Bagian 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika mereka salah, namun enggan mengakui kesalahannya, hal yang akan dilakukan adalah marah.


•••

Pagi hari sekali, Airin sudah siap dengan seragam sekolahnya. Gadis itu menatap ke arah Merapi yang masih setia tertidur di sofa.

Kakinya melangkah mendekat. Kemudian, tangannya terulur menepuk pipi Merapi dengan pelan. "Pi, udah pagi."

Merapi membuka matanya. Cowok menepis pelan tangan Airin. Setelahnya, dia mengucek matanya dan memilih duduk.

"Gue gak tau di bawah masak apa. Tapi kalau lo lapar, lo ke dapur aja. Gue mau berangkat sekolah."

"Punggung lo udah sembuh?" tanya Merapi.

Airin mengangguk.

Sejujurnya, seluruh tubuhnya masih terasa ngilu. Luka yang berada di punggung dan juga lengan belum terlalu kering. Namun, Airin sudah terlalu sering bolos sekolah akhir-akhir ini.

Selain itu, Airin juga malas berada di rumah ini.

"Yaudah."

Airin hendak meraih tasnya. Namun, suara Merapi membuat pergerakannya terhenti.

"Pulang sekolah, langsung pulang. Kita pindah ke rumah gue hari ini."

"Oke. Ada lagi?"

Merapi diam beberapa saat. Cowok itu menggeleng.

Akhirnya, Airin memilih mengambil tas dan berjalan menuju pintu kamar.

"Gak sarapan?" tanya Merapi akhirnya.

Airin menoleh, gadis itu menatap Merapi dan juga jam di tangannya secara bergantian. "Gue bisa sarapan di sekolah."

"Bener?"

"Iya."

"Yaudah."

Airin menutup pintu kamarnya dan memilih melangkah pergi meninggalkan Merapi.

Baru saja sampai di anak tangga, Airin malah bertemu dengan Maudi yang sudah siap dengan seragam yang sama dengan Airin.

"Suami lo mana?"

"Kenapa? Mau caper?" tanya Airin.

Maudi memicingkan matanya tak suka. "Cih, caper? Ngapain gue caper sama dia?"

"Ya, ya, terserah kanjeng ratu aja." Airin memilih melanjutkan langkahnya.

Lagi-lagi, dia dibuat kesal karena ketika sampai di anak tangga terakhir, dia malah bertemu dengan Winata.

"Merapi mana?"

"Di atas." Airin menjawab dengan malas.

Ketika Airin hendak melewati Winata, lengannya di tarik hingga membuat langkah Airin kembali berhenti. "Kenapa, Pa?" tanya Airin.

"Naik lagi. Panggil. Ajak sarapan. Istri macam apa kamu?"

"Merapi baru bangun."

"Terus, sekarang kamu mau ke mana?"

"Sekolah, Pa. Papa gak lihat Airin pakai seragam?" Airin menatap wajah Papanya dengan berani.

Winata memicingkan matanya. "Berani kamu tatap orang tua kayak gitu?"

"Salah mulu."

"Jangan kurang ajar, Airin."

"Rin, please, deh. Masih pagi. Jangan bikin masalah, kasihan Papa. Papa pasti masih capek kemarin udah urusin acara lo sama Kak Merapi." Maudi menyahut. Gadis itu melangkah dari anak tangga atas dan kini berdiri di sampingnya.

Airin menoleh. Gadis itu berdecih pelan. "Capek sekaligus bahagia sih. Soalnya, kemarin Papa baru dapet uang hasil dari ngejual Airin. Iyakan?"

Plak!

Airin memejamkan matanya kala tamparan itu mendarat tepat di pipinya.

Gadis itu kembali menatap Papanya dan tertawa. "Kenapa, Pa? Omongan Airin bener, ya?"

"Rin, udah, deh."

"Iya, Maudi. Bentaran lagi, sabar, ya. Setelah gue pergi dari rumah ini sama suami gue, lo udah bisa tuh nikmatin harta dari hasil ngejual gue."

Plak!

Tamparan kali ini diberikan oleh Maudi. Airin diam, gadis itu mengepalkan tangannya di sisi jahitan.

"RIN, SELAMA INI GUE DIEM AJA YA LO TERUS-MENERUS HINA GUE!"

"Lo selalu nuduh seolah-olah gue sama Nyokap ada di sini karena harta Papalah, gak tahu diri, lah. Lo juga selalu bersikap seolah-olah gue itu pengen lo pergi dari rumah ini. Sekalipun, gue gak pernah berpikiran kayak gitu. Lo pikir, gue gak sakit hati sama omongan lo?"

Airin berdecih. Bahkan, ucapan Ranti perihal Airin yang katanya hanyalah orang yang membuat rumah ini runyam, dan segala macamnya, lebih menyakiti Airin.

Drama apalagi yang sebenarnya akan Maudi mainkan di depan Papanya? Kenapa dia bersikap seolah-olah dia paling tersakiti di sini?

"Airin? Benar kamu bilang kayak gitu sama Maudi?"

"Ya, bener." Airin tersenyum. Dia melirik ke arah Maudi.

Namun, hal yang terjadi selanjutnya adalah, rambut Airin yang dikucir, kini ditarik paksa oleh Papanya. "Kurang ajar! Dasar anak kurang ajar!"

"Kenyataannya gitu, kok, Pa. Kenapa Papa gak terima?" tanya Airin seraya meringis.

"Istri saya, enggak sama kayak keluarga Mama kamu! Bahkan, keluarga Mama kamu jauh lebih enggak tahu diri dibanding Istri saya dan Maudi!"

"Oh, lebih enggak tahu diri. Secara gak langsung, Papa mengakui kalau Istri Papa sama Maudi gak tahu diri, dong?" Airin menatap Winata dengan berani.

Napas Winata naik turun. Dia marah, dia benar-benar marah. Dengan ringannya, tangan itu kembali mendarat di pipi Airin.

Airin tidak bisa menyeimbangkan badannya. Kemudian, gadis itu terjatuh ke lantai dan meringis kala punggungnya menabrak sisian lemari.

"Pa, udah!" Maudi menahan Winata. Namun, Winata enggan berhenti.

Dia berjongkok di depan Airin dan kembali menarik rambut itu. "Mau Papa kasih tau siapa yang enggak tahu diri di sini, Rin?"

Airin menatap Winata dengan mata yang memanas. Luka di punggung yang belum mengering terasa semakin perih. Ditambah bekas tamparan sebanyak tiga kali dan juga tarikan di rambutnya menambah rasa sakit dalam diri Airin.

Namun, luka di hatinya jauh lebih parah dibanding ini.

"Kamu."

"Kamu yang lebih gak tahu diri dibanding siapapun," lanjut Winata.

Air mata Airin langsung menetes. Walaupun raut wajahnya masih terlihat berani, air mata itu membasahi pipinya tanpa diminta.

"Sejujurnya, Papa gak mau urus kamu. Lihat kamu di sini, membuat Papa ingat sama apa yang dilakukan oleh keluarga Mama kamu terhadap Papa. Di dalam darah kamu, mengalir darah mereka! Papa benci itu, Airin!"

Airin mengangguk. "Ya, Papa selalu benci Airin. Airin tau."

"Tapi asal Papa tau, sekalipun, Airin gak pernah benci sama Papa. Bahkan, ketika Airin lihat dengan mata kepala Airin sendiri waktu Papa pukulin Mama! Waktu kalian berantem di depan Airin, waktu kalian saling teriak, waktu Papa main sama banyak perempuan, waktu Papa pukul Airin untuk pertama kalinya, dan waktu Papa lebih sayang sama keluarga baru Papa di banding Airin!"

Tarikan Winata mengendur. Dia menatap Airin yang masih setia memasang wajah berani walau Air matanya sudah membasahi pipinya.

"Airin makasih banget sama Papa. Makasih karena Papa Masih mau biarin Airin tinggal di sini. Makasih banget Papa enggak ninggalin Airin kayak Mama."

"Maaf kalau kehadiran Airin di rumah ini cuman bikin runyam."

"Maaf---"

Plak!

Airin lagi dan lagi tertawa kala tamparan kembali mendarat di pipinya. "Salah lagi, ya?" tanya Airin.

"Berhenti bicara omong kosong! Sebanyak apapun yang kamu bicarakan, Papa enggak akan pernah lihat sisi baik kamu, Airin."

Airin mengangguk. Ya, Airin paham sekarang. Papanya membenci Airin karena masa lalunya dengan keluarga Mama kandung Airin.

Dia melampiaskan semuanya pada Airin. Tapi, apa salah Airin? Kenapa harus dirinya?

Bahkan, kala itu, Airin masih terlalu kecil untuk mengerti.

Kenapa rasanya tidak adil?

"Kayaknya, kalau Airin mati hari ini pun, Papa enggak akan pernah peduli, ya?"

Winata hendak meraih rambut Airin lagi. Namun, bajunya ditarik hingga dia terlempar menjauh dari Airin.

"Anjing!"

BUGH!

"Kak Merapi!" Maudi panik ketika Merapi tiba-tiba berlari dari anak tangga atas dan menarik Winata seperti sekarang.

Bahkan, tak melihat siapa yang dia hadapi, Merapi memukulnya tanpa ampun.

Padahal, tubuh Merapi masih memiliki luka yang belum terlalu kering. Namun, luka itu seolah tak dia rasakan ketika melayangkan pukulan pada Winata.

"Merapi." Airin berusaha berdiri. Gadis itu berjalan tertatih ke arah Merapi dan berusaha menarik bahunya.

Namun, Merapi menepis tangan itu dan membuat Airin kembali terjatuh karena tubuhnya yang tak seimbang.

"MERAPI, BERHENTI! DIA BOKAP GUE, ANJING!" Airin berteriak.

Winata sudah babak belur. Bahkan, dia tak mampu menghindari Merapi yang sampai saat ini enggan untuk berhenti.

"MERAPI, PLEASE!" Airin kembali berdiri. Gadis itu menahan tubuh Merapi dan memeluknya dari belakang.

Merapi berhenti. Cowok itu terdiam kala merasakan tangan mungil itu bergetar.

"Dia Bokap gue, Pi." Airin berkata dengan pelan.

Maudi menghela napas pelan melihat Merapi yang akhirnya berhenti.

Tak lama kemudian, Ranti datang bersama Reihan yang berada di gendongannya.

Merapi mundur selangkah. Kemudian, di merangkul Airin dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

Tangannya mengusap bahu Airin dengan pelan. Namun, matanya menyorot tajam pada Winata.

"PAPA!" Maudi berlari ke arah Winata ketika pria paruh baya itu tak sadarkan diri.

Dia memejamkan matanya setelah terbatuk beberapa kali.

Airin diam. Gadis itu hendak membantu Maudi. Namun, Merapi mempererat pelukannya seolah mengatakan dia melarang Airin untuk membantu Winata.

"Merapi."

"Ayo kita pulang." Merapi menarik Airin untuk menaiki anak tangga.

Namun, tanpa di duga, sebuah tamparan yang berasal dari Ranti kini mendarat tepat di pipi Merapi.

"Kamu pikir, kamu pantas lakuin itu? Apa kamu gak pernah diajarkan sopan santun sama keluarga kamu, hah?!"

Merapi tersinggung. Cowok itu menatap Ranti dan mengepalkan tangannya. "Gak usah bawa-bawa orang tua gue!"

"Ah, gak pernah? Kenapa? Orang tua kamu lebih sering cari uang dibanding urus attitude anaknya?"

"Anjing!"

"Merapi, udah!" Airin menahan Merapi. Namun, Merapi malah mendorong Airin dan mencekik leher Ranti.

Reihan yang sudah diturunkan sedaritadi, langsung berlari ke arah Airin yang kini terjatuh di lantai akibat dorongan kencang dari Merapi.

"KAKAK!"

"MERAPI, BERHENTI!" Airin berdiri. Gadis itu berusaha berdiri.

Ranti hampir kehilangan napasnya karena cekikan Merapi yang tak kunjung mengendur.

"ABANG, LEPASIN MAMA!"

"Rei, diem." Airin menahan Reihan. Dia takut Reihan terkena sasaran Merapi juga.

"KALAU LO GAK MAU LEPASIN DIA, GUE BAKAL BENCI SAMA LO SEUMUR HIDUP, PI!"

Teriakan Airin berhasil membuat Merapi melepaskan itu. Namun Merapi tiba-tiba diam, dia menjatuhkan dirinya pada anak tangga dan meremas rambutnya.

Cowok itu menggeleng kuat. "Gak, gak mungkin," ucapnya pelan.

Ranti yang terlepas langsung mundur, dia memegang lehernya yang terasa begitu perih.

"Maudi, bawa Papa ke rumah sakit!" teriak Airin.

Maudi yang sibuk di situ-situ saja, langsung menoleh pada Airin. Dia langsung meraih ponselnya.

"Rei, Rei ajak Mama ke kamar, ya?" Airin mengusap pelan rambut Reihan.

Reihan menggeleng. "Terus, Kakak?"

"Rei, nurut kata Kakak."

Reihan akhirnya mengangguk. Pria kecil itu langsung menghampiri Ranti dan mengajaknya ke kamar.

Sedangkan Airin, gadis itu langsung menghampiri Merapi.

Merapi menatap kosong ke arah lantai dengan tangan yang masih meremas rambutnya sendiri.

"Merapi---"

"Airin, lo gak boleh benci sama gue." Merapi mengatakan itu dengan lirih.

Sampai akhirnya, Merapi menatap Airin. Dia memeluk perut Airin dengan tangan yang gemetar.

"SUAMI LO---"

Airin menoleh pada Maudi.

"---GILA, AIRIN!"

TBC

Ngerii

Kesan setelah baca part ini?

Buat yang mau lihat trailer Merapi, bisa cek di tiktok Wattpad.oncom ya! Ada di postingan paling baruu

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin dan Merapi?

Jangan lupa follow Instagram :

Merapi.wicaksana
Airin.thalita.utami_
Octaviany_Indah

Spam next di sini!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro