Bagian 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pi, gue harus balik. Nyokap baru pulang soalnya."

Airin dan juga Merapi yang tengah sarapan, mendongak menatap Sebastian yang kini terlihat rapi dengan pakaiannya.

Merapi mengangguk. "Oke, salam sama nyokap lo."

"Rin, gue balik dulu, ya. Baek-baek lo berdua." Setelah mengatakan itu, Sebastian menepuk pundak Merapi dan memilih pergi meninggalkan rumah.

Airin mengerutkan alisnya. Dia beralih menatap ke arah Merapi. "Bang Sebastian, tinggal sama orang tuanya? Gue kira dia ngekost. Soalnya, akhir-akhir ini dia sering ada di sini. Waktu lo sama gue masih PDKT juga dia paling sering nginep di rumah lo, kan?"

"Lebih tepatnya sih tinggal sama Nyokapnya."

"Terus Bokapnya?"

"Udah meninggal."

Airin mengangguk dan enggan bertanya lebih jauh lagi. Karena menurutnya, dia tidak berhak untuk tau.

"Diantara Alvin, Chiko, sama Sebastian, dari dulu gue paling deket sama Sebastian. Yang paling tau tentang gue ya dia, begitupun sebaliknya."

Airin melanjutkan sarapannya seraya memperhatikan Merapi yang mulai bercerita.

"Kelihatannya emang cuek sih kalau pertama ketemu, tapi kalau udah deket, segala yang ada dipikiran dia bakal dia sampein ke orangnya langsung."

"Sebastian seratus kali lipat lebih baik daripada gue. Gue yakin, cewek yang bisa dapetin dia, adalah cewek beruntung. Dia bisa ngerti, tanpa harus kita kasih tau."

Airin tersenyum. "Lo juga baik kali. Baik dalam versi lo sendiri.

"Kalau gue baik, gue gak akan nyakitin lo."

"Gak usah ngomongin itu. Gue lempar pala lo pake sendok." Airin mengangkat sendok di tangannya.

"Takut banget." Merapi menjawab dengan nada mengejek.

Mendengar itu, Airin membelalakan matanya. Kakinya yang berada di bawah meja lantas menendang kaki milik Merapi dengan kesal.

"Sakit, Airin. Astaga."

"Lebay."

"Makan nih lebay." Merapi mencubit hidung Airin.

Airin memukul lengan Merapi dengan  spontan. Dan sialnya, Airin malah memukul pada bagian luka. Merapi sontak memekik dan menjauh dari Airin.

"Astaga." Airin beranjak. Dengan panik, gadis itu meniup luka yang baru saja diganti perbannya itu dengan pelan.

"Sorry, sorry." Airin mengusapnya dengan pelan. "Sakit, ya? Sumpah anjir, gue gak sengaja!" Airin masih setia meniup dan mengusapnya.

Melihat Airin yang khawatir, Merapi lantas mengembangkan senyumnya. Cowok itu memajukan wajahnya dan mencium puncak kepala Airin dengan cepat. "Udah, sembuh," jawab Merapi.

"Dih!" Airin mendorong pundak Merapi. Kemudian, dia kembali duduk di kursinya.

Merapi tertawa keras. Tangannya kini terulur mengacak puncak kepala Airin dengan gemas. Menarik bahunya untuk dia rangkul, kemudian pipi Merapi disandarkan pada puncak kepala gadis itu.

"Asli, Rin. Tadi sakit, tapi lihat lo khawatir kayak tadi, mendadak sakitnya ilang."

"Modus."

"Dih, sama Istri sendiri gak papa dong."

"Gak papa deh. Tapi jalan-jalan jadi, kan?" Airin mendongak menatap Merapi.

"Boleh, sih ...." Merapi menganggukkan kepalanya dan menggantung kalimatnya. "Tapi, udah lama nih gak dicium sama Airin," lanjutnya.

Airin memicingkan matanya kala Merapi menjauh dan menepuk-nepuk pipinya sendiri dengan jari telunjuk.

Matanya melirik Airin seolah memberi kode padanya.

"Yah, yaudah kalau gak mau." Merapi beranjak. Cowok itu masih melirik ke arah Airin.

Airin lantas menarik tangan Merapi dan membuat cowok itu kembali duduk di tempatnya.

Airin mendengkus. "Sekali aja, ya?"

"Mainnya kan dua kali, ya. Pertama beli mie ayam, ke dua sih, katanya mau ngajak jalan-jalan si Meng. Kalau sekali, ya jalan-jalannya---"

"E-eh." Merapi membelalakan mata kala Airin mendekatkan wajahnya.

Jantungnya berdebar cepat. Wajahnya mendadak terasa panas melihat gadis yang disayanginya berada begitu dekat dengannya.

Merapi menelan saliva susah payah kala Airin menyentuh rahangnya dengan lembut.

Bangsat, gue mendadak mules. Merapi masih menatap wajah itu dengan tegang.

Padahal, Merapi sudah sering mencium Airin. Kenapa di saat Airin yang akan menciumnya, Merapi ketar ketir begini?

"Dua kali, kan?" bisik Airin.

Merapi menelan salivaya susah payah untuk yang kedua kalinya.

Plak!

"Enggak ada ya. Naik angkot juga, jalan dulu baru di bayar. Seenak jidat lo." Airin menampar pipi Merapi dengan pelan.

Kemudian, dia menjauhkan tubuhnya dan memilih kembali pada sarapan.

Merapi akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, dia juga merasa kesal ketika Airin membuatnya terbang dan menjatuhkannya seperti sekarang.

"Airin." Merapi memanggilnya dengan nada merajuk kesal.

"Apa, sayang?"

Merapi kembali mengembangkan senyumnya. Tanpa aba-aba, dia memeluk Airin dan melayangkan kecupan pada pipinya berkali-kali.

Airin yang tengah mengunyah makanan lantas tersedak dan terbatuk beberapa kali.

"Merapi, astaga."

"Hm?" Merapi masih setia dengan aktivitasnya mengabaikan Airin yang memintanya menjauh.

"Udah, gue mau minum!" Airin berdecak kesal.

Merapi akhirnya berhenti. Namun, pelukannya tak dia lepaskan.

"Kenapa gak di lepas?" Airin melirik Merapi seraya mengambil gelasnya.

Merapi tersenyum. "Mau lihat Istri minum," jawabnya.

"Geli, ih!"

"Gak papa. Buruan minum aja, gak usah malu-malu."

Airin memutar bola mata malas. Dia meneguk air minumnya dengan pelan.

Setelah selesai, dia menyimpan gelas itu. Tanpa di duga, jempol tangan milik Merapi terulur mengusap sudut bibir Airin dengan lembut.

"Udah lama gak kayak gini, Rin. Hati gue rasanya ringan banget." Merapi memeluk Airin sedikit erat dan menyembunyikan wajahnya pada leher gadis itu.

Airin tersenyum. Gadis itu mengangguk. "Iya."

"Lo seneng gak? Kalau gue seneng banget." Merapi menatap Airin seraya tersenyum lebar.

"Iya, gue seneng."

"Beneran?!" Merapi menatap Airin dengan mata berbinar.

Airin mengangguk seraya tersenyum.

Keduanya sama-sama diam setelah itu. Merapi masih setia memeluk Airin dan terus menerus menggelengkan kepalanya di leher Airin.

"Ngomong-ngomong, gue boleh nanya sesuatu?" tanya Airin.

"Boleh."

"Selama kita pacaran, gue gak pernah lihat Mama lo. Lo juga gak pernah cerita, dia ... Ke mana?"

Merapi diam. Cowok itu sontak menegakan badannya dan menatap ke arah Airin. "Bisa bahas yang lain?" tanya Merapi.

"Oke. Maaf." Airin paham, sepertinya dia terlalu cepat bertanya soal ini.

Merapi beranjak, cowok itu membereskan piring bekas sarapan dan memilih menyimpannya ke tempat cucian piring.

Airin menghela napas pelan. Sepertinya Merapi marah, begitu pikir Airin.

"Apa sesensitif itu?" gumam Airin.

Airin berdecak pelan dan memilih menjatuhkan keningnya pada meja.

Sampai tiba-tiba, Airin merasakan seseorang kembali duduk di sampingnya.

Gadis itu mendongak.

"Mama gue pergi. Dia ninggalin gue dan milih buat pergi sama pria yang lebih kaya daripada Papa." Merapi mulai bercerita.

Airin mengerutkan alisnya. Bukankah Merapi marah? Kenapa sekarang dia malah bercerita?

Merapi menatap Airin. "Mau denger, gak?"

"Iya, iya. Gue denger. Jangan marah-marah dong." Airin menegakkan tubuhnya dan mengubah posisi menjadi menatap ke arah merapi.

Merapi meliriknya sebentar. "Setelah lo tau, tolong jangan benci sama gue ya, Rin."

"Buat apa?"

"Antisipasi aja."

"Enggak akan. Kan udah suami Istri, kalau kabur harus ke pengadilan dulu. Ribet." Airin menjawab cepat.

Merapi tertawa. "Bener juga."

"Lanjut cepet."

"Yang jelas, di saat Papa sibuk sama wanita-wanita mainannya, Mama masih bisa ngasih gue kasih sayang yang cukup. Walau begitu, Mama gue sering pergi malem dan pulang pagi-pagi. Keadaannya berantakan. Dulu gue masih terlalu kecil buat ngerti. Mama selalu bilang sama gue, kalau dia kerja."

Merapi menghela napas pelan. "Sampai akhirnya, Mama milih cerai sama Papa. Gue gak paham apa masalahnya. Tapi, pas Mama gue pergi dari rumah, dia dijemput sama laki-laki yang gue taksir dia lebih kaya daripada Papa. Setelah itu, gue gak pernah ketemu Mama lagi. Papa juga makin jadi waktu itu."

"Sampai gue tumbuh besar, akhirnya gue paham. Wanita-wanita yang suka dibawa pulang sama Papa itu wanita bayaran, dan Mama sering pergi malem ... Mungkin buat jual diri. Gak tau juga sih, yang jelas gue benci mereka. Malah, gue sempet mikir, gue lahir karena k****m bocor."

"Gue benci Papa, karena dia gak pernah ngasih kasih sayang sama gue. Gue benci Papa, karena dia selalu bawa wanita-wanita itu. Gue berpikir, Mama sakit hati. Makannya dia pergi. Tapi, ketika gue inget Mama pergi sama laki-laki, gue rasa ... Mama sama Papa gak ada bedanya."

"Semenjak saat itu, gue milih buat tinggal pisah sama Papa. Papa beli rumah ini. Tapi dia bilang, ini punya gue. Tapi rasanya gak cukup, Rin. Yang gue mau, gue dikasih penjelasan yang detail soal masa lalu itu, dan gue ... Pengen Mama gue balik. Itu aja. Tapi itu gak mungkin. Gue aja bahkan gak tau Mama di mana."

"Papa mulai deketin gue, dia juga mulai berhenti main wanita, tapi rasa sakit hati gue susah banget buat ilang, Rin. Bahkan, gue sama Papa gak pernah ngobrol yang bener-bener deket banget kayaknya orang tua sama anak. Lebih tepatnya, gue yang jaga jarak," kata Merapi.

Merapi menghela napas pelan. "Semenjak saat itu juga, gue berpikir semua wanita cuman butuh uang gue. Sama kayak wanita bayaran Papa, dan sama kayak Mama."

"Tapi gue salah. Dan sekarang gue nyesel pernah masuk ke pergaulan yang enggak seharusnya," jawab Merapi.

Airin paham sekarang. Pergaulan Merapi bukan karena keinginannya. Itu semua mengalir begitu saja karena rasa sakit hati yang dia simpan sendirian perihal perlakuan orang tuanya.

"Gue minta maaf, Rin. Gue minta maaf karena sebelum lo, gue udah kasih yang seharusnya menjadi hak lo, sama banyak wanita yang bahkan enggak begitu gue kenal."

Airin diam. Gadis itu mengangguk. "Gak papa."

"Lo gak benci gue kan?" Merapi menatap Airin.

Airin menggeleng. "Enggak, kok."

"Mama gue juga pergi ninggalin gue, Pi. Kalau aja gue bisa, sebenernya gue pengen benci sama dia. Tapi gue gak mampu, dia orang tua gue. Sejahat apapun dia, dia tetep orang yang lahirin gue."

Merapi diam.

"Mau denger?" tanya Airin.

Merapi mengangguk. "Boleh?"

"Kan gantian, biar sama-sama tau."

Merapi mengangguk lagi. "Oke, gue dengerin."

Airin menarik napasnya pelan. "Waktu gue masih kecil, rumah gue gak pernah adem, Pi. Setiap hari, yang gue denger keributan sama barang-barang jatuh ke lantai. Dulu sempet tinggal di rumah kecil, karena Papa bukan orang kaya."

"Orang tua Mama gak pernah setuju Mama sama Papa nikah. Setiap kali keluarga kami berkunjung ke rumah orang tua Mama, Papa pasti terus-menerus di sindir dan di hina habis-habisan karena dia miskin."

"Mereka bilang, Mama nikah sama Papa cuman malapetaka. Karena, dari kecil, Mama udah terbiasa hidup enak. Mungkin itu yang bikin keluarga Mama gak terima ketika Mama nikah sama Papa dan diajak hidup susah."

"Makin ke sini, semuanya makin kacau. Mama sama Papa udah main tangan. Mama yang udah enggak tahan akhirnya pergi ninggalin gue sama Papa. Gak lama kemudian, Papa dapat telfon. Dan itu dari Nenek gue, dia bilang Papa harus bercerai sama Mama."

"Semenjak saat itu, gue sama Mama gak pernah ketemu. Gue berusaha nyari dia, tapi rumah Nenek gue ternyata udah kosong. Pernah satu kali gue ketemu sama Tante gue, gue tanya keberadaan Mama di mana, dan dia bilang, Mama udah menikah lagi dan dia udah punya anak. Yang jelas, anaknya terlahir dari keturunan orang kaya."

"Singkat cerita, Mama sama Papa cerai. Dan semuanya berjalan gitu aja, Papa yang berusaha kerja, kerja, dan kerja, bisa bangun perusahaan kecil dalam jangka waktu beberapa tahun, dia lupa diri."

Airin terkekeh pelan. "Kita udah bisa beli rumah waktu itu, Pi. Gue seneng. Tapi, Papa gak pernah tunjukin kasih sayangnya lagi setelah kepergian Mama. Apa-apa gue sendiri, berangkat ke sekolah sendiri. Bokap cuman kasih uang, karena dia bilang, segala sesuatu itu butuh uang."

"Setelah pindah, gue kira semuanya bakal membaik. Ternyata enggak, Papa bawa banyak wanita yang dulu gue kira itu temennya Papa. Tapi, setiap malam malah beda-beda, mereka juga nginep. Gue sering denger suara-suara aneh ketika gue bangun malem-malem."

Airin menunduk. Tangan Merapi terulur mengusap pundak Airin. "Kalau gak bisa, jangan diterusin."

"Enggak, gak papa. Semakin gue besar, gue paham mereka siapa. Gue marah sama Papa, gue minta dia berhenti. Tapi, yang gue dapet gue malah ditampar sama dia. Semenjak saat itu, Papa berubah jadi kasar." Airin tersenyum.

"Papa bilang, gue mirip sama Mama. Dari segi fisik, gue bener-bener mirip Mama. Papa benci itu. Selain itu, di darah gue juga mengalir darah Mama."

"Jadi kesimpulannya, keluarga Mama gak mau Nerima gue karena gue keturunan dari Papa yang bisa dibilang orang susah. Dan keluarga Papa benci sama gue karena gue keturunan Mama. Gue gak ngerti sama jalan pikiran mereka. Gue sempet pengen nyerah, tapi gue gak mau dicap lemah."

"Bahkan, ketika Papa nikah sama Mamanya Maudi, pun, Papa masih kayak gitu. Dia emang berhenti main wanita, tapi dia enggak berhenti pukul gue, Pi. Bahkan, semuanya malah bertambah sakit setelah mereka hadir. Papa selalu bangga sama Maudi, tapi enggak sama gue." Airin kembali melanjutkan ucapannya.

Gadis itu menghela napas pendek. "Karena gue bodoh, gue enggak pernah nurut, gue selalu cari masalah. Padahal, apapun yang gue lakuin gak pernah benar di depan Papa."

"Gue selalu bersikap sok tegar di depan Papa yang pukul gue, dorong, atau apapun itu. Gue selalu berharap, gue mati di tangan dia dan dia nyesel udah lakuin itu."

"Tapi sampai sekarang gue masih bertahan. Kebahagiaan gue gak pernah dateng. Dan penyebab kenapa kebahagiaan gue gak pernah dateng adalah, gue gak pernah jujur sama diri gue sendiri."

Airin membuang napasnya pelan. "Ya gitulah pokoknya. Gue udah biasa dapet kekerasan, Pi. Gue milih buat nikmatin karena gue berharap gue mati," kata Airin.

Merapi lantas terdiam. Matanya menatap wajah Airin dengan perasaan bersalah.

Alasan kenapa Airin selalu menantang Merapi adalah, karena dia memilih untuk menikmati luka itu sendirian.

Dia bilang tidak apa-apa bukan karena dia kuat, tetapi dia memilih menyembunyikan rasa sakitnya.

Dan jika saja Merapi tidak berhenti dan memilih terus menerus melakukan kekerasan fisik pada Airin,  Airin berharap dia mati di tangan orang yang menyakitinya.

Jika itu terjadi, penyesalannya akan lebih lama. Seumur hidup. Dan itu, adalah karma yang jauh lebih menyakitkan dibanding apapun. Dihantui rasa bersalah, tidak akan pernah tenang, dan terus kepikiran.

"A-Airin, gue---"

"Gak papa. Jangan dipikirin, Pi." Airin tersenyum.

Merapi bersimpuh di depan Airin dengan lututnya. Dia menunduk dan memeluk perut Airin dengan erat. "Maaf, Airin."

"Gak papa, Pi."

"Gue bego karena gue gak bisa ngerti. Gue bukan cowok yang baik buat lo. Maaf, Airin, gue minta maaf."

Airin menunduk. Dia mengusap rambut Merapi dengan pelan.

Apa ketika Airin bercerita pada Papanya, dia akan memeluk Airin sama seperti Merapi memeluknya?

Apa dia akan meminta maaf sama seperti Merapi yang meminta maaf padanya?

Mungkin, untuk yang satu itu hanya sekedar harapan.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Sebastian

Spam next yu!

Merapi otw 200k pembaca, aaaa thank you guys♥️

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro