupun marah di depan Sebastian.

Secepat itu dia bisa merubah raut wajah dan juga ekspresinya.

Padahal, sebastian yakin. Airin pasti kecewa, kesal, ataupun marah pada Merapi. Terlihat jelas dari cara dia memilih pergi dan menolak Merapi seperti tadi.

Ada hal lain yang dapat Sebastian simpulkan dari Airin. Dia bukan tipe orang yang melampiaskan rasa kesalnya pada orang yang tidak membuatnya kesal.

Selain itu, dia juga memiliki topeng yang sangat tebal.

"Tadi, sih, pergi. Gak tau ke mana. Yaudahlah urusan orang tua. Yuk lo gue anter balik." Sebastian berjalan terlebih dahulu.

Airin memilih mengikutinya dari belakang. Kemudian, sebastian memilih naik ke atas motornya dan menyalakan mesin. "Bentar panasin dulu," kata Sebastian.

"Ini lo mau nganter gue, gue disuruh bayar uang bensin gak?" tanya Airin.

Sebastian menoleh, cowok itu sontak saja tertawa. "Kalau mau, gue gak nolak. Kata Nenek gue, rezeki gak boleh ditolak."

"Yah, mendingan naik angkot kalau gitu." Airin menjawab dengan nada pura-pura menyesal.

Sebastian tertawa lagi. "Yaudah sana naik angkot."

"Yaudah." Airin hendak pergi. Namun, Sebastian menahan tangan gadis itu. "Bercanda. Baperan ah, gak boleh itu," lanjutnya.

"Gue juga bercanda, sih. Biar gak disuruh bayar uang bensin soalnya. Sok-sokan ngancem doang." Airin tertawa pelan.

Sebastian cukup lega melihat Airin masih bisa bercanda.

Jujur, Sebastian dan Airin tidak sedekat itu. Mereka memang seringkali bertemu dan berbicara. Namun, tidak pernah mengobrol panjang dan seperlunya saja.

Sebastian kira, Airin adalah gadis cuek yang sulit di dekati. Tapi ternyata, setelah mengobrol siang tadi, Sebastian tahu ternyata Airin tidak secuek itu.

Pantas saja saat jaman Pendekatan dulu, Merapi begitu kekeuh ingin bersama Airin.

Namun, agak heran juga, saat Sebastian masih sekolah di tempat yang sama dengan Airin, dia tidak pernah melihat Airin memiliki teman yang benar-benar dekat dengannya.

"Yaudah, yuk, naik," ajak Sebastian.

Airin memilih naik. Saat Sebastian memundurkan motornya, Airin terpaku melihat sosok Merapi yang tengah berdiri di dekat jendela.

•••

Airin baru saja sampai. Sedangkan Sebastian, dia sudah kembali pergi. Kini, kakinya melangkah memasuki rumah yang sudah lumayan lama tidak ia kunjungi.

Gadis itu menghela napas pelan dan memilih terus berjalan.

"Dari mana kamu?"

Airin menoleh. Dia mendapati Winata yang tengah duduk di ruang tamu dengan tas sekolah Airin yang berada di sampingnya.

"Papa tau jawabannya."

"Buat apa, hah?! Buat apa kamu ke sana? Ngadu?! Biar nama Papa jelek di depan Pak Arif, iya?!"

Airin menghela napas pendek. Serba salah ternyata. Keluhnya dalam hati.

Gadis itu memilih diam..

Bruk!

Tas sekolah Airin di lempar hingga mengenai wajah Airin.

Airin memejamkan matanya. Dia masih bertahan di tempat sampai tas itu jatuh ke lantai dengan sendirinya.

"Apa pantas perlakuan kamu itu?! Lempar tas di depan orang tua kayak tadi siang? Di mana sopan santun kamu?"

Airin melirik Ranti yang baru saja keluar. Di sampingnya ada Maudi.

Airin meraih tasnya. Kemudian, gadis itu melemparnya dengan kasar ke meja dengan tangan kiri.

"Sopan santun? Papa tanya sama diri Papa sendiri. Apa pernah papa ajarin Airin sopan santun?!" Mata Airin memanas.

"Enggak pernah, Pa. Sekalipun gak pernah!"

"Yang Papa lakuin sama Airin sedari dulu cuman main tangan. Airin salah, Papa tampar, Airin enggak ngerti, Papa pukul. Papa pikir Airin gak capek?! Airin capek, Pa! Airin selalu salah di mata Papa. Airin pergi ke rumah Om Arif buat Apa sih, Pa? Buat diri Airin sendiri?! Enggak, Pa!"

"Rin, lo apaan, sih? Salah bukannya ngaku malah marah-marah." Maudi menyahut.

"Lo diem, bangsat! Gue gak minta pendapat lo!" Airin menunjuk ke arah Maudi.

Namun, Ranti dengan cepat menepisnya. "Maksud kamu apa bicara kasar sama kakak kamu sendiri, Airin?"

"Gue? Kasar?! Tanya suami lo! Tanya sama dia, siapa yang ngajarin gue kasar!" Airin berteriak. Matanya sudah memerah.

Plak!

Airin memejamkan matanya. Gadis itu terjatuh ke lantai kala tamparan Papanya melayang tepat di pipi.

Darah segar mengalir di hidungnya. Gadis itu mengepalkan tangannya.

"Jaga bicara kamu sama Istri saya!"

Airin terkekeh hambar. Gadis itu beranjak, dia menepis cairan kental di hidungnya. "Airin gak ngerti apa yang sebenernya Papa cari." Setelah mengatakan itu, Airin memilih melangkah menaiki anak tangga.

Namun, baru saja dia menginjak anak tangga pertama, suara anak kecil membuat langkahnya terhenti.

"Kakak."

Airin menoleh, dia mendapati Reihan yang kini menatap ke arahnya dengan sedih. "Ley kangen kakak."

Airin membuang arah pandangnya. Dia memilih meninggalkan Reihan dan terus melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.

Setelah sampai kamar, Airin membanting pintu. Kemudian, dia duduk bersandar dengan lemas pada pintu dan menangis.

Airin ... Lelah.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Sebastian

Maudi

Papanya Airin

Spam next

See u!

Makasih untuk 41k pembaca😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro