Bagian 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Merapi membuka matanya. Alisnya berkerut kala merasa bagian perut hingga kakinya dihangatkan oleh selimut.

Cowok itu lantas memilih duduk. Dia menunduk menatap selimut yang kini turun ke pahanya.

Seingatnya, sepulang dari kampus, Merapi langsung naik ke kamar dan ketiduran.

Dia tidak merasa mengenakan selimut. Masa iya dia mengigau dan membawa selimut sendiri?

Pintu kamar terbuka. Merapi membuang arah pandangnya secara spontan kala mendapati Airin yang kini melangkah masuk.

"Udah bangun?"

"Iya."

Airin duduk di samping Merapi. Gadis itu menatap ke arah suaminya. "Makasih ya," kata Airin.

"Buat apa?"

"Kucingnya."

Merapi lantas menoleh dan menatap Airin. Senyum di bibir Merapi perlahan mengembang. "Lo suka?" tanya Merapi seolah melupakan rencananya yang akan menjaga jarak pada Airin.

Dia benar-benar merasa sangat bahagia menerima kata terimakasih dari Airin.

"Suka."

"Syukur deh kalau lo suka. Gue seneng dengernya."

"Bang Sebastian bilang, lo emang sengaja beli itu buat gue?"

Merapi mengangguk. "Iya, sengaja."

Tak ada lagi percakapan di antara mereka. Merapi masih tersenyum dengan hatinya yang terasa sangat bahagia. Dan Airin yang kini menatap ke arah jendela.

"Yaudah, gue keluar kalau gitu." Airin beranjak.

Namun, saat Airin akan pergi, Merapi menarik tangan Airin dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

"Makasih, Airin. Gue seneng." Merapi mengusap lembut rambut Airin.

Mendengar itu, Airin lantas mengerutkan alisnya. Senang? Senang dalam hal apa? Seharusnya Airin yang bilang terimakasih walaupun sudah.

Namun, seakan mengingat kata Sebastian kemarin, 'Jangan buat Merapi tersinggung.' dan akhirnya, Airin memilih diam.

"Lo juga, kan?" Merapi menunduk menatap wajah Airin.

Airin mengangguk ragu. Setelah mendapat jawaban itu, Merapi semakin melebarkan senyumnya.

"Merapi," panggil Airin.

"Ya?"

"Lo mending turun. Lo belum makan, kan?"

Merapi menghela napas pelan. Dengan tidak rela, dia melepas pelukannya dan mengangguk. "Temenin, ya?"

Sumpah demi apapun Airin benar-benar bingung dengan sikap Merapi. Padahal, pagi tadi dia terlihat mendiami Airin, sorenya juga, Merapi terlihat menghindarinya.

Sekarang, hanya karena Airin berterimakasih, Merapi malah terlihat bahagia secara berlebihan?

Airin tidak tau motif Merapi menghindarinya apa. Namun, saat ini, dia seakan-akan lupa dengan sikapnya itu.

"O ... ke." Airin menjawab dengan ragu.

Merapi lantas beranjak. Dia menarik tangan kiri Airin dengan lembut dan mengajaknya untuk keluar dari dalam kamar menuju dapur yang berada di lantai bawah.

Sesampainya di sana, mereka langsung bertemu dengan Sebastian yang tengah sibuk dengan game online nya.

Dia mendongak. Ponsel dia lupakan karena benar-benar kaget dengan Merapi yang terlihat sedikit cerah. Belum lagi, tangannya menggenggam tangan Airin.

Gini yang namanya jaga jarak? Emang lu bisa, Pi? Sebastian mencibir dalam hati.

Yasudahlah, yang terpenting hari ini Merapi agak cerah. Sebastian tidak mau mengomentari, takut-takut Merapi tersinggung.

"Pi, gue perlu pindah gak, nih?" Sebastian yang kini kembali fokus pada ponselnya mengangkat suara.

"Terserah."

"Gak deh, mager."

Airin memilih menyiapkan makan untuk Merapi. Sedangkan Merapi memilih membasuh mukanya terlebih dahulu.

Tidak butuh waktu lama, keduanya selesai dan memilih duduk di kursi makan.

"Airin, udah makan?"

"Udah."

"Kucingnya mana?" tanya Merapi random.

"Ada, di kamar. Dimasukin ke kandang."

Sebastian diam-diam tersenyum mendengarnya. Dia senang mendengar mereka bisa kembali berinteraksi.

Ketika Merapi terus menerus bertanya, Airin menjawab, dan Sebastian menyimak, tiba-tiba ketiganya dikejutkan dengan kehadiran Arif yang secara tiba-tiba berjalan ke arah meja makan.

"Merapi."

Mendengar suara itu, tangan Merapi lantas terkepal. Dia menoleh dan menatap Papanya dengan kesal. "Apa? Ngapain ke sini?"

"Keadaan Papa Airin memburuk."

Mendengar itu, Airin lantas membelalakan matanya. Dengan spontan, dia beranjak.

"Kenapa bisa, Om? Bukannya Papa enggak apa-apa kemarin?"

"Dia drop karena denger kamu sama Maudi di skors dan ribut sama Maudi di sekolah. Sekarang Papa kamu enggak sadarkan diri. Om dikasih kabar sama Mama kamu."

Airin hendak pergi. Namun, Merapi mencengkal tangannya dan beranjak. "Gak usah pergi. Udah malem."

"Bokap gue drop, Merapi!"

"Dia gak peduli sama lo! Buat apa ke sana? Gak ada gunanya, Rin! Dia enggak butuh lo."

Plak!

Merapi langsung diam kala sebuah tamparan mendarat tepat di pipinya. Cowok itu menatap Airin dan terkekeh pelan. "Kenapa?"

"Gak ada otak lo." Setelah mengatakan itu, Airin memilih pergi meninggalkan ruangan.

Merapi mengepalkan tangannya. Kemudian, dia meremas rambutnya sendiri dan hendak menyusul Airin untuk meminta maaf.

Namun, Arif menahannya. "Kamu harus minta maaf sama Papanya Airin."

"Gak sudi."

"Karena kamu, kondisinya sekarang gak baik-baik aja. Kamu mau bikin Airin terus-menerus marah kayak tadi?"

Mendengar nama Airin, Merapi lantas terdiam. Airin jelas marah padanya, perasaan Merapi kini sangat cemas. Dia takut Airin membencinya.

"Enggak, Merapi gak salah." Merapi menggeleng kekeuh.

"Jelas kamu salah! Kalau aja kamu enggak buat dia masuk rumah sakit, Airin sama Maudi enggak akan berantem dan masuk BK. Mereka enggak akan di skors dan Papanya Airin enggak akan drop. Kamu pikir, Airin sama Maudi bertengkar gara-gara apa? Gara-gara Airin enggak mau nengok Papanya. Maudi cuman kasih tau, tapi Airin nolak buat dateng."

"Siapa yang bilang? Maudi? Dia telepon Papa? Atau Mamanya? Papa percaya sama omongan nenek lampir itu?" Merapi menatap Papanya marah.

Arif menghela napas pelan. "Merapi, minta maaf enggak akan bikin kamu jadi miskin."

"Merapi gak salah! Dan asal Papa tau, sebelum papa pergi ke sana, Airin ke rumah sakit! Dia nengok Papanya!"

"Dia gak akan masuk rumah sakit kalau dia enggak main fisik sama Airin. Dia enggak akan Merapi hajar kalau dia enggak sakitin Airin." Merapi menjawab dengan menggebu.

Merapi berjongkok. Dia berteriak untuk melampiaskan emosinya. Tidak, Merapi tidak boleh terpancing emosi lagi. Dia harus bisa mengontrol dirinya.

Namun, ini benar-benar menyiksa. Merapi ingin melampiaskannya.

"Argh!" Merapi beranjak. Dia menepis piring makannya dengan kuat kemudian memilih pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Merapi!"

"Om, biar Sebastian aja." Sebastian menahan Arif.

Setelah Sebastian mengejar Merapi, Arif lantas memilih duduk. Dia meremas rambutnya sendiri.

Airin datang ke rumah sakit, Airin di sakiti, dan itulah penyebab kenapa Merapi marah sampai membuat Winata masuk rumah sakit.

Lantas, kini dia berpikir. Apakah ucapan Ranti di telepon soal Maudi yang membicarakan Papanya pada Airin, dan Airin menolak sampai mereka bertengkar adalah sebuah kebohongan juga?

Apa pemikiran Arif sejak awal soal Airin, sejak saat pertama kali mereka bertemu adalah benar?

Airin tidak bahagia. Beberapa waktu lalu Arif berpikir begitu. Karena, dia bisa melihat dari raut wajahnya. Dia juga terlihat tersenyum, namun senyumnya tak pernah benar-benar tulus.

"Astaga, kenapa bisa." Kenapa bisa Arif percaya pada ucapan Ranti dan Maudi.

Sejujurnya, Arif hanya ingin Merapi meminta maaf karena sudah membuat Winata masuk rumah sakit. Itu saja.

•••

Airin berjalan menyusuri lorong rumah sakit sendirian. Raut wajahnya benar-benar terlihat sangat khawatir.

Namun, ketika Airin sampai di depan ruangan, sebuah tamparan langsung melayang tepat di pipinya.

Gadis itu memejamkan mata erat kala merasakan perih di bagian pipinya.

"Bagus, Airin. Papa kamu masuk rumah sakit, kamu malah enak-enakan diam di rumah suami kamu?"

"Omah denger, kamu tampar dan Jambak rambut Maudi dan ketahuan sama guru? Kalian masuk ruang BK terus di skors. Bagus, Airin. Sia-sia Papa kamu sekolahin kamu."

Dia Omahnya Airin dari Papanya. Selain Winata, Omahnya juga sangat membenci Airin.

Penyebabnya, hanya karena dia benci dengan perlakuan keluarga Mamanya Airin yang menjatuhkan Winata karena dia bukan orang berada.

Dia merasa sakit hati. Dan rasa sakit itu, semua Airin yang menanggung. Rasa benci mereka, semua mereka tumpahkan pada Airin hingga saat ini.

"Iya," jawab Airin.

"Perlu Omah jambak kamu juga biar kamu tau gimana sakitnya, hah?! Maudi itu Kakak kamu! Harusnya kamu bisa berlaku sopan sama dia!"

"Gak mau." Airin menjawab cepat. Dia hendak melangkah masuk ke dalam ruangan Papanya. Namun, bahunya ditahan oleh Maudi.

"Ngapain ke sini?" tanya Maudi.

"Gue mau lihat Papa."

"Papa gak mau lihat lo!" Maudi menjawab.

Mendengar itu, Airin mengepalkan tangannya. Dia hendak melayangkan pukulan pada Maudi. Namun, dia tahan.

Melihat itu, Maudi tersenyum remeh. "Kenapa? Takut?"

"Mau?"

"Jangan macam-macam Airin!" Omah Airin mendorong Airin dengan kuat.

Airin mendengkus kesal.

"Mendingan kamu pergi. Kamu di sini cuman bikin kacau tau gak?" Kini, bagian Ranti yang menyahut.

Mendengar itu, Airin lantas tertawa. "Gak mau."

"Kamu pikir, Papa kamu drop karna siapa?! Karena kamu! Karena kamu cari masalah terus!" Omah Airin menyahut dan menunjuk tepat di wajah Airin.

"Airin kapan benernya sih?" tanya Airin.

"Niat Airin kesini buat lihat kondisi Papa. Dia orang tua Airin, Airin gak ada niat buat cari ribut." Airin menatap Omahnya.

Omah Airin menggeleng dan menjawab, "Enggak! Maudi bener. Mending kamu pergi. Papa kamu gak akan suka kamu di sini."

Airin terkekeh. Tadi pagi, Maudi berkata seolah-olah Airin harus kemari. Setelah Airin datang, kini semua malah berbanding terbalik dengan kenyataan.

Ternyata dunia memang kejam, ya? Atau ... Hanya dunia Airin saya yang kejam?

Astaga.

TBC

Terimakasih

Spam next yu

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro