Bagian 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pi?"

Merapi diam. Dia meremas kresek berisi obat-obatan yang sempat Sebastian tebus.

Setelah berbicara dengan Papanya, tadi, Sebastian datang. Lalu, Merapi meminta Sebastian untuk mengantarnya ke psikiater.

Sebenarnya, Merapi enggan. Namun, mengingat Airin yang dia sakiti kemarin, membuat Merapi berpikir semalaman. Tidak ada salahnya mencoba.

Walau sebenarnya, dia cemas. Dia takut jika dia benar-benar mengalami gangguan kejiwaan.

"Santai aja kali, Pi. Gak usah terlalu dipikirin." Sebastian melajukan mobilnya.

Pasalnya, setelah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, Merapi menjadi lebih banyak diam.

"Gue enggak nyangka sih langsung ketauan. Gue kira harus beberapa kali---"

"Jangan kasih tau Airin."

Sebastian mengerutkan alisnya. Dia menoleh ke arah Merapi sebentar. "Yakin?"

Merapi mengangguk. "Kalau dia tau, gue takut dia jijik sama gue." Merapi merasa cemas.

Dia benar-benar takut jika hal itu terjadi. Jika Airin tidak bisa menerima Merapi karena ini, Merapi takut dia menjauh.

Merapi tidak ingin kehilangan Airin.

"Airin bukan orang kayak gitu, Pi."

Merapi menggeleng. Dia menoleh menatap jalanan. Matanya terasa panas, dadanya terasa sesak.

"Gue gila, Bas."

"Lo gak gila."

"Bipolar itu gangguan kejiwaan yang enggak sama kayak orang gila. Gak usah aneh-aneh, deh." Sebastian melanjutkan ucapannya.

Merapi mendengkus mendengar jawaban Sebastian. Namun, banyak hal yang kini memenuhi kepalanya.

Termasuk soal Airin.

Apa dia akan baik-baik saja setelah menikah dengannya, nanti? Apa Merapi bisa mengontrol dirinya sendiri ketika dia mengalami hal yang tidak bisa dia cegah nanti?

Psikiater bilang, Bipolar lebih berpotensi menyakiti dirinya sendiri. Namun, tak dapat dipungkiri, Merapi juga bisa menyakiti orang yang berada di dekatnya. Dan itu, sudah sering terjadi pada dirinya.

Dia sudah sering menyakiti Airin. Dia juga beberapa kali menyakiti dirinya sendiri dan juga hampir bunuh diri.

"Bas, apa gue batalin aja pernikahan gue sama Airin?" tanya Merapi ragu.

"Yakin?"

Merapi menggeleng.

Jelas tidak. Mana mungkin Merapi mau melepas Airin begitu saja.

"Gue takut sakitin dia lagi, Bas," jawab Merapi pelan.

Sebastian menepuk pundak Merapi beberapa kali. "Yakin? Yakin mau lepasin Airin?" tanya Sebastian lagi.

Merapi lagi dan lagi menggeleng.

"Gue sayang sama dia, Bas. Gue mau buat dia bahagia, tapi kenapa susah banget?"

•••

Airin menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya pernikahan besok, baru saja di antarkan ke rumah.

Tak hanya itu, kini, rumah Airin sudah dihias sedemikian rupa oleh pendekor.

Sederhana, namun entah kenapa Airin tidak merasa bahagia.

Dia tengah mencoba kebaya itu. Ranti yang menyuruhnya.

Setelah kejadian tadi pagi, Ranti benar-benar tidak memberitahu pada Winata. Dan lagi, Maudi yang awalnya hendak berangkat sekolah menjadi urung.

"Punggung kamu kenapa?" tanya Ranti ketika Airin kembali melepas kebayanya.

Airin tak menjawab. Dia memilih mengambil bajunya yang berada di atas kasur dan kembali memakainya.

"Airin? Saya nanya. Punggung kamu kenapa?"

"Udah beres, kan? Bisa keluar dari kamar gue?" tanya Airin mengabaikan pertanyaan Ranti.

"Nyokap gue nanya. Lo bisa gak sih tinggal jawab aja. Gak usah ribet!"

Airin menatap sinis ke arah Maudi. "Lo gak denger apa kata gue? Udah beres, kan? Bisa keluar dari kamar gue?"

"Lo!"

"Keluar, atau gue seret?"

Ranti menahan bahu Maudi. Gadis itu hendak melayangkan pukulan pada Airin. Namun, Airin masih setia di tempatnya tanpa peduli apa yang Maudi hendak lakukan padanya.

"Kenapa? Gak berani pukul gue karena Bokap udah balik? Takut ketahuan?" tanya Airin.

"Maudi, ayo keluar," ajak Ranti.

Airin terkekeh sinis. "Oh, iya. Takut ternyata."

Ranti memilih mengajak Maudi keluar tanpa meladeni sindiran Airin. Setelah pintu kamarnya tertutup, Airin memilih merebahkan tubuhnya dengan posisi tengkurap di atas kasur.

Airin beban. Airin adalah orang yang membuat rumah menjadi runyam.

Perkataan Ranti tadi pagi masih terus menerus bersahutan di kepalanya.

Bohong jika Airin tidak ambil hati. Buktinya, ucapan Ranti memang ada benarnya.

Papanya tak pernah bangga pada Airin, Papanya tak pernah bersikap lembut pada Airin, dan Papanya lebih menyayangi Maudi dibanding Airin.

Airin dipertahankan, karena Mamanya tidak mau membawa Airin ikut bersamanya.

Airin menghela napas pendek.

Pintu kamar kembali terbuka. Gadis itu sontak mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap ke arah pintu.

"Kakak, ayo makan."

Reihan. Adik kecilnya itu berjalan ke arah Airin dan langsung menyentuh telapak tangan gadis itu. "Tadi Ley masak sama Papa, Kak. Kita makan sama-sama, ya?"

Airin tak menjawab. Dia memilih beranjak dan mengikuti Reihan yang terus menarik tangannya.

Sampai tiba di meja makan, Airin menatap ke arah Winata yang awalnya tertawa bersama Maudi dan Ranti, langsung berubah menjadi datar.

"Kalian makan aja. Papa ada urusan." Winata beranjak. Pria itu hendak pergi. Namun, ucapan Airin membuat Winata kembali ke tempat duduknya.

"Airin gak makan. Papa di situ aja. Dia bilang," Airin menunjuk Ranti. "Papa belum makan dari pagi ... Atau malem? Gak tau, lupa. Airin ke sini cuman anter Rei doang." Setelah mengatakan itu, Airin melepas genggaman tangan mungil Reihan dan memilih melangkah pergi meninggalkan meja makan.

Namun, baru saja Airin sampai di anak tangga, ucapan Maudi membuat Airin menghentikan langkahnya.

"Baperan banget, sih."

"Kenapa? Kalau mau makan, makan aja kali. Kesannya lo kayak enggak menghargai Papa tau, gak. Papa udah capek-capek masak, dan lo ... Malah milih enggak makan?"

"Minta maaf sama orang tua gak rugi kali, Rin. Kenapa? Masih merasa bersalah dan sadar diri karena udah berantem sama Papa kemarin malam?" sambung Maudi.

Airin tertawa. "Pa, Airin minta maaf, ya. Anak kesayangan Papa lagi belain Papa tuh."

Setelah mengatakan itu, Airin memilih menaiki satu persatu anak tangga.

Hatinya benar-benar perih ketika melihat Papanya yang awalnya tertawa tiba-tiba memilih menatap datar ke arahnya.

Dia juga hendak pergi setelah Airin datang.

Sebegitu bencinya kah Winata pada Airin?

Airin mengepalkan tangannya. Setelah masuk ke dalam kamar, Airin menutup pintunya dan kembali menangis.

Airin benci menjadi lemah. Airin benci menjadi orang munafik. Namun nyatanya, kedua hal itu malah melekat pada dirinya.

Di lain tempat, Reihan menekuk wajahnya. Pria kecil itu naik ke atas kursi dan meraih piring.

"Rei, mau Mama ambilin, sayang?" tanya Ranti.

"Enggak, Mama. Lei mau ambil buat Kakak." Reihan beralih mengambil lauk pauknya.

"Rei, kakak kamu gak mau makan."

"Tapi Lei lihat kakak sedih, Ma. Kalau kakak gak makan, Lei juga ndak mau makan." Setelah mengatakan itu, Reihan turun dari atas kursi.

Pria kecil itu berjalan menaiki anak tangga dengan sepiring nasi yang dia bawa.

Walaupun agak kesusahan karena piring yang dia bawa tidak seimbang dengan tubuh kecilnya, Reihan tetap berjalan menuju kamar Airin.

"Kakak, ayo makan," ajak Reihan setelah sampai di depan kamar Airin.

Reihan menyimpan piringnya di atas meja. Kemudian, meraih knop pintu seraya berjinjit.

"Kakak!"

Pintu terbuka. Airin menatap Reihan yang kini tersenyum ke arahnya. "Ayo makan, Kak."

"Lei bawa ini." Reihan mengambil piring yang sempat dia simpan. Kemudian, dia menyodorkannya pada Airin.

Airin diam. Gadis itu menerimanya. "Makasih."

"Kakak habis nangis, ya?"

"Enggak."

Reihan memeluk perut Airin. Kemudian, dia mengelus pinggang Kakaknya dengan lembut. "Kakak jangan sedih, ya. Kan da Lei. Nanti, kalau Lei udah besal, Lei janji bakal jagain Kakak."

Airin menyimpan piring itu ke atas lantai dan berjongkok. Dia tersenyum dan mengacak puncak kepala Reihan dengan lembut. "Rei, kakak gak papa."

"Tapi, Kak, Lei sedih lihat Kakak telus-telusan dipukul sama Papa." Reihan menunduk.

"Kakak gak pernah dipukul sama Papa, Reihan. Papa baik kok. Buktinya, dia sayang kan sama Reihan?"

Reihan menggeleng. "Lei suka lihat di kamar, Kak. Lei pengen jaga Kakak, Lei pengen cepet besal. Lei gak mau lihat Kakak disakitin lagi."

Airin lantas meraih piring. Kemudian, dia duduk bersila di depan Reihan. "Yaudah, gini aja. Kalau Rei mau cepet besar, Rei makan, ya?"

"Bisa, kak?"

"Bisa, dong."

"Berarti kalau Lei makan banyak, Lei cepet besal?"

"Iya, Reihan."

"Nanti Lei bisa jaga Kakak?"

Airin mengangguk dan tersenyum.

Alasan kenapa Reihan ingin bersama Airin adalah, Airin akan menjadi sosok yang lembut ketika mereka tengah berdua.

Namun, jika di depan keluarganya, Airin selalu bersikap tak acuh pada Reihan.

Namun, seolah mengerti pada sikap Airin, Reihan tak ada bosannya mendekat pada sang Kakak.

Reihan menyayangi Airin. Dia juga selalu melihat Kakaknya dipukul dan ditampar, dia merasakan sakit ketika melihat secara diam-diam.

Namun, Reihan tidak bisa apa-apa.

Yang dia harapkan adalah, dia cepat tumbuh besar dan bisa menjaga Kakaknya.

"Kakak, Papa jahat ya sama Kakak?" tanya Reihan setelah mendapat suapan yang Airin berikan.

"Enggak, Reihan. Papa baik. Jangan bilang kayak gitu, Kakak gak suka."

"Tapi Lei juga ndak suka lihat Papa malahin Kakak telus. Lei juga ndak suka lihat Papa pukulin Kakak."

"Itu karena Kakaknya nakal. Makannya Kakak dimarahin sama Papa," jawab Airin.

Obrolan mereka turus berlanjut.

Airin harap, setelah Reihan tumbuh besar nanti, Reihan tumbuh menjadi anak yang baik.

Dan semoga, sikap kasar Papanya hanya berlaku pada Airin. Tidak pada Reihan juga.

•••

Esok harinya, jam 10 pagi, Airin sudah duduk di depan penghulu bersama Merapi di sebelahnya.

Gadis itu menunduk, dia tidak siap dengan ini. Namun, hari ini benar-benar terjadi.

Mimpi yang seharusnya indah, entah kenapa menjadi begitu buruk.

Seharusnya, bahagia. Namun nyatanya, Airin tidak merasakan itu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Airin Thalita Utami binti Winata Utami dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah!"

Setelah membaca do'a, Airin mencium punggung tangan Merapi. Pun, Merapi mencium kening Airin setelahnya.

Merapi dan Airin memejamkan mata mereka. Sampai akhirnya, Merapi menjauhkan bibirnya dari kening Airin dan menatap gadis di depannya dengan lekat.

Tangan Merapi di pipi Airin terasa begitu dingin. Sampai akhirnya, Merapi menarik tangannya dan membuang arah pandangnya ke sembarang arah.

Pernikahan ini disaksikan oleh keluarga besar Merapi, sahabat-sahabat Merapi, dan juga keluarga Airin.

"Udah selesai, kan?" tanya Merapi.

Setelah mendapat anggukan, Merapi beranjak. Lelaki itu memilih pergi meninggalkan acara.

Airin dibuat diam mematung.

Tak biasanya Merapi begitu. Dia terlihat tidak bahagia.

Sama seperti Airin.

Airin bisa melihat Sebastian ikut melangkah pergi.

Akhirnya, Airin ikut beranjak dan melangkah menuju keluar. Para saksi pernikahan dibuat tercengang.

Namun, Winata sebisa mungkin melanjutkan acaranya. Dia mempersilahkan mereka untuk makan untuk mengalihkan perhatian mereka.

"Airin."

Airin menoleh, gadis itu mendapati Chiko yang kini menatap ke arahnya. "Kenapa, Rin?"

"Apanya?"

"Kenapa lo milih tetep terusin ini?"

Airin mengedikkan bahunya. "Udah jalannya kayak gini. Ya mau gimana?"

"Lo bisa pergi dari kemarin. Gue udah siap buat ajak lo pergi. Kenapa malah---"

"Bang, gue makasih banget buat itu. Tapi gue gak bisa. Lo gak ngerti, lo gak tau masalahnya apa."

Chiko menghela napas pelan. Lelaki itu lantas bersandar pada tembok dan menatap Airin. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan kasih tau gue ya, Rin?"

"Makasih."

Chiko mengangguk pelan.

"Gue mau nyari Merapi." Airin memilih pergi meninggalkan Chiko sendirian.

Sampai akhirnya, dia sampai di depan kolam berenang.

Di sana, Merapi duduk dengan kaki yang dia masukkan ke sana. Di belakangnya, ada Sebastian yang berdiri dengan kedua tangan yang dia lipat di depan dadanya.

"Merapi," panggil Airin.

Merapi dan Sebastian sontak menoleh. Namun, tak sampai sedetik, Merapi memilih menatap ke arah air kolam dan enggan menatap Airin.

"Pi, gue ke depan, ya." Sebastian pamit seolah paham.

Setelah mengatakan itu, dia menyempatkan diri menepuk pundak Airin dan memilih melangkah pergi.

Airin memilih duduk di samping Merapi tanpa memasukan kakinya ke kolam.

"Udah sembuh?" tanya Airin.

"Udah."

"Kaki lo jangan kebanyakan masuk air, Pi. Lukanya belum kering gue lihat."

"Bukan urusan lo." Merapi beranjak. Cowok itu meraih sepatunya dan memilih pergi meninggalkan Airin sendiri.

Airin heran. Tak biasanya Merapi begini.

Apa hal yang membuat Merapi tiba-tiba menjaga jarak padanya seperti sekarang? Pikir Airin.

Airin menghela napas pelan. Menaikkan rok kebaya itu hingga lutut, kemudian melepas sandal dan memasukkan kakinya ke dalam kolam.

Dia menunduk. "Salah gue sebenernya apa?" gumam Airin.

Gadis itu terkekeh pelan. "Kayaknya, gue lahir juga udah salah, deh."

Merapi tidak benar-benar pergi. Dia berdiri bersandar pada tembok dengan mata yang menatap ke arah Airin.

Cowok itu diam, dadanya terasa sesak. Dia ingin memeluk Airin, ingin membuat gadis itu tersenyum karenanya, lagi. Namun, Merapi takut kembali menyakiti Airin.

Merapi takut tak bisa mengontrol emosinya lagi.

"Setelah pengobatan gue sedikit membuahkan hasil, gue janji bakal bikin lo bahagia, Rin. Maafin gue." Merapi menunduk.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maudi

Airin

Merapi

Reihan

Winata

Sebastian

Spam next di sini

See you!

Jangan lupa follow Instagram official RP :

Merapi.wicaksana

Airin.thalita.utami_

Octaviany_Indah

Jangan lupa baca Merapi versi AU juga ya di akun 2octaviany di Twitter!

*Gangguan bipolar adalah kondisi di mana seseorang mengalami perubahan suasana hati (mood) secara ekstrem, baik berupa peningkatan mood secara intens (disebut episode manik atau hipomanik) maupun penurunan mood secara intens (disebut episode depresif).


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro