Bagian 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi hari, Airin keluar dari dalam kamarnya. Memakai baju oversize dan juga celana panjang. Tak hanya itu, dari wajah Airin, bisa terlihat jelas bahwa dia tidak baik-baik saja.

Namun, Airin memilih bersikap biasa. Dia duduk di depan televisi dengan kedua kaki yang ikut terangkat pada kursi.

"Semalam, Papa gak makan malem. Papa juga belum sarapan hari ini. Lo kenapa sih harus bantah omongan Papa segala?"

Airin melirik Maudi sekilas. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya.

Memilih mengabaikannya, Airin mengganti channel televisi menggunakan remote yang dia pegang.

"Kalau di tanya tuh jawab, mulut lo bisu atau gimana, sih?!"

Airin masih mengabaikannya.

Sampai tiba-tiba, tas milik Maudi mendarat tepat di wajah Airin. Kegiatan mengganti channel televisi terhenti bersamaan dengan Airin yang memejamkan matanya.

Kemudian, gadis itu melirik ke arah Maudi dengan lirikan tajam.

"Gak tau diri!" Maudi kembali berbicara.

Airin melempar remote televisi hingga mengenai wajah Maudi. Gadis itu beranjak, tanpa pikir panjang, Airin menarik rambut gadis itu hingga Maudi mendongak dan meringis.

"Siapa yang lo bilang gak tahu diri?" desis Airin.

"Lo."

"Sadar diri, anjing!" Airin semakin menariknya dengan kasar.

"Sakit!" teriak Maudi.

Airin menghempaskan Maudi hingga gadis itu terkapar di lantai. Tanpa pikir panjang, Airin mengambil tas milik Maudi yang tadi dia lempar, kemudian Airin lemparkan pada wajah Maudi dengan keras.

"Lo kasar! Lo gak pantas disayangi sama siapapun Airin!" teriak Maudi. Gadis itu menangis karena rasa perih pada bagian kepala dan juga rasa takut menghadapi Airin.

Airin diam. Kalimat itu benar-benar menyakitinya.

Airin tidak pantas disayangi oleh siapapun.

Apa itu sebab kenapa Airin tidak pernah disayangi? Apa itu sebab kenapa Airin selalu merasakan sakit tanpa ada satu orang pun yang mengerti?

Merasa tidak terima, Airin duduk di perut Maudi. Mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat, matanya memerah merasakan amarah yang sejak semalam tidak sempat Airin lampiaskan.

"Bangsat!" teriak Airin. Airin menampar Maudi tanpa perasaan.

Maudi berteriak kesakitan. Tubuhnya meronta minta dilepaskan. Namun, Airin seolah tidak melihat ketakutan itu, dia terus melakukan aksinya.

"Airin!"

Airin ditarik dari belakang. Dilempar hingga punggungnya menabrak sisian meja.

Airin meringis. Luka di punggungnya  sama sekali belum mengering.

"Apa-apaan, kamu?!" teriak Ranti.

Dia yang menarik Airin. Sepertinya, dia mendengar teriakan Maudi.

Kini, Maudi sudah berada di pelukan Ranti. Menangis dan mengadu perbuatan Airin yang membuatnya sakit.

"Gak bisa sehari aja kamu gak bikin masalah, hah?!"

Airin diam. Matanya menatap marah ke arah Maudi, Airin bangkit mengabaikan rasa sakit di bagian punggungnya.

"Kamu pikir, apa tujuan utama Papa kamu membiarkan kamu menikah, hah?!"

"Karena kamu selalu cari masalah. Keberadaan kamu cuman bikin rumah ini jadi runyam!"

"Dan, selama beberapa hari ketika kamu enggak ada di sini, keadaan rumah baik-baik aja! Enggak pernah ada keributan sampai salah satu kena luka fisik kayak Maudi sekarang!"

Airin diam. Keberadaan Airin hanya membuat rumah runyam.

Gadis itu menggeleng. "Gak usah ngarang," jawab Airin.

"Ngarang kamu bilang? Mama yakin---"

"Lo bukan Mama gue! Gak usah sebut diri lo begitu di depan gue! Jijik!" Airin membantah dengan cepat.

Ranti membuang napas kasar. "Saya yakin, kamu bisa melihat dari cara Papa kamu bersikap. Dia lebih sayang Maudi daripada kamu. Dia enggak pernah main fisik sama Maudi, dia selalu bangga sama Maudi. Sedangkan sama kamu? Papa kamu selalu marah-marah, sebelum akhirnya ... Dia enggak mau makan, dan sakit."

"Saya yakin, sebelum saya dan Maudi berada di keluarga ini, Papa kamu sudah melakukan hal yang sama, Airin."

"Kamu itu beban, kamu harus sadar sama posisi kamu di sini. Kamu dipertahankan karena Mama kandung kamu enggak pernah mau bawa kamu."

Airin diam. Hatinya terasa ngilu. Ucapan itu benar adanya.

Jauh sebelum Ranti datang kemari, Papanya selalu melakukan hal begitu.

"Saya harap, setelah kamu menikah besok, kamu enggak melakukan hal yang bikin Papa kamu marah lagi, Airin."

"Saya juga enggak akan ngadu soal perbuatan kamu sekarang," lanjutnya.

Setelah mengatakan itu, Ranti mengajak Maudi untuk pergi ke kamar dan mengobati lukanya.

Airin diam. Gadis itu perlahan menenggelamkan wajahnya pada lutut.

Jadi, Airin dijodohkan semata-mata bukan hanya karena dana perusahaan? Akan tetapi, mereka semua---orang yang berada di sini menganggap Airin adalah beban?

"Ma, Pa, apa salah Airin?"

•••

Merapi mengembuskan asap rokoknya dengan pelan. Di depan jendela kamar, dia menatap ke arah luar.

Bayangan Airin yang bisa tersenyum bersama Sebastian benar-benar menganggu pikirannya.

Merapi ingin berada di posisi itu. Merapi ingin membuat Airin tersenyum karenanya.

Namun, semua terasa sulit. Sikapnya selalu berubah secara spontan. Menyakiti Airin, dan menyesal setelah sadar.

Di tekannya rokok itu pada asbak. Kemudian, dia membuangnya.

Besok, adalah hari pernikahannya bersama Airin. Seharusnya Merapi senang. Namun sekarang, entah kenapa rasanya begitu berat.

Merapi takut, dia juga cemas.

Dia ingin Airin, tapi dia takut tak bisa mengembalikan senyum Airin seperti pertama kali mereka bertemu saat itu.

Merapi meraih ponselnya. Cowok itu mencari kontak Sebastian dan menghubunginya.

Selama beberapa detik, sambungan langsung terhubung.

"Bas, bisa ke rumah?"

Setelah mengatakan itu, Merapi memutuskan sambungannya secara sepihak. Dia melangkah menuju kasur, merebahkan tubuhnya dan menatap ke arah langit-langit kamar.

"Merapi."

Merapi menoleh. Cowok itu mendengkus ketika mendapati Papanya yang kini berjalan ke arahnya.

"Besok kamu menikah. Apa perlu Papa kasih kabar Mama kamu?"

"Gak perlu."

"Mama kamu berhak tau, Pi."

"Orang yang udah ninggalin Merapi, secara enggak langsung udah gak punya ikatan apapun sama Merapi! Jangan pernah hubungi dia, atau Merapi bakal bunuh dia di depan Papa!"

Plak!

Merapi tertawa pelan kala sebuah tamparan mendarat tepat di pipinya. "Kenapa? Kenapa Papa tampar Merapi? Papa masih berharap pelacur itu balik ke rumah ini, hah?!"

"PAPA GAK PERNAH AJARIN KAMU BERBICARA KURANG AJAR. TERLEBIH SAMA ORANG TUA KAMU SENDIRI, MERAPI!"

Merapi mengangguk. "Iya, Papa gak pernah ajarin. Papa gak pernah ajarin apa-apa sama Merapi! Dari Merapi masih kecil, sedari Mama masih ada di rumah Papa, Papa sama sekali gak pernah ajarin apapun sama Merapi!"

"Itu masa lalu, Pi."

"Bahkan Mama sama Papa sama sekali enggak ada bedanya di mata Merapi. Papa yang selalu bawa jalang di depan Mama, dan Mama yang milih pergi sama orang yang lebih kaya daripada Papa!"

Ya, Arif sadar akan hal itu. Dulu, lahirnya Merapi karena ketidak sengajaan.

Pertemuan satu malam bersama Ibunya Merapi di sebuah kelab malam beberapa tahun lalu, membuat keduanya terikat tanpa dicegah. Sudah dicoba digugurkan, namun Merapi masih bertahan dalam kandungan.

Keduanya menikah tanpa cinta. Ibunya Merapi masih melakukan pekerjaannya sebagai seorang penghibur, dan Papanya Merapi yang masih bermain-main dengan banyak wanita.

Sampai akhirnya, keduanya memutuskan untuk berpisah. Mamanya Merapi secara terang-terangan membawa pasangan baru yang lebih kaya daripada Arif, dan Arif yang semakin menjadi-jadi.

Tumbuhnya kepribadian Merapi karena contoh dari orang tuanya sendiri. Arif tidak bisa mengelak akan hal itu.

Sampai akhirnya, Arif sadar. Dia mencoba mendekatkan dirinya dengan putranya. Namun, hingga saat ini, Merapi masih enggan melupakan masa lalu itu. Dan sampai sekarang, mereka masih seperlunya.

Walaupun Arif kerap kali datang kemari, berusaha bersikap lembut pada Merapi, mereka tetap tidak pernah mengobrol panjang.

Merapi yang membatasi diri.

"Papa sadar kenapa Merapi mau tinggal sendiri? Karena rumah itu neraka buat Merapi, Pa!" teriak Merapi.

"Kamu gak paham, Merapi. Kamu gak tau apa yang terjadi antara Mama sama Papa. Semuanya udah lewat, Papa sadar, dan Papa minta maaf soal itu."

Merapi menggeleng. "Gak. Pergi sekarang!"

"Merapi ...."

"PERGI!"

Merapi memilih menutup tubuhnya dengan selimut. Kemudian, dia menangis dalam diam.

Dia rindu Mamanya. Merapi tidak bisa membohongi perihal itu.

Sejahat apapun kelakuan Mamanya di depan Merapi, dia masih memberikan kasih sayangnya pada Merapi. Walau pada akhirnya, semua itu ... Hilang.

Hilang hingga saat ini.

Dan Merapi benci itu.

Sumpah demi apapun, Merapi tak mau melihat wajah Mamanya lagi.

Setelah Merapi semakin tumbuh besar, dia berpikir semua wanita hanya menginginkan uang dan harta. Persis seperti Mamanya dan para pelacur yang disewa Papanya.

Dan itu juga yang membuat Merapi selalu bermain-main dengan banyak wanita.

Sampai akhirnya dia bertemu Larissa. Namun rupanya, dia tak ada bedanya.

Kemudian, dia bertemu dengan Airin. Dia gadis yang Merapi inginkan.

Dia menemukan kasih sayang yang pernah Mamanya Merapi berikan itu pada diri Airin. Namun, Merapi justru malah menjadi racun untuk gadis itu.

Alasan kenapa Merapi ingin selalu bersama Airin, karena dia tak mau kehilangan kasih sayang itu lagi. Airin tidak mau kehilangan ketulusan itu lagi. Dan cara Merapi mempertahankan Airin, benar-benar salah.

Arif diam. Pria itu akhirnya memilih menutup pintu kamar Merapi dan memilih duduk di ruang tamu seorang diri.

Dia menunduk, menyesali perbuatannya di masa lalu. Andai saja dia bisa mempertahankan pernikahannya dan mencoba membuka hati untuk Mamanya Merapi, semuanya tidak akan seperti sekarang.

Arif tidak akan jauh dengan putranya, dan Merapi tidak akan tumbuh menjadi seperti sekarang.

Andai saja Arif bisa menerima kehadiran Merapi sejak dulu. Andai saja Arif ada untuk putra kecilnya dulu, andai saja Arif sadar bahwa yang Merapi butuhkan bukanlah uang kala itu, mungkin ... Merapi tidak akan membentengi dirinya untuk Arif.

"Maafin Papa, Merapi."

TBC

Kesan setelah baca Part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Ranti

Arif

Merapi

Maudi

So next di sini

Btw, Merapi ada versi AU nya loh! Bisa di cek di Twitter @2octaviany.

Bayyy!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro