Bagian 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Airin masuk ke dalam rumah. Gadis itu memilih mencuci wajah dan tangannya terlebih dahulu ke kamar mandi.

Setelahnya, dia memilih berjalan ke arah dapur.

Saat di dapur, dia menemukan Sebastian yang tengah duduk di sana seperti biasa.

"Gimana Papa lo, Rin?"

"Gak tau. Gak nyampe." Airin mengambil minum dan memilih ikut bergabung duduk.

Sebastian menghela napas pelan. "Merapi nyakitin dirinya lagi, Rin. Setelah lo pergi, tadi, dia sempet berantem sama Papanya. Dia masuk kamar, lempar gelas minum dia ... Pecahan kacanya dia gores dalem ke tangannya. Untung gue cepet-cepet dateng."

"Merapi kenapa?" tanya Airin.

"Dia pengen lampiasin kemarahan dia, Rin."

"Enggak, maksud gue, lo pasti tau sesuatu kan?" Airin menatap Sebastian.

Sebastian menghela napas lagi. Dia menjauhkan cangkir kopinya dan mengangguk. "Gue tau."

"Maaf sempet sembunyiin ini. Tapi gue rasa, gue gak bisa terus-terusan rahasiain ini dari lo." Dia menatap Airin dengan tatapan serius.

Setelahnya, dia berkata, "Merapi Bipolar."

"H-hah?" Airin sontak menatap Sebastian kaget.

"Dia pengen jauhin lo buat sementara waktu karena dia takut sakitin lo, Rin."

"Setahu gue, Bipolar lebih berpotensi nyakitin dirinya sendiri. Bukan orang lain, gak usah bercanda." Airin menatap Sebastian dengan pandangan tak percaya.

"Penyebab dia sakitin lo, itu karena dia anggap lo adalah pengganti Ibunya, Rin. Ibunya ninggalin dia, dari kecil Merapi gak pernah dapat kasih sayang setelah Ibunya pergi ninggalin dia. Dia ngerasa semua wanita cuman butuh uangnya, itu karena Mama sama Papanya. Gue gak bisa cerita detail soal ini, karena Merapi yang lebih berhak."

"Terutama saat pertama kali Larissa datang lagi. Dia bener-bener gak tau caranya buat pertahanin lo kayak gimana."

"Dia kasar setelah Larissa dateng," jawab Airin setuju.

"Intinya, Merapi sayang sama lo. Kelakuan kasar dia ke lo, itu karena dia pengen lo tetep ada di samping dia. Dia gak mau kehilangan orang yang tulus sama dia untuk kedua kalinya. Dia selalu berpikir lo adalah pengganti Ibunya. Yang dia pikirin ketika lo marah atau nolak dia, lo bakal pergi. Sama kayak Ibunya." Sebastian menepuk pundak Airin beberapa kali.

"Lo tau kenapa banyak luka di tangan sama kakinya Merapi? Dia lakuin itu, karena dia cemas berlebihan. Dia merasa lo bener-bener benci dia dan dia takut. Dia nyakitin dirinya sendiri, dan berpikir bahwa itu bakal bikin rasa bersalah dia hilang. Padahal nyatanya enggak."

"Setiap kali udah sakitin lo, Merapi selalu bilang sama gue ... Kalau dia nyesel." Sebastian tersenyum, "Sekali lagi gue kasih tau, Merapi jaga jarak karena dia gak mau nyakitin lo lagi, dia juga mau berusaha buat kesembuhannya dan janji sama dirinya sendiri buat bikin lo senyum lagi. Tapi nyatanya dia gak bisa, kan, jauh-jauh dari lo?"

"Lo berhak tau. Makannya sekarang gue bilang," sambungnya.

Airin diam. "Berarti, selama ini ... Gue juga orang yang bikin dia sakitin dirinya sendiri? Gue sering buat dia tersinggung. Gue sering buat dia marah karena kelakuan munafik gue."

"Gak gitu, Rin."

Airin menunduk. Gadis itu memegang kepalanya sendiri. "Ternyata, jadi orang munafik cuman bikin masalah, ya? Kalau aja gue enggak bersikap begitu, mungkin Merapi gak akan sakitin dirinya, kan?"

"Rin ..."

"Gue capek, Bang. Gue juga capek pura-pura kuat. Gue juga yakin semua orang pasti eneg lihat itu." Airin menunduk. "Gue cuman gak mau dipandang lemah sama keluarga gue. Gue juga gak mau dipandang lemah sama semua orang."

"Gue gak mau mereka kasihan sama gue. Enggak. Tapi bodohnya, gue sendiri gak bisa melawan secara fisik sama Bokap gue."

"Dari kecil, gue udah terbiasa dipukul, Bang. Gue udah biasa terima perlakuan kasar. Gue udah biasa bersikap kayak gitu. Gue milih buat nikmatin itu, karena gue bener-bener berharap mati di tangan mereka yang sakitin gue. Gue mau mereka nyesel, walaupun gue gak bisa lihat secara langsung nantinya, seenggaknya gue bisa bikin mereka menyesal dengan sendirinya."

Sebastian menatap Airin. "Lo ... Sering dipukulin sama Bokap lo?"

"Ya."

"Dari kecil?"

"Iya."

"Merapi tau?"

"Merapi tau. Tapi bukan gue yang kasih tau. Setelah lo bilang soal Merapi, gue rasa emang enggak seharusnya gue bersikap munafik. Sikap gue yang kayak gini, ternyata nyakitin orang lain tanpa gue sadar. Padahal gue tau, disakitin itu sama sekali gak enak. Apalagi sama orang yang gue sayang," jawab Airin.

Sebastian mengerjapkan matanya beberapa kali. Jadi ... Sebastian bisa membuka pemikiran Airin?

"Lo sembunyiin semuanya sendiri? Lo sakit hati tapi lo diem? Fisik lo sakit, tapi lo milih nikmatin?"

Airin mengangguk. Untuk pertama kalinya, dia bercerita perihal apa yang dia rasakan pada orang lain.

Entah kenapa, semenjak pertama kali mereka mengobrol, Sebastian seolah memberikan energi positif untuk Airin.

"Airin, enggak semua luka bisa lo tutupin dan bersikap pura-pura baik-baik aja. Mungkin lo berpikir cuman lo yang ngerasain itu, tapi ... Apa lo pernah mikir, sikap lo itu bisa bikin orang lain semena-mena sama lo."

Airin mengangguk. "Ya, gue tau."

"Lo punya Merapi, lo punya gue. Kalian sama-sama gak jujur sama apa yang kalian alamin. Itu yang bikin hubungan kalian jadi toxic."

Airin mengangguk pelan. "Mungkin ... Emang gitu."

"Gue tau mungkin, lo udah capek sama sikap Merapi. Tapi, sekarang kalian udah sama-sama terikat, Rin. Lo ngerti, kan? Lo yang waras di sini, lo yang bisa mulai. Lo tahu kan Merapi keras kepala? Kalau gue minta dia yang mulai buat perbaiki, dia bakal banyak alasan yang sangat bertele-tele."

"Bang, makasih, ya. Setelah cerita gue ngerasa sedikit lega." Airin tersenyum. Senyum itu benar-benar tulus.

Ya, Airin sadar sekarang. Tidak semua luka bisa dia simpan sendiri. Tidak semua luka bisa dia tutupi. Tidak selamanya Airin bertahan menjadi orang munafik.

Dan ternyata, Airin memang butuh teman yang tepat untuk bercerita. Setidaknya menjadi pendengar, itu sudah cukup membuatnya lega.

Bukan hanya Merapi yang harus berjuang memperbaiki hidupnya, Airin juga. Dia harus berubah menjadi orang yang lebih baik dan lebih jujur.

Selama ini, Airin selalu merasa dia bisa menyimpan lukanya sendirian. Dia bisa berperilaku sok kuat, dan dia selalu merasa ... Dia tidak membutuhkan orang lain dan belas kasihan.

"Sama-sama. Kalau mau cerita, jangan sungkan. Cowok lo juga kalau cerita enggak pake bissmillah. Suka langsung trobos, mana suka sambil marah-marah."

Airin tertawa pelan.

Andai Sebastian bisa dekat dengan Airin sedaridulu. Demi apapun, dia tidak akan keberatan menjadi tempat Airin untuk bercerita.

Sedikit menyesal juga karena dia baru-baru ini bisa dekat dengan Airin.

"Btw, lo bilang, Merapi lagi berusaha buat kesembuhannya. Bukannya bipolar gak akan bisa sembuh total?"

"Ya, seenggaknya dia mau jalanin pengobatan dan sedikit membaik. Kalau di diemin, itu malah jadi bahaya, Rin," jawab Sebastian.

"Om Arif tau?"

Sebastian menggeleng. "Dia gak mau Papanya tau."

Airin menghela napas. Ternyata, Merapi dan Airin sama saja. Mereka berada di lingkungan keluarga yang sama. Hal yang membuat mereka bersembunyi dan enggan jujur satu sama lain adalah karena mereka  sudah terbiasa menjadi orang munafik.

Sebastian benar, hubungan mereka toxic karena ini.

Bukan hanya Merapi yang salah. Airin juga.

"Yaudah, kalau gitu, gue ke atas, ya? Merapi di sana, kan?"

"Iya. Dia lagi istirahat. Besok, jangan lupa ganti perban di tangannya, Rin. Tadi gue asal belit, gak ngerti soalnya."

"Iya, makasih."

"Terus, punggung lo udah dikasih salep?"

Airin menggeleng. "Belum. Besok, deh."

"Jangan dibiarin, Rin. Biar lukanya cepet kering." Sebastian mengingatkan.

"Iya, Bang. Nanti gue olesin, deh yang nyampenya doang." Airin terkekeh pelan.

Sebastian ikut tersenyum melihat Airin terkekeh. Dia merasa dibutuhkan di sini, dia senang, sungguh.

"Yaudah, sana tidur."

"Lo juga." Setelah mengatakan kalimat itu, Airin memilih berjalan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar milik Merapi.

Hal pertama yang Airin temukan adalah, Merapi yang tengah terlelap dalam tidurnya.

Gadis itu memilih duduk di tepi kasur. Tangannya terulur menyeka keringat dingin yang membasahi kening Merapi. "Maaf, Merapi. Bukan lo yang gak ngerti, ternyata selama ini gue yang egois," ucap Airin lirih.

Gadis itu tersenyum tipis. Setelahnya, dia memilih naik ke atas kasur, dan tidur seraya memeluk perut Merapi. "Selamat tidur, Merapi."

•••

Pagi harinya, Merapi terbangun. Lelaki itu mengerutkan alis kala merasakan sebuah pelukan.

Dia mengucek mata dan menunduk. Alangkah terkejutnya Merapi kala mendapati Airin yang masih terlelap.

Senyum Merapi perlahan terbit, lelaki itu lantas membalas pelukan Airin dengan lembut.

"Sshh---" Airin mendesis pelan kala Merapi terlalu menekan bagian punggungnya.

Gadis itu membuka matanya. "Sakit, Pi. Jangan diteken. Peluk mah peluk aja, pelan-pelan kan bisa. Gimana sih, lo?" Airin langsung mengomel.

Namun, gadis itu malah mencari posisi nyaman di pelukan Merapi dan kembali memejamkan matanya.

Senyum Merapi tak dapat dia bendung lagi.

Airin mengomel, persis seperti awal keduanya bertemu, dulu. Tak ada nada terpaksa, tak ada nada suara yang terkesan menolak, dan tak ada sesuatu yang terasa menjaga jarak.

"Airin, gue mimpi, ya?"

"Gue yang mimpi. Yang tidur kan gue." Airin menjawab dengan mata yang masih terpejam.

"Serius, Rin." Merapi menangkup kedua pipi Airin dengan satu tangannya. Kemudian, dia mengangkat wajah itu agar menatap ke arahnya.

Mata Airin terbuka. Gadis itu mencebik kesal. "Lepasin, gak?"

"Gak."

"Dih, nyebelin."

Melihat itu, Merapi lantas membawa wajah Airin ke dadanya. "Kalau ini mimpi, gue gak mau bangun."

"Mati, dong." Suara Airin tak terlalu jelas karena wajahnya ditekan.

"Biarin."

"Merapi, pengap!" Airin mendorong dada Merapi. Sampai tiba-tiba, Merapi jatuh ke lantai.

Cowok itu mendesis kesal. "Rin, astaga!"

"Lo ngapain di situ? Nyari kecoa?" Airin berdiri dan turun dari atas kasur.

Gadis itu mengulurkan tangannya. "Bangun, Bang, jangan kayak orang susah tidur di lantai."

Merapi menerima uluran tangan itu. Kemudian, dia menarik Airin dan membuat gadis itu jatuh ke pelukannya.

Keduanya kini tertidur di atas lantai dengan Airin yang berada di atas Merapi. "Pi!"

"Apa, sayang?"

Airin membelalakan matanya. Gadis itu menoyor pipi Merapi dengan pelan. "Dih, sayang-sayangan."

"Kenapa, sih, baper?"

"Enggak banget."

Merapi tersenyum melihat wajah Airin yang berada tepat di depan wajahnya.

Kini, Airin bahkan memilih menyandarkan kepalanya pada bahu Merapi. "Merapi," panggil Airin.

"Hm?"

"Gue minta maaf, ya."

"Gue yang harusnya minta maaf, Rin. Gue yang sering sakitin lo. Gue yang bikin punggung lo sakit, gue yang sering tampar lo, gue juga yang sering bikin lo---"

"Lo gak akan begitu kalau aja gue enggak egois dan milih buat nutupin rasa sakit gue. Lo merasa tersinggung karena gue sering nantangin lo, kan? Lo juga pasti eneg banget kan dengernya?"

"Rin, enggak gitu. Apapun keadaannya, gue yang salah. Gue yang udah main fisik sama lo. Gue pengen berhenti, pengen banget. Tapi susah, gue selalu lakuin itu. Gue sadar, tapi badan gue gak pernah bisa diajak kompromi buat berhenti. Akhirnya gue nyesel sendiri."

Airin tersenyum. Merapi mau jujur ketika dia dipancing. Ternyata, memang benar, selama ini ... Keduanya sama-sama egois dan tidak mau jujur satu sama lain.

Sehingga, yang terjadi adalah kesalahpahaman terus menerus. Airin yang merasa Merapi jahat, dan Merapi yang selalu merasa Airin membencinya.

"Lo boleh benci gue, tapi tolong jangan ninggalin gue, gue gak bisa." Merapi memeluk Airin.

Airin mengangguk. "Gue gak akan ninggalin lo. Asalkan ... Lo harus jujur semuanya sama gue. Gue juga bakal jujur semuanya sama lo, gimana?"

"Maksudnya?"

"Kalau Lo merasa ada yang ganjel di hati lo, Lo bilang sama gue. Begitupula gue. Lo sadar gak, Pi? Kenapa makin hari kita makin jauh?"

"Kenapa?"

"Karena kita sama-sama gak mau jujur sama perasaan kita." Sebastian, Airin sudah memulainya. Airin sudah mulai mendekatkan dirinya pada Merapi lagi.

Sebastian benar, mau dibagamanapun juga, Airin dan Merapi sudah terikat. Mau tak mau, Airin yang harus memulai, mengingat kondisi Merapi sekarang, dia mau berjuang buat kesembuhannya saja sudah syukur.

"Iya, gue yang egois."

"Gue, Merapi. Gue yang egois."

"Kok lo maksa, sih? Gue yang egois!"

"Gue. Ngalah aja kenapa, sih?" Airin menatap Merapi kesal.

Merapi tertawa keras. Cowok itu lantas melayangkan satu kecupan di pipi Airin.

"Ih, bau jigong!" Airin berusaha bangkit dari atas tubuh Merapi.

Namun, Merapi menahannya. Menyentuh rahang Airin, dan mengecup pipi itu berkali-kali. "Makan tuh jigong."

"Jorok banget, sih!"

"Bodoamat."

"Pi, berhenti, gak?!"

"Enggak, makasih. Sama-sama." Merapi masih melanjutkan aksinya.

Ternyata, rasanya sedikit lebih ringan sekarang.

Pelan-pelan, Airin akan membuat Merapi jujur soal penyakitnya. Dia juga akan membuat Merapi bercerita perihal keluarga, dan apa yang dia alami sejak kecil.

Pun, Airin akan menceritakan masa kecilnya pada Merapi dan bagaimana kondisi keluarganya.

Mereka harus saling terbuka, mereka harus mengerti satu sama lain. Mereka terlanjur bersama, mereka harus bisa memperbaiki walau mungkin, tak akan sempurna.

"Gue seneng lo kayak gini, Rin."

"Gue seneng kalau hari ini lo ajak gue jalan-jalan. Gue pengen mie ayam." Airin menatap Merapi.

Merapi tersenyum dan mengangguk. "Oke, kita berangkat nanti siang."

"Terus, nanti sore kita ajak si Meng jalan-jalan. Gimana?" tanya Airin.

"Boleh."

"Pokonya tiga hari ini, kita harus jalan-jalan. Gak mau tau."

"Iya, sayang, iya." Merapi beranjak dan membuat Airin kini berada di pangkuannya.

Sontak saja Airin beranjak dan memilih berpindah duduk menjadi di atas kasur. "Yaudah sana mandi, bau jigong lo nyengat banget, tau!"

"Dih, bau jigong lo noh yang nyengat banget. Pake parfum sebotol enggak akan ilang baunya." Merapi beranjak. Cowok itu meraih handuk di belakang pintu dan memilih masuk ke dalam kamar mandi.

Airin diam-diam tersenyum. Dia akan memanfaatkan waktu tiga harinya untuk memperbaiki hubungan mereka.

Airin ingin Merapi segera bercerita. Airin ingin mereka segera saling terbuka.

Jika Airin menunggu kebahagiaan datang, rasanya tidak akan pernah datang jika Airin terus diam.

Jika keluarganya tak bisa membaik, setidaknya, Airin bisa menemukan satu kebahagiaan di rumah ini.

"Gue gak tau ini salah atau bener. Gue tau Merapi toxic, tapi kalau suatu hari nanti Merapi nyerah buat kesembuhannya dan milih jadi toxic lagi, gue bakal pergi ninggalin dia. Gue gak peduli soal uang yang dikasih sama Om Arif sama Papa. Udah saatnya gue nyari kebahagiaan gue. Soal Reihan, kalau perlu biar gue yang bawa dia pergi sekalian."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Sebastian

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro