Bagian 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya sangat menyayangkan dengan perilaku Airin yang begini. Padahal wali kelasnya yang dulu bilang, biarpun Airin tidak pandai di akademik, dia seringkali membawa nama baik sekolah di bidang seni bela dirinya. Selain itu, Airin juga dulu rajin sekali masuk sekolah. Tapi akhir-akhir ini, Airin sering bolos. Padahal, saya baru memberi pengertian tadi pagi. Saya sendiri juga kaget pas dikasih tau Airin bertengkar dengan Maudi."

"Jambak, Bu. Bukan bertengkar." Airin meralat seraya melipat kedua lengannya dan menatap ke arah Maudi yang kini tengah memeluk Ranti seraya menangis.

Yap, keputusan akhir ... Maudi memilih menghubungi Ranti untuk datang kemari.

Dia tidak sendiri. Reihan menemaninya. Bocah itu sedaritadi berdiri di samping Ranti seraya menatap ke arah Airin dengan sedih.

"Airin, kamu ada masalah apalagi sama Maudi?"

"Lagi?" Pak Kusnadi menatap Ranti dengan alis berkerut.

Ranti tersenyum tipis. "Airin sama Maudi memang nggak akur, Pak."

"Maudi juga beberapa kali jadi korban Airin," lanjutnya.

"Berarti, enggak sekali dua kali Airin begini?"

"Iya, Pak. D-dia bahkan pernah tampar sama dorong saya di deket tangga di rumah. Saya juga gak tau salah saya apa." Maudi berbicara.

Airin masih diam. Namun, tangannya kini terkepal secara perlahan.

"Airin, begini ... Bapak enggak tahu masalah kamu sama Maudi apa. Tapi, kekerasan enggak akan menyelesaikan apapun."

"Kamu kan anak beladiri. Harusnya, kamu manfaatkan itu buat melindungi diri kamu, bukan menyakiti orang lain. Beberapa mendali dan piala kamu di pajang loh di depan. Harusnya kamu bangga, harusnya kamu enggak menyalahgunakan apa yang kamu bisa."

"Papanya bahkan enggak pernah setuju Airin ikut itu. Semenjak dia ikut, dia semakin berani bantah omongan orang tua. Padahal, apa yang orang tua bilang tentunya yang terbaik buat dia." Ranti menjawab lagi.

"Airin tidak diizinkan? Kenapa?"

"Ya itu, Pak. Di salah gunakan. Bahkan, anak bungsu saya---" Ranti merangkul Reihan. "Dia pernah didorong sama Airin."

"Sekarang, Papanya juga di rumah sakit karena kemarin ribut sama Airin," ujarnya lagi.

Ranti menghela napas lelah. "Jujur saya sendiri udah capek. Airin susah di atur."

"Airin, kamu disekolahkan itu, biar ngerti bagaimana caranya berprilaku baik sama orang yang lebih tua. Terutama orang tua kamu sendiri." Pak Kusnadi menatap Airin.

"Rin, Mama tau Mama cuman Mama tiri kamu. Mama tau kamu benci sama Mama, tapi tolong jangan terus-terusan sakitin Maudi. Maudi gak salah." Ranti menatap Airin dengan tatapan memohon.

Airin berdecih. "Gak sudi gue sebut lo Mama."

"Airin! Enggak boleh kayak gitu." Pak Kusnadi menyahut.

"Nah, Airin. Denger kan apa kata---"

"BISA BERHENTI GAK?!" Airin berteriak. Gadis itu beranjak dengan jari telunjuk yang mengarah pada Ranti.

"Airin!" Wali kelasnya menahan bahu Airin. Namun, Airin menepisnya dan membuat guru itu terdorong ke belakang sampai kembali duduk ke kursi.

"Sejujurnya gue gak mau memperpanjang ini. Gue kira, dengan gue ngalah, pembahasan enggak akan terus menerus mengarah ke gue." Dada Airin naik turun. Gadis itu tak bisa mengatur napasnya karena emosi yang tiba-tiba saja naik.

"Tapi lo, sama lo! Emang pada dasarnya gak tahu diri. Semua fakta lo balikin!" Airin menunjuk Ranti dan Maudi.

"Terutama lo! Lo pikir dengan lo nangis-nangis kayak gini, gue takut buat Jambak, dorong, dan tampar lo di depan semua orang seperti apa yang lo bilang, hah?" Airin maju selangkah dia mendekat ke arah Maudi.

Namun, Airin ditahan oleh pak Kusnadi. Gadis itu berontak, lagi-lagi, Airin berteriak. "TANYA SAMA GUE! TANYA GIMANA KEJADIANNYA! TANYA! KENAPA HARUS MELULU MEREKA YANG KALIAN TANYA?!"

"Saya udah nanya---"

"Anda enggak kasih saya kesempatan buat jawab! Anda cuman denger apa yang Maudi jawab, terus minta orang tua datang! Seharusnya anda tanya dari dua belah pihak. Ada? Enggak!" Airin menunjuk-nunjuk wajah Pak Kusnadi dengan emosi yang tak juga reda.

Sampai akhirnya, Airin duduk. Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan. Dan berusaha mengatur emosinya.

"Minum dulu." Wali kelas Airin memberi air mineral gelas pada Airin.

Airin meminumnya. Kemudian, gadis itu menatap pak Kusnadi. "Maaf, Pak. Saya gak maksud."

Tak seharusnya Airin bersikap begini. Tak seharusnya Airin berteriak. Tak seharusnya Airin marah-marah.

Mereka tidak akan mengerti bagaimana rasanya jadi Airin.

"Kelihatan kan, Pak?" Ranti kembali berbicara.

Airin meremas gelas kemasan di tangannya. Dia menatap Ranti tajam dan hendak melayangkan apa yang dia genggam.

Namun, tangannya ditahan oleh wali kelas Airin. "Gak boleh, Airin. Sabar, ya."

"Oke, tenang. Sekarang gini, Airin, kejadian sebenarnya menurut pandangan kamu kayak gimana?"

"Udahlah, Pak. Kalau mau skors, skors aja. Kalau mau hukum, hukum aja. Percuma saya jelasin panjang lebar, ujung-ujungnya pasti panjang lagi, lama lagi."

Airin benar-benar ingin keluar dari ruangan ini. Dia tidak peduli resiko yang akan dia dapatkan. Hukuman yang akan dia terima, atau apapun itu.

Dia benar-benar muak dengan drama Maudi dan juga Ranti.

"Airin, apa pantes kamu ngomong gitu?! Maaf, Pak. Airin memang begitu anaknya, agak kasar." Ranti mengangguk sopan.

Namun, tatapannya sinis mengarah pada Airin.

"Oke, berhubung keadaan benar-benar kacau. Dan sikap Airin yang benar-benar tidak mencerminkan seorang pelajar, saya kira sebaiknya Airin dan Maudi di skors selama 3 hari. Selama itu, mereka harus merenungi kesalahan mereka masing-masing. Tiga hari setelahnya, kalian berdua temui Bapak lagi, di sini. Bapak butuh penjelasan kalian setelah kepala dingin." Pak Kusnadi memutuskan.

Dia juga tersinggung dengan Airin yang menunjuk wajahnya dengan tidak sopan.

Dia bahkan mendorong wali kelasnya dan menunjuk Ibunya sendiri dengan tatapan menantang layaknya seorang preman.

Pak Kusnadi rasa, ini keputusan paling tepat.

"Bagaimana, Bu Maya?" Pak Kusnadi menatap wali kelas Airin.

Bu Maya menghela napas pelan. "Airin sudah ketinggalan banyak pelajaran. Tapi kalau memang begitu keputusannya saya terima. Dan, Airin, kamu bisa pinjam catatan teman kamu buat kamu salin ke buku tulis, ya?"

Airin mengangguk. Setelahnya, dia beranjak. Sebelum melangkah keluar, Airin menendang kursi yang berada di samping Maudi duduk dengan keras.

"Airin!"

"Udah, kan? Saya mau pulang." Setelah mengatakan itu, Airin akhirnya benar-benar pergi.

"Kakak ...." Suara Reihan pelan. Dia ingin sekali memeluk Airin.

Andai saja Reihan sudah besar, dia pasti akan melindungi dan membela Airin. Namun, Reihan tidak bisa.

Mendengar orang dewasa yang terus menerus berbicara saja membuatnya takut.

Yang bisa dia lakukan adalah diam.

Di lain tempat, Airin masuk ke dalam kelasnya dan mengambil tas tanpa mengatakan apa-apa. Untungnya, guru pengajar tidak ada. Namun, seisi kelas langsung menatap ke arah Airin.

"Woi mau ke mana lo?" Teriakan ketua kelas mengarah pada Airin.

Airin menatapnya tajam. Sampai akhirnya, ketua kelas menunduk tak berani membuka suara lagi.

Airin pergi. Gadis itu mengusap air matanya di koridor dengan kasar.

Perbuatannya benar-benar tercela. Sikap Airin begitu buruk, tadi. Seharusnya Airin tau caranya bersikap.

Seharusnya, Airin tidak terpancing emosi. Seharusnya Airin tetap diam.

"Bego, Airin."

•••

"Yakin mau berangkat?"

Merapi mengangguk. "Lama-lama gue di drop out kalau terus-terusan bolos."

Merapi sudah siap dengan stelan ke kampus. Cowok itu lantas mengajak Sebastian untuk pergi menggunakan mobil.

Bahkan, kondisi rumah sampai saat ini masih berantakan. Merapi belum menyewa orang untuk membereskan.

Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Merapi memilih sibuk memainkan ponselnya sendiri.

Bahkan, sampai mobil melaju pun, Merapi tak juga mengangkat kepalanya.

Jarak kampusnya dan rumah Merapi lumayan dekat. Sehingga, mereka tidak khawatir akan kesiangan masuk ke dalam kelas.

"Bas, gue beliin Airin kucing kali, ya? Biar dia ada temen?"

"Sumpah, Pi?"

Merapi memutar bola matanya malas kala Sebastian tertawa keras menanggapi pertanyaannya.

"Ya serius lah."

"Ya masalahnya, ini Airin loh. Cewek cuek begitu lo kasih kucing? Emang dia mau?"

"Dia suka kok. Dulu waktu gue masih PDKT sama dia, dia kasih kucing ayam yang ada di mie ayam dia. Terus, kepalanya dia usap-usap, Bas." Merapi menjawab cepat.

"Dia seneng banget waktu itu. Dia juga kelihatan lucu waktu ngajak ngobrol kucing."

"Terus, pas mau pulang, dia juga kelihatan sedih sambil lambai-lambai tangan ke kucing itu."

Merapi terlihat begitu excited menceritakan Airin. Dia bahkan sampai senyum-senyum sendiri dan terus tertawa.

Sebastian menghela napas. "Yaudah, terserah lo, dah."

"Warna putih lucu kali, ya? Bubar kelas lo anter gue beli kucing, ya."

"Pi, sumpah? Gak malu lo milih-milih kucing?"

"Enggak." Merapi yang awalnya tersenyum mendadak melunturkan senyumnya. "Seenggaknya Airin bisa senyum, Bas," sambungnya.

Oke, sepertinya ini salah satu usaha Merapi untuk mewujudkan keinginannya. Yaitu, membuat Airin kembali tersenyum.

Sebagai sahabat yang baik, Sebastian tentunya akan mendukung keputusan Merapi.

"Yaudah, nanti gue temenin."

•••

Sore hari, Airin duduk di depan televisi, tepatnya di rumah milik Merapi sendirian.

Gadis itu sudah pulang sejak tadi pagi. Yang dia lakukan hanya menonton tv, makan, tiduran di kamar, kembali menonton tv dan terus begitu.

Ngomong-ngomong, ponsel Airin belum sempat dibetulkan sampai sekarang. Dia merasa tak ada yang penting dengan benda itu.

Mau menghubungi, memang siapa yang harus Airin hubungi?

Merapi? Dia serumah dengan Airin. Papanya? Jangan bercanda.

Gadis itu menghela napas kesal. Rasanya, dia benar-benar bosan dengan acara televisi yang begitu-begitu saja.

Miaw ... Miaw~

Airin mengerutkan alisnya. Gadis itu beranjak dan langsung berjalan menuju dapur. Takut-takut ada kucing masuk tapi tidak ketahuan, kan?

Miaw~

"Meng, meng, meng." Airin terus menunduk seraya bejalan.

Namun, sayangnya, dia tak menemukannya. "Di luar kali, ya? Gue lupa tutup pintu atau gimana?" gumamnya.

Airin lantas melangkah menuju pintu depan.

Belum sampai di ambang pintu, Airin menemukan kucing berbulu lebat berwarna putih bersih berjalan ke arahnya.

"Eh, kucing siapa?" Airin berjongkok. Dia langsung membawa kucing itu ke gendongannya dan mengusap bulunya dengan pelan.

Miaw~

Kucing itu mendusel pada leher Airin. Airin tertawa pelan, dan memeluk kucing itu dengan gemas. "Kamu kucing siapa?" tanya Airin.

Di ambang pintu, Merapi tersenyum tipis. Tangannya yang menjinjing kandang kucing, perlahan turun dan menaruh kandang itu di lantai.

Matanya berbinar melihat senyum Airin. "Airin, seneng ya, Bas?" tanya Merapi.

Sebastian tak menjawab. Tanpa dia jawab pun, bukankah seharusnya Merapi tahu jawabannya apa?

"Dia senyum, Bas."

"Gue seneng lihat Airin senyum." Senyum Merapi melebar. Cowok itu hendak melangkah ke arah Airin.

Namun, langkahnya terhenti. Cowok itu mengepalkan tangannya dan menggeleng. "Gak, kalau gue samperin dia, senyum dia pasti ilang lagi," gumamnya.

"Merapi?"

Merapi mendongak. Airin berada di depannya. Senyum Airin hilang, namun, tangannya masih setia mengusap kucing yang berada di pelukannya.

"Btw, lo tau ini kucing siapa?" tanya Airin.

"Buat lo." Merapi menjawab.

Setelah mengatakan itu, Merapi memilih mundur. Setelahnya, dia melangkah menaiki anak tangga samping yang terhubung langsung dengan kamarnya.

Bahkan, teriakan Sebastian tidak di hiraukan oleh Merapi.

Di dalam kamar, Merapi merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. "Lo berhasil bikin Airin senyum, Pi." Merapi menyemangati dirinya.

"Kalau lo bisa sembuh, lo bisa lihat itu setiap saat, nanti," ujarnya lagi.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maudi

Ranti

Airin

Sebastian

Merapi

Spam next yuk!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro