Bagian 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Merapi. Lelaki itu menatap ke arah Arif yang saat ini berdiri tepat di depannya.

"Papa paham kamu benci sama Papa. Tapi itu bukan berarti kamu bisa sakitin orang lain yang enggak bersalah seenaknya!"

Setelah Airin bangun dari tidurnya, Gadis itu meminta Merapi untuk segera menemui Arif. Sedangkan Airin, dia memilih berangkat ke rumah sakit untuk mengecek kondisi Papanya.

Padahal, Merapi sudah melarang. Namun, Airin tetap bersikeras untuk pergi ke rumah sakit.

Mau tak mau, Merapi akhirnya mengizinkan Airin karena Merapi kembali ditelpon oleh Papanya.

Di sinilah dia sekarang, di ruang tamu ditemani dengan sorot tajam yang berasal dari Papanya.

"Kenapa? Dia ngadu?"

"Ngadu? Wajar Maudi kasih tau Papa soal keadaan Papanya yang masuk rumah sakit karena ulah kamu!"

Merapi mengangguk. "Iya, Merapi yang buat dia masuk ke sana. Kenapa? Mau tampar Merapi lagi?"

"Salah dia apa, Merapi?"

"Salah dia? Gak tau diri."

Plak!

Lagi-lagi tamparan itu mendarat tepat di pipi Merapi.

Merapi mengepalkan tangannya. Dadanya naik turun bersamaan dengan napas kasar yang keluar.

"Jangan kurang ajar, Merapi. Dia lebih tua dari kamu."

"MAU DIA LEBIH TUA DARI MERAPI SEKALIPUN, KALAU DIA SAKITIN AIRIN, MERAPI SANGGUP BUAT BUNUH DI DEPAN KELUARGANYA!" Merapi menepis tangan Arif dan hampir memberikan bogeman mentah.

Namun, Arif berhasil menahannya dengan raut wajah yang ketara jelas terkejut karena teriakan tiba-tiba itu.

"Argh!" Merapi berhasil terlepas.

Dia memilih menendang meja dengan keras hingga barang yang berada di atasnya berjatuhan.

Setelah itu, dia memilih masuk kamar tanpa memperdulikan Arif.

"Merapi! Ikut Papa sekarang! Kamu harus minta maaf!"

"GAK SUDI!"

BRAK!

Pintu di tutup dengan kerasnya.  Arif menghela napas pelan.

Lantas, dia memilih meraih ponselnya dan meminta alamat rumah sakit pada Maudi.

Urusan Merapi, biar dia urus nanti. Arif akan membuat Merapi meminta maaf pada besannya.

Salah ataupun tidak, kekerasan tidak dapat dibenarkan. Begitu pikirnya.

Arif tahu dia bukan orang baik, tapi, apa salahnya dia mencoba menjadi orang baik dan berjalan di jalan yang lebih benar?

Dia hanya tidak ingin menjadi Papa yang memberi contoh buruk untuk Merapi. Arif ingin memperbaiki semuanya.

Walaupun Arif sadar, menampar Merapi tetaplah kesalahan. Tak seharusnya dia memberitahu putranya dengan cara seperti itu.

•••

Airin turun dari dalam taksi. Setelah membayar, dia memilih melangkah memasuki rumah milik Merapi dengan langkah pelan.

Dia sudah menengok Papanya. Tapi, Airin tidak masuk ke dalam.

Dia hanya memastikan apakah Papanya baik-baik saja? Dan ternyata, dia tidak apa-apa. Dia juga sudah sadar, akhirnya, Airin memutuskan untuk pulang.

Baru saja Airin masuk, dia dikejutkan dengan barang berserakan di ruang tamu.

Makanan yang biasa terpajang di atas meja, kini berhamburan di lantai.

"Gue yang bikin kacau. Nanti gue beresin."

Airin mendongak. Merapi melangkah mendekat ke arahnya dengan segelas air putih dingin yang berada di tangannya.

"Kenapa sebentar? Bokap gue baru aja pergi. Kayaknya dia nengok Bokap lo." Merapi memberikan gelas itu pada Airin.

Airin menerimanya. Ketika dia minum, Merapi menatapnya lekat seraya merapikan rambut Airin dengan lembut.

"Papa gak papa."

Merapi mengambil alih gelas yang tinggal terisi setengah itu dan menyimpannya di atas meja kecil.

Setelahnya, tangan Merapi terulur mencubit pipi Airin dengan gemas. "Lo belum makan. Mau makan di luar?" tanya Merapi.

Airin menggeleng. "Gak usah."

"Oke, di luar. Ayo."

"Pi, lo belum sehat." Airin menahan tangan Merapi.

Cowok itu mengerutkan alisnya. Dia mendengkus kesal. "Gak mau banget lo jalan sama gue?"

"Gue gak mau tanggung jawab kalau lo kenapa-kenapa di jalan. Lo berat, gue gak sekuat itu buat gotong lo. Gak usah cari penyakit."

Merapi mendelik. Cowok itu lantas melepaskan cengkalan tangannya dan memilih melangkah menuju ruang televisi dan duduk di sana.

"Gue lagi berusaha bikin lo seneng. Tapi lo gak mau." Merapi menyalakan televisi.

Tangannya terlihat jelas mencengkram remote itu dengan sorot mata yang menahan kesal.

Airin lantas menyimpan tasnya dan melangkah menuju dapur.

Melihat itu, Merapi rasanya ingin melempar remot di genggamannya sampai hancur.

Namun, dia sudah berjanji pada dirinya untuk berusaha menahan diri di depan Airin.

Bahkan, emosi pada Papanya belum sepenuhnya hilang. Dia masih kesal, dan sekarang ... Dia merasa tersinggung karena Airin menolaknya.

Airin kembali dengan beberapa minuman dan makanan ringan di tangannya.

Gadis itu menyimpannya di atas meja, kemudian duduk di antara kedua paha Merapi.

Dia bersandar pada dada Merapi seraya membuka salah satu cemilan.

Merapi yang awalnya mati-matian menahan marah, tiba-tiba terdiam.

Bibirnya perlahan membentuk senyuman kala merasakan punggung hangat Airin yang kini menempel di dadanya.

"Kalau gini, sih, gak jadi ke luar gak papa." Merapi berbisik tepat di samping telinga Airin.

Airin menoleh, gadis itu tersenyum tipis dan memilih kembali menatap televisi.

Dia tidak tahu ini salah atau tidak. Yang jelas, untuk kali ini, Airin ingin beristirahat dari rasa sakit.

Lagipula, mau ditepis sekuat apapun, Merapi adalah suaminya sekarang. Sejujurnya, Airin belum bisa menerima. Tapi, mau tak mau, Airin harus bisa menerima ini.

Tangan Merapi melingkar hingga perut Airin. Dia menjatuhkan dagunya di bahu Airin.

"Sakit!" Airin meringis kala Merapi terlalu kuat memeluknya.

Sontak, Merapi mengendurkan pelukan itu. "Kenapa? Apa yang sakit?"

"Punggung gue. Jangan terlalu kuat."

"Maaf." Merapi akhirnya memilih lebih berhati-hati.

Airin mencoba mencari posisi nyaman. Setelah merasakannya, dia memakan cemilan dan sesekali memberikannya pada Merapi.

"Airin."

"Iya?"

"Gue sayang banget sama lo." Merapi menyandarkan pipinya pada bahu Airin.

Airin diam. Enggan menjawab dan memilih membalasnya dengan senyum.

Kapan terakhir kali Airin dan Merapi sedamai ini?

Ternyata, momen ini masih menjadi momen ternyaman bagi Merapi. Dia ingin berada di samping Airin seterusnya.

Memeluknya, dan menjaganya.

Apakah Merapi bisa?

Apakah lambat laun, Merapi bisa mengontrol emosinya?

Merapi tidak begitu yakin. Tapi dia akan berusaha. Dia akan mempertahankan ini, dan dia akan menjadi satu-satunya pria yang memiliki Airin.

"Jangan makan cemilan terus. Lo belum makan dari siang." Merapi mengusap lengan Airin dengan lembut.

"Iya, nanti."

"Kapan? Mau gue masakin, gak?" Tangan besar Merapi naik mengusap lembut pipi Airin dan membersihkan sisa makanan di sudut bibir gadis itu menggunakan jempol tangannya.

"Tangan lo masih banyak luka gitu."

"Ya gak papa. Masak doang. Telor ceplok juga jadi. Mau, ya? Makan?"

"Belum laper."

Merapi berdecak pelan. Biarpun Airin sedekat ini, Merapi masih merasakan sebuah jarak di antara mereka.

Airin sepertinya masih berjaga-jaga. Seperti apa katanya tadi, dia enggan terjatuh. Mungkin, itu sebab kenapa Merapi merasakan sebuah penghalang di antara mereka.

"Oh, gue kira gak ada orang. Pintunya gak di kunci, makannya gue masuk."

Airin dan Merapi sontak menoleh. Airin mengerutkan alis kala mendapati seorang gadis seusia Merapi berdiri di belakang sana.

Dia mengenakan pakaian yang begitu feminim. Dia juga terlihat sangat cantik.

"Tasya?" Merapi sontak meminta Airin berdiri. Setelahnya, dia berjalan menghampiri gadis itu.

"Ngapain lo di sini? Kapan lo balik?" Merapi menatap tajam gadis itu dan melirik khawatir ke arah Airin yang kini menatap ke mereka.

"Berkunjung. Baru aja. Gue langsung ke sini." Dia tersenyum kala Merapi sudah berada tepat di hadapannya.

Merapi diam beberapa saat. Menatap Tasya lekat, kemudian kembali berbicara, "Rumah gue gak terima tamu. Lo boleh pergi."

Gadis bernama Tasya mengerutkan alisnya. Sedikit tercengang, namun, memilih maju selangkah. Tangannya kini naik mengusap pipi Merapi dengan pelan. "Astaga, Merapi. Cuman berkunjung. Lo orang pertama yang gue temuin loh. Emang gak kangen?"

Merapi menepis tangan itu. Dia kembali melirik ke arah Airin dengan cemas.

"Oh." Tasya seolah mengerti dengan tatapan Merapi. Dia menurunkan tangannya dan melangkah mendekat ke arah Airin. "Hai, Adiknya Merapi?" sapanya.

"Oh, Hai. Gue istirnya." Airin tersenyum. Namun, senyum itu sudah jelas terlihat begitu menyebalkan karena tersirat raut mengejek.

Tasya membelalakan matanya. "Pi, selera lo ... Jangan bercanda, deh."

Merapi melangkah mendekat. Cowok itu menarik kasar bahu Tasya dan mendorongnya dengan kuat.

Tasya meringis. "Pi, apaan, sih? Kok lo kasar banget?"

"Pasti lo nikah sama dia gara-gara k*nd*m bocor, kan? Gak mungkin lo nikah sama anak kecil."

"Gue tau banget pergaulan lo kayak apa, Pi. Pasti masih bertahan sampai sekarang, kan? Terus sekarang lo kebobolan, gitu?"

"Jaga omongan lo. Istri gue, bukan cewek kayak lo yang mau asal ngangkang di depan cowok!" Merapi menatap Tasya marah.

Dia tidak terima Airin disamakan dengan masa lalu buruk Merapi. Airin tidak begitu.

"Astaga, itu nyakitin gue banget. Padahal ... Niat gue ke sini buat nebus rasa rindu lo setelah kita enggak ketemu beberapa tahun." Tasya merapikan rambutnya sendiri.

"Gak ada yang rindu sama lo, brengsek." Merapi mendesis kesal.

Tasya tertawa pelan. "Ah iya, lo bilang ... Gue cewek yang asal ngangkang di depan cowok? Dulu, lo kan salah satunya. Lo juga nikmatin, Merapi. Jangan munafik. Dulu kita pernah saling membahagiakan, kan?"

Tangan Merapi merambat menggenggam tangan Airin. Dia menatap Airin dan menggeleng. "Lo tau masa lalu gue kan, Rin? Sumpah demi apapun, gue gak pernah lakuin itu lagi. Percaya sama gue." Merapi benar-benar takut melihat Airin yang memilih diam.

"Lo siapanya Merapi?" tanya Airin mengabaikan ucapan Merapi dan menatap ke arah Tasya.

"Bisa di bilang, gue temen dia, sih. Temen yang ... Selalu dia butuhin setelah ditinggalin sama si ... Siapa sih cewek lo itu? Larissa? Tapi, pas kelas dua atau tiga SMA ... Gue lupa. Yang jelas, gue terpaksa harus pindah ke luar negeri ikut orang tua. Kita udah gak pernah ketemu lagi setelah itu. Sekarang, gue lagi liburan dan nyempetin diri buat ketemu sama---"

"Mantan klien penghangat ranjang?" Airin memotong.

Airin tidak bodoh menyimpulkan ucapan bertele-tele Tasya. Airin tahu masa lalu Merapi bagaimana, sahabat-sahabat Merapi pernah mengatakan perihal itu pada Airin. Merapi juga. Dan mungkin, Tasya adalah salah satu gadis yang dulunya pernah menjadi teman Merapi.

"Rin..." Cengkalan tangan Merapi mengendur.

"Kenapa? Posisi kita sama kan? Setahu gue, Merapi gak mau nikah sama siapa-siapa. Kecuali kalau emang kebobolan. Iyakan, Pi?" Tasya menatap Merapi.

Namun, Merapi masih setia menatap Airin.

"Lo bangga? Kalau gue jadi lo, sih, jujur ... Gue malu." Airin tertawa mengejek.

"Maksud lo---"

"Apa? Gak terima? Silahkan berbangga diri karena mungkin, lo udah berkali-kali pernah tidur bareng Merapi." Tangan Airin terulur mengusap lengan Merapi dengan pelan. "Tapi, bakal gue pastiin itu gak akan pernah terjadi lagi. Dia suami gue," lanjut Airin.

"Dan, kalau niat lo mau bertamu, gue dengan senang hati bisa ambilin minum. Tapi, kalau niat lo cuman mau bahas masa lalu, gue rasa ... Itu bukan topik menarik buat suami gue."

Tasya tak terima. Niatnya datang kemari untuk bertemu dengan Merapi lagi. Dia tidak pernah menyangka Merapi sudah memiliki Istri.

"Merapi, lo---"

"Gak ada hubungan spesial di masa lalu. Gue sama lo, cuman sebatas itu. Lo juga lakuin itu gue bayar, seharusnya lo cukup paham." Merapi menyahut.

"Gue kira lo selalu panggil gue dulu, karena gue spesial. Lo selalu bilang lo butuh gue. Bahkan, ketika gue pergi, gue selalu nunggu hari ini tiba. Gue ketemu lo. Kenapa lo malah---"

"Gue gak suka sama lo! Gak pernah! Lo juga tau semenjak gue putus sama Larissa, gue gak pernah percaya sama gadis manapun lagi. Larissa kesalahan, lo juga! Masa lalu gue kesalahan." Merapi menatap Tasya marah.

Kehadirannya benar-benar ancaman. Merapi takut kembali menyakiti Airin.

"Berarti, lo gak percaya sama cewek ini, kan?" Tasya menatap Airin.

Merapi menggeleng. "Dia terkecuali."

"Merapi, jangan bercanda, deh. Gak lucu."

"Gue gak bercanda."

Tasya diam. Gadis itu menatap ke arah Airin menatap Airin dari atas sampai bawah dan tersenyum remeh.

Airin memicingkan matanya tak suka. "Kenapa?"

"Cepat atau lambat, lo bakal dicampakin sama Merapi."

"Kayak lo sekarang? Sori banget, posisi gue sama lo beda." Airin membalas menatap Tasya dari bawah sampai atas seraya tersenyum remeh.

Tasya memicingkan mengepalkan tangannya. "Lo!"

"Pi, lo urus aja deh. Gue mendadak ngantuk." Airin memilih melangkah menjauh meninggalkan Tasya dan Merapi.

Merapi diam. Sekarang, dia menyesal dengan perbuatannya di masa lalu.

Merapi takut kehadiran Tasya menyakiti Airin. Merapi juga takut, Airin semakin memberi benteng diantara mereka.

Di anak tangga terakhir, Airin terkekeh miris. Gadis itu menunduk menatap kakinya. "Ada berapa banyak masa lalu Merapi yang harus gue hadapi?"

"Kalau gue bilang gue kecewa, apa Merapi bakal pukulin gue lagi sama kayak Papa?" Airin bergumam pelan.

Gadis itu memilih duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tembok. Dia memejamkan matanya.

Airin enggan mempermasalahkan masa lalu Merapi selama dia tidak kembali terjun ke dalamnya. Namun, Airin manusia biasa, rasa kecewa dan marah itu pasti ada.

Perempuan malam, perempuan yang mau di bayar demi menjadi pemuas ... Itu benar-benar membuat Airin muak. Itu mengingatkannya pada masa lalu di mana Papanya membawa wanita-wanita itu masuk ke dalam rumah ... Dan menimbulkan suara menjijikan yang membuat Airin tidak bisa tidur.

Dulu, karena itu juga Airin mendapat pukulan untuk pertama kalinya. Karena Airin meminta Papanya berhenti membawa mereka, semuanya menjadi kacau sampai sekarang.

Airin tau penyebab sifat kasar Papanya tak hanya itu. Namun, keberadaan wanita-wanita itu juga menyakiti Airin.

Dulu, Airin kecil berpikir ... Papanya sudah melupakan Mamanya. Padahal, Airin selalu menantikan kehadirannya.

Tapi, semuanya usai sudah. Papanya memang sudah berhenti mencintai Mamanya. Mamanya juga tak lagi bisa Airin tunggu. Dia tak pernah kembali sejak mereka bercerai.

"Airin, maaf."

Airin membuka matanya. Merapi duduk di anak tangga tepat di bawahnya dan menatap Airin khawatir.

"Di antara semua orang yang nyakitin gue, cuman Merapi yang mau bilang maaf. Walapun sejujurnya gue muak sama kata itu. Tapi, bahkan, sampai saat ini ... Papa, Mama, dan semua orang yang ada di rumah Papa ... Sekalipun mereka enggak pernah minta maaf sama gue."

"Walaupun ujungnya, enggak sekali dua kali Merapi sakitin gue lagi." Airin tersenyum setelah mengatakan kalimat panjang dalam hatinya.

Tangannya terulur mengusap puncak kepala Merapi. Setelah itu, dia memilih beranjak dan melangkah masuk menunju kamar.

Merapi mengepalkan tangannya. Airin menolaknya lagi.

Dia marah. Dengan segera, Merapi beranjak dan ikut masuk ke dalam kamar.

Menarik rambut Airin dengan kasar dan menatapnya dengan napas tak beraturan.

"Lo nolak gue lagi, Rin. Lo nolak gue lagi!"

"Lepasin gue." Airin menatap Merapi.

Merapi semakin menarik rambut itu dengan kuat. "Lo harus percaya sama gue, gue gak ada hubungan apa-apa sama cewek tadi! Lo gak boleh hindarin gue! Lo gak boleh kayak gini!"

BRAK!

Airin memejamkan matanya kuat kala punggungnya terbentur pada lemari.

"Arghh!" Punggungnya yang memang belum pulih, terasa begitu perih kala menabrak lemari itu.

Teriakan Airin, sontak membuat Merapi diam. Dia mundur selangkah, perlahan, dia menunduk menatap telapak tangannya. "G-gue---"

Airin meringkuk di atas lantai seraya memeluk tubuhnya sendiri. Dia tak lagi bersuara, namun, mata Airin terpejam bersamaan dengan dahi yang berkerut menahan sakit.

"Airin ... Gue---" Merapi menjatuhkan lututnya ke lantai.

Meremas rambutnya, di susul memukul kepalanya sendiri berkali-kali. "Bego, bego, bego!"

"Gue minta maaf, Airin. Gue bener-bener minta maaf!" Merapi kembali meremas rambutnya dan menunduk.

Airin membuka matanya. Dia tertawa pelan. "Gak papa," jawab Airin. "Gue ada di sini tujuannya memang buat itu, kan?"

TBC

Niatnya mau 1000+ malah bablas jadi dua rebu😭

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin, Merapi, Tasya, Bapaknya Merapi, atau siapapun tokoh di sini?

Spam next kuy!

Jangan lupa follow Instagram :
Merapi.wicaksana
Airin.thalita.utami_
Octaviany_indah

Tiktok : wattpad.oncom_

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro