Bagian 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Istirahat, Rin." Sebastian menepuk puncak kepala Airin dengan pelan.

Setelah kejadian di mana Merapi mendorong Airin lagi, Merapi langsung menghubungi Sebastian dan memintanya kemari.

Awalnya Sebastian menolak. Namun, mendengar nada suara Merapi yang begitu cemas, mau tak mau dia berangkat kemari dan berakhir berada di sini.

Saat Sebastian datang, sudah ada seorang Dokter wanita yang mengobati luka Airin. Dia juga berpesan pada Sebastian agar Airin memiliki waktu istirahat yang cukup.

Dokter juga bilang, luka di punggung dan seluruh tubuh Airin tidak sedikit. Terutama dibagian punggung.

Dokter itu sudah pulang. Sedangkan Merapi, tengah merenung di kamar bawah sendirian.

Karena, ketika Sebastian datang dan melewati kamar itu Merapi langsung memintanya menemani Airin yang tengah di periksa di kamar atas.

"Bang." Airin memanggil Sebastian kala lelaki itu menaikkan selimut hingga leher Airin.

"Kenapa?"

"Lo pernah bilang, Dokter yang pernah periksa Merapi, ngasih saran buat bawa dia ke Psikiater. Gue rasa Merapi emang harus ke sana."

Sebastian lantas menjauhkan tangannya. Dia bingung harus menjawab apa.

Pasalnya, Merapi sudah ke sana. Namun, Merapi melarang Sebastian untuk memberitahukan perihal apa yang dialami Merapi.

"Lo kan tau, gue udah minta. Tapi dia gak mau." Sebastian berusaha mengelak.

Airin membuang arah pandangnya ke sembarang arah. "Gue rasa, Merapi sakit. Kalau dia kayak gitu terus, keadaan dia bakal makin parah. Bukan cuman orang lain yang bakal dia sakitin, dirinya sendiri juga."

"Dia marah tiba-tiba. Dia juga tiba-tiba nyesel," sambung Airin.

"Gak sekali dua kali. Tapi sering. Gue enggak tau ini cuman perasaan gue aja atau bukan, tapi ... Gue rasa, Merapi emang butuh itu."

Sebastian diam. Cowok itu lantas menarik kursi dan memilih duduk di samping tempat tidur. "Merapi kasar sama lo?" tanya Sebastian.

"Sedikit."

"Apa yang sebenernya terjadi?"

"Gue yang salah. Dia ngerasa kalau dia ditolak sama gue."

Sebastian menghela napasnya dengan pelan. "Airin, boleh gue kasih saran?"

"Apa?"

"Buat sekarang, tolong jangan bantah apapun dan jangan bicara yang bikin Merapi tersinggung. Demi diri lo sendiri."

Airin lantas menatap Sebastian. Dia tertawa pelan. "Lo tau sesuatu?"

"Enggak. Ah, gue harus temuin Merapi di bawah. Gak enak juga berduaan di kamar sama istri orang. Cepet sembuh, kalau butuh apa-apa, gue di bawah." Sebastian beranjak. Cowok itu menepuk puncak kepala Airin beberapa kali dan memilih pergi.

Selepas kepergian Sebastian, Airin menghela napas dan memejamkan matanya seraya mendongak. "Gue capek."

Di lain tempat, Sebastian membuka pintu kamar bawah dengan pelan. Hal pertama yang dia lihat adalah, Merapi yang tengah duduk di atas tempat tidur dengan lampu yang sengaja dimatikan.

Dia menunduk, menangis, dan memeluk lututnya sendiri.

"Gue gak bisa tahan diri gue, Bas."

"Gue sakitin dia lagi. Harusnya gue jauhan sama dia buat sementara waktu kayak rencana awal." Merapi berkata ketika dia menyadari Sebastian masuk ke dalam kamar.

Sebastian lantas menyalakan lampunya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Merapi. "Kenapa bisa?"

"Tasya."

"Tasya?"

"Dia dateng. Gue takut Airin marah, gue takut Airin ninggalin gue kayak nyokap." Merapi masih bertahan pada posisinya.

"Dia enggak mau maafin gue, Bas. Gue tarik rambut dia. Gue ... Gue bener-bener jahat sama Airin."

Sebastian menghela napas pelan. "Mau sampai kapan lo anggap Airin itu pengganti nyokap lo, Pi?"

Merapi mendongak. Dia menatap Sebastian.

"Dia Airin, dia sayang sama lo dengan cara dia sendiri. Dia bukan pengganti nyokap lo. Kalau lo terus berpikir kayak gitu, lo bakal terus inget gimana nyokap lo ninggalin lo. Selain itu, lo juga bisa sakitin Airin kapan aja kalau pikiran lo masih kayak gini."

Merapi diam. Benar, selama ini ... Dia menganggap Airin sebagai pengganti Mamanya. Dia menginginkan Airin karena dia bisa merasakan ketulusan itu dari dalam diri Airin.

Namun, ada hal yang Merapi lupakan. Mamanya, pergi.

Jika Merapi masih bertahan dengan pemikiran itu, yang ada dipikirannya setiap kali Airin melakukan kesalahan adalah ... Pergi.

Berakhir dia melakukan hal kasar untuk mempertahankan Airin.

"Lo cinta sama Airin?"

"Ya."

"Yakin?"

"Atas dasar apa lo nanya kayak gitu, brengsek?!" Merapi menarik kerah Sebastian dan menatapnya marah.

Sebastian menepis tangan Merapi. "Gue cuman nanya."

Merapi mengepalkan tangannya. Dia marah karena Sebastian benar. Dia ingin menyangkal namun kenyataannya memang begitu.

"Pi, gue tau lo masih tenggelam sama masa lalu. Gue juga tau dari dulu, lo emang tempramen. Tapi, jujur, awal kelas 12 untuk pertama kalinya lo ketemu Airin, lo sedikit demi sedikit mulai berubah. Jujur gue seneng lihat lo bisa seceria itu. Lo juga enggak pernah absen ceritain soal doi dan terus bilang kalau lo mau kejar dia sampai dapet." Sebastian menepuk pundak Merapi beberapa kali.

"Terus, beberapa bulan lalu, lo berhasil pacaran sama dia. Kebahagian lo sama dia bertahan. Sampai hari di mana Larissa balik, lo berubah jadi Merapi yang dulu. Tempramen, kasar. Enggak sekali dua kali lo marah-marah gak jelas waktu ngumpul."

"Sekarang, Larissa bukan tanggung jawab lo lagi. Dia bukan hamil anak lo."

"Terus, kalau aja lo bisa simpen masa lalu lo itu tanpa melibatkan masa sekarang, berusaha sembuh dari bipolar lo, dan kontrol emosi lo, gue yakin lo bisa dapetin kebahagiaan itu lagi sama Airin. Emang lo gak mau?"

Merapi menunduk. Benar, dulu, dia mengejar Airin, suasana hatinya perlahan berubah kala itu. Merapi juga bisa meninggalkan kebiasaan buruknya demi mengajak Airin jalan-jalan.

Dia juga ingat saat akan membayar uang makan mereka, namun Airin menolak dan memilih membayar sendiri-sendiri. Itu membuat Merapi senang.

Bukan karena dia pelit. Tapi, pemikiran Merapi soal wanita adalah ... Mereka hanya menginginkan uangnya. Sama seperti Mamanya yang memilih bersama pria yang lebih kaya dari Papanya. Dan sama seperti wanita-wanita malam yang sering Papanya bayar.

"Lo pasti bisa sembuh. Gue bakal temenin lo."

"Kalau gue gak sembuh? Apa artinya gue harus lepas Airin?"

"Lo mau lepas dia?"

"Kalau gue enggak bisa sembuh, gak bisa kesampingkan masa lalu gue soal nyokap, dan gak bisa kontrol emosi gue ... Airin enggak akan pernah bahagia." Merapi memejamkan matanya.

Dia sadar akan hal itu sejak lama. Namun, dia memilih egois dan menahan Airin karena merasa ... Hanya dia satu-satunya wanita yang mengerti Merapi.

Namun, Sebastian benar. Airin, Merapi pertahankan karena dia masih menganggap Airin adalah pengganti Ibunya. Pengganti kasih sayang yang hilang, dan tak ingin itu menghilang lagi.

"Kalau gitu, lo harus sembuh."

"Gue gak yakin."

"Lo mau kehilangan Airin?"

Merapi menggeleng. "Cuman gue yang boleh sama dia."

Sebastian menghela napas lega. Tak sia-sia dia berbicara panjang sampai tenggorokannya hampir kering.

Ternyata, Airin memang berpengaruh sebesar itu bagi Merapi.

"Buat sekarang, gue bakal sedikit jaga jarak sama Airin kayak rencana awal." Merapi menghela napas pelan.

"Bas."

"Apa?"

"Bisa tinggal di sini sementara?"

Sebastian menggaruk tengkuknya. Melihat tatapan Merapi yang berubah tajam, Sebastian lantas tertawa dan mengangguk. "Oke, oke. Tapi gue gak janji bakal di sini tiap hari. Yakali, lo kira gue anak perawan apa?"

"Terserah."

Merapi menatap ke arah tembok. Trauma masa lalu, membuatnya menjadi pribadi yang sangat buruk. Merapi ingin menghilangkan itu, namun sulit.

Mengapa begitu sulit untuknya membuat Airin bahagia? Padahal, awal mereka jadian dulu ... Airin masih bisa tersenyum karenanya.

"Gimana keadaan Airin?"

"Dia istirahat."

"Gue pengen lihat dia. Tapi gue takut sakitin dia lagi." Merapi mengepalkan tangannya.

"Airin kasih saran sama gue buat bawa lo ke psikiater. Dia bilang, dia ngerasa kalau lo emang lagi sakit. Dia peduli sama lo, Pi."

Merapi diam. Bahkan, di saat dia sudah menyakiti fisik dan hatinya, Airin masih memikirkan keadaan Merapi.

Merapi benar-benar merasa gagal menjaga Airin. Dia benar-benar merasa pengecut mengingkari janjinya.

Sepertinya, nama Merapi tidak cocok untuknya. Karena seharusnya, “Merapi tak pernah ingkar janji”.

"Lo yakin gak mau kasih tau sama Airin soal ini? Terus, apa lo pernah cerita mendalam soal masa lalu yang bikin lo jadi kayak gini?"

Merapi menggeleng. "Airin cuman tau gue pernah masuk pergaulan gak bener. Gue gak pernah cerita soal keluarga gue."

"Kenapa---"

"Dan, jangan kasih tau sama Airin soal apa yang gue alami sekarang. Beban dia udah banyak, gue juga takut dia jijik sama gue kalau tau suaminya orang gila."

"Lo gak gila, brengsek." Sebastian mendengkus kesal ketika Merapi lagi-lagi berbicara begitu.

Pikiran Merapi sedikit terbuka setelah Sebastian berbicara. Namun, kini ada hal yang dia pertimbangkan dalam dirinya soal hubungannya dengan Airin.

Jika Merapi berhasil, Merapi janji akan membuat Airin bahagia. Dan jika Merapi tidak bisa sembuh dan tetap begini-begini saja ...

Hal terburuknya adalah, mau tak mau, Merapi akan melepaskan Airin.

TBC

Double up nihhh

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Merapi

Sebastian

Airin

Spam next yuk!

Jangan lupa follow Instagram

merapi.wicaksana
Airin.thalita.utami_
Octaviany_indah

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro