Bagian 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kak Merapi, lauknya tambah lagi, dong."

Malam ini, di kediaman keluarga Airin, Merapi duduk di antara mereka.

Acara sudah selesai sejak sore tadi. Semuanya sudah pulang, dan beberapa keluarga besar Airin yang ikut hadir pun sudah pulang.

Begitupun dengan sahabat-sahabat Merapi.

Bahkan, yang paling menyakitkan bagi Airin adalah, ketika semua tamu undangan sudah pergi, Papanya langsung mengurus perihal dana yang dijanjikan oleh Papanya Merapi.

Tepat di depan matanya, Winata menandatangani surat perjanjian itu.

Airin benar-benar merasa dirinya barang. Dijual, dan ditukar dengan uang.

Berkas yang ditandatangani itu seolah-olah adalah kwitansi pembayaran.

Kini, di meja makan, Airin duduk di samping Merapi yang tengah menyantap makan malamnya.

Sejak kejadian di kolam berang tadi, keduanya belum bertegur sapa lagi.

"Ini juga enak loh, Kak." Maudi menyodorkan sepiring kentang goreng pada Merapi.

Merapi menatapnya sekilas. Cowok itu mendengkus pelan. "Makasih," ujarnya seraya membawa sesendok makanan itu dan menyalinnya pada piring makannya.

"Mau tambah nasi?" tanya Airin.

"Gak usah."

Jawaban Merapi, sontak saja membuat Airin diam. Namun, sebisa mungkin, Airin memilih memasang wajah santai seperti biasa dan melanjutkan makan malamnya.

"Rencana mau berapa malam di sini, Pi?" tanya Ranti.

Merapi melirik Ranti sebentar. "Terserah Airin aja."

"Gimana, sih. Airin mah ya ikut apa kata suami, Pi." Winata tertawa seraya menepuk pelan pundak Merapi.

Merapi meringis. Mendengar itu, Airin lantas menatap Papanya spontan. "Bahu Merapi lagi sakit, Pa."

"Eh, benar, Merapi? Maafin---"

"Apaan sih, Rin. Orang gak papa juga." Merapi menjawab cepat.

Airin bisa melihat senyum miring yang diberikan oleh Maudi padanya. Namun, Airin memilih tak memperdulikan itu dan melanjutkan makan malam.

Selama beberapa menit kemudian, Airin selesai. Pun dengan keluarganya yang lain.

Saat Airin hendak membereskan piring kotor, Maudi menyahut. "Tumben, Rin. Biasanya juga enggak pernah."

"Malu sama suami," jawab Airin asal. Mendengar jawaban itu, Merapi sontak menatap ke arah Airin.

Ketika punggung itu menghilang berbelok ke arah dapur bersama piring kotor yang dia bawa, Merapi terdiam.

Dia menunduk menatap tangannya yang kini saling bertaut.

"Tangan Kakak, kenapa?" Maudi menatap tangan Merapi yang sejak sore tadi, setelah bebersih dan berganti baju, sudah terekspos. Namun, Maudi baru memiliki keberanian untuk bertanya.

Merapi memilih beranjak. Cowok itu melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Airin tanpa permisi.

Melihat itu, senyum Maudi luntur. "Sombong banget."

"Gak papa, Maudi. Biar bagaimana pun, keluarganya udah nolong perusahaan Papa." Ranti mengusap pundak Maudi dengan lembut.

Reihan yang sedaritadi diam, memilih turun dari kursi. Kemudian, dia berlari menaiki anak tangga dan menyusul Merapi.

Sesampainya di kamar Airin, Reihan bisa melihat Merapi yang tengah berdiri menatap foto Kakaknya yang terpampang di dinding kamar.

"Abang," panggil Reihan.

Merapi menoleh. "Kenapa?"

"Mama bilang, kalau nikah, berarti pelempuannya bakal diambil sama laki-laki. Belalti, Abang mau bawa kakak dari Lei?"

Mendengar pertanyaan itu, Merapi lantas menghampiri Reihan. Dia berjongkok di depannya dan menatap bocah itu. "Iya."

"Kalau Kakak dibawa sama Abang, belalti Kakak Ndak  akan dipukulin lagi kan, Bang?"

"Dipukulin?" Merapi lantas terdiam mendengar pertanyaan itu.

Reihan mengangguk. "Kakak juga enggak akan dimalahin lagi, kan, Bang? Ndak akan ditampal lagi? Enggak akan nangis sendilian lagi?"

Dipukuli, ditampar, dimarahi, dan menangis sendirian.

Bahkan, Merapi sudah terlalu sering melakukan itu pada Airin.

"Siapa yang suka lakuin itu sama kakak kamu?"

"Papa."

Ya. Tepat sasaran. Merapi memang sudah tau perihal itu.

"Apa sering?"

Reihan mengangguk.

Namun, Merapi tidak tahu jika hal itu terjadi begitu sering. Merapi hanya melihat ketika di restoran saja, kala itu.

Merapi menjatuhkan lututnya ke lantai.

Dia menyakiti Airin, disaat orang tuanya menyakiti Airin juga.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Merapi menyesal, sangat. Seharusnya, Merapi bisa menahan dirinya, seharusnya, Merapi bisa menjadi penguat Airin.

Seharusnya, Merapi tidak menambah luka yang Airin rasakan.

"Abang boleh bawa Kakak. Tapi jangan sakitin Kakak ya, Abang?"

"KALAU GUE BISA, GUE JUGA GAK MAU SAKITIN KAKAK LO, ANJING!"

Reihan tersentak mendengar jawaban Merapi.

Merapi beranjak dan mundur beberapa langkah. Kemudian, dia meremas rambutnya dengan kuat. "Enggak, gue gak akan sakitin Airin lagi. Gak akan, gak mungkin." Merapi berucap lirih.

Dia meraih gelas di atas meja di dekat kasur. Kemudian, dia melemparnya di lantai tepat di depan Reihan.

Prank!

"GUE GAK AKAN SAKITIN KAKAK LO, ENGGAK AKAN!"

Merapi tersinggung dengan ucapan Reihan karena dia merasa. Perasaannya kini mendadak kacau.

Merapi yang awalnya bertekad menjaga jarak terlebih dahulu dengan Airin, kini merasakan gemuruh yang membuatnya kembali takut dan cemas.

"Rei!" Airin masuk ke dalam kamar. Memeluk Reihan dan menatap kaget ke arah Merapi yang kini meringkuk di dekat meja dan juga kasur.

"Rei, gak papa?" tanya Airin.

"Gak papa, kak." Reihan menatap takut pada Merapi yang terus menerus menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

"Rei, kamu keluar, ya." Airin meminta Reihan pergi.

Namun, bocah itu menggeleng. "Ayo pergi, Kak. Kakak jangan ikut Abang."

"Rei...."

"Lei takut Abang sakitin Kakak."

Merapi mendengar itu. Dia mendongak, air matanya jatuh. "Enggak, gue gak mau," ucap Merapi lirih.

"Rei, denger Kakak. Abang enggak akan sakitin Kakak. Dia sayang sama Kakak. Sekarang, Rei keluar terus tidur, ya?"

Reihan terlihat ragu. Sampai akhirnya, dia mengangguk dan memilih pergi meninggalkan Airin seraya berlari.

Airin lantas beranjak. Menghampiri Merapi dan menatapnya cemas. "Merapi?"

"Pergi, Rin!"

"Merapi---"

"Gue bilang pergi, Anjing!" Merapi meraih jam weker di atas meja dan melemparnya dengan asal.

Untungnya, Airin bisa menghindar. Gadis itu menatap jam wekernya yang sudah hancur. Kemudian, dia kembali menatap Merapi.

Airin mendekat ke arah Merapi. Kemudian, dia berjongkok dan mengusap punggung tangan Merapi yang masih berada di rambutnya sendiri.

"Pi, lo kenapa?" tanya Airin.

Merapi menelan salivanya susah payah. Dia mendongak, menatap Airin dengan mata yang sudah memerah.

"Gue gak nyakitin lo, kan?" tanya Merapi.

"Gue nyakitin lo lagi?" Merapi merubah pertanyaannya.

Airin menggeleng. Tanpa di duga, Merapi langsung memeluk Airin.

Badannya bergetar takut. Keringat dingin membasahi dahinya. Airin bisa merasakan ketakutan itu.

"Merapi, lo kenapa?"

"Gue gak nyakitin lo, kan?" Merapi kembali bertanya cemas.

"Enggak, Pi." Airin sedikit meringis karena pinggulnya ditekan oleh Merapi karena pelukan yang terlalu kuat.

"Jangan nangis." Airin mendorong pelan pundak Merapi dan mengusap pipi lelaki itu dengan pelan.

Airin terlihat cuek. Namun, Merapi bisa merasakan bahwa kasih sayang yang Airin berikan selalu terasa begitu tulus.

Merapi menyayangi Airin, dan Merapi berharap, Airin juga sama.

Namun, Merapi malah merasa takut. Takut rasa sayang itu tak lagi ada dan menghilang.

Merapi juga takut, ketulusan ini, suatu hari nanti tak lagi menemaninya.

Siapa lagi jika bukan Airin? Siapa lagi yang akan mengusap air matanya jika bukan Airin?

Merapi hanya ingin Airin. Bukan orang lain.

Merapi ingin menjadi kebahagiaan Airin, bukan menjadi racun. Namun kenyataannya, justru malah sebaliknya.

"Lo gak akan ninggalin gue, kan?" Merapi menghentikan pergerakan tangan Airin dan menatap kedua bola mata itu.

Tangan Merapi terasa begitu dingin. Airin diam. Dia sudah terikat, bagaimana cara dia pergi? Begitu pikir Airin.

Jika ada kesempatan, tentu saja Airin ingin. Masih banyak mimpi yang belum Airin capai. Masih banyak keinginan yang belum Airin jalankan.

Berada di jalan sekarang bukanlah keinginannya. Namun, Airin juga tidak bisa menolak. Ini demi Papanya dan juga Reihan.

"Rin ..."

"Gimana cara gue pergi kalau gue sama lo udah terikat?"

Merapi diam. Dia menunduk, meremas punggung tangan Airin dan kembali menangis. "Maaf."

"Buat apa?"

"Semuanya."

"Gak papa. Lo gak salah."

Merapi menggeleng. "Gue mau lo bahagia."

Udah enggak ada kebahagiaan buat gue, Pi. Airin menjawab dalam hati.

"Sama gue." Merapi melanjutkan ucapannya.

"Tapi gue gak tau caranya. Semakin gue ingin, semakin banyak hal yang enggak pernah terduga terjadi. Gue jahat, ya?"

Airin mengusap puncak kepala Merapi dengan lembut. Dia tertawa pelan. "Jangan cengeng. Lo cowok."

Setelah mengatakan itu, Airin memilih beranjak dan berjalan meninggalkan Merapi.

Merapi diam. Mengusap Air matanya dengan pelan. "Gue gila, Rin. Orang gila kayak gue enggak pantes ada di sisi lo," ucap Merapi lirih.

"Tapi, orang gila ini enggak tahu diri. Dia mau lo ada di samping dia seterusnya. Orang gila ini pengen sembuh, pengen buat lo bahagia. Pengen lihat lo senyum karena dia."

Selang beberapa saat kemudian, Airin kembali dengan segelas air yang dia bawa. Gadis itu memberikannya pada Merapi. "Minum."

Merapi menerimanya. Kemudian, matanya menatap Airin yang mulai memunguti pecahan gelas yang sempat Merapi lemparkan tadi.

"Maaf, Rin."

"Besok-besok, jendela lo pecahin sekalian," kata Airin.

Merapi menyimpan gelas minumnya ke atas meja. Kemudian, dia beranjak dan menghampiri Airin. "Biar gue aja yang beresin."

"Gak usah. Lo tidur aja, sana."

Merapi menurut. Dia membawa bantal dan berjalan ke arah sofa. Kemudian, dia merebahkan dirinya di sana.

"Kenapa di sofa?" tanya Airin heran.

"Gue gak mau tidur sama lo."

Setelah mengatakan itu, Merapi memunggungi Airin dan meringkuk di atas sofa. “Belum satu hari kita sah jadi suami Istri, dan gue hampir sakitin lo lagi, Rin,” ujar Merapi dalam hati.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Maudi

Reihan

Winata

Spam next kuy!

Follow Instagram RP :

Merapi.wicaksana

Airin.thalita.utami_

Octaviany_Indah

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro