Bagian 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Airin dan Merapi memilih berjalan kaki menuju penjual mie ayam di depan komplek.

Keduanya kini sudah sampai, setelah memesan, Airin dan Merapi memilih duduk sembari menunggu pesanan mereka siap.

Merapi melipat kedua tangannya di atas meja. Dia menatap Airin terus menerus seraya tersenyum.

"Lo kenapa, sih? Serem tau gak?" Airin menatap Merapi kesal.

Mendengar itu, Merapi lantas tertawa pelan. "Seneng aja. Kapan terakhir kali kita jalan kayak gini?"

"Udah lama banget, sih," jawab Airin.

"Maaf ya, Rin."

"Maaf aja terus."

Merapi mencubit pipi Airin dengan gemas. "Ya maaf aja. Gak tau buat yang mana, kesalahan gue banyak banget soalnya," kata Merapi.

"Mau sampai kapan terus-terusan minta maaf? Kan sekarang kita udah sama-sama terbuka. Yang udah-udah jangan dilakuin lagi, jangan minta maaf terus."

"Sampai gue bosen, Rin. Gue gak akan pernah berhenti minta maaf sama lo."

Airin menghela napas pelan. Setelahnya, gadis itu mengangguk pasrah. "Yaudah, deh. Terserah."

"Tapi, gue juga mau bilang makasih."

"Buat?"

"Karena lo masih mau terima gue padahal masa lalu gue enggak banget. Gue juga kasar sama lo, gue sering sakitin lo, gue sering banget buat lo kecewa. Makasih karena lo enggak mempermasalahkan itu, Rin. Makasih udah mau bareng sama gue." Merapi meraih tangan Airin dan mengusapnya dengan lembut. Tatapannya dalam dan tulus, dia benar-benar terlihat menyesal akan hal itu.

Gue cuman mau lo sembuh, Pi. Airin mengatakan itu dalam hatinya.

Terlepas dari apa yang Merapi lakukan padanya, Airin hanya ingin Merapi sembuh dan Airin ingin menemani kesembuhannya. Walaupun tak akan seratus persen Merapi bisa sembuh, Airin akan tetap berusaha menemaninya.

Dia sudah mau berubah, walau tidak menutup kemungkinan, Merapi akan kembali berulah.

Mereka juga sudah mau saling terbuka perihal apa yang terjadi dalam hidup mereka. Lagipula, Airin juga salah di sini, dia egois. Kesakitan yang Merapi alami, Airin juga menjadi salah satu penyebabnya. Jika terus dibiarkan dan Airin tetap memilih menjadi orang egois, semuanya akan semakin parah, kebahagiaan bisa saja tak datang padanya jikalau sifat itu tak Airin hilangkan, Airin takut dia malah menyesal nantinya.

Sifat munafik, pura-pura kuat, memendam semuanya sendirian, merasa bisa menanggung semuanya sendirian. Itu malah menjadi racun bagi dirinya sendiri.

Airin tahu, masa lalu Merapi sangat buruk. Dia sudah melakukan hal tak sepantasnya pada banyak wanita. Lantas, apa yang harus Airin permasalahkan? Itu masa lalu Merapi, urusan Merapi. Mau diperdebatkan selama apapun, tidak akan pernah bisa diubah.

Selama dia mau berubah, Airin akan mendukungnya.

Bukan Airin membenarkan dan semudah itu memaafkan dan menerima Merapi. Dia kasar, Airin tau. Tapi, dia ingin berubah, Airin akan mendukungnya.

Merapi pernah melakukan hal begini begitu pada banyak wanita, jika dia sudah meninggalkan semuanya, apa yang harus diperdebatkan?

Dan terpenting, Airin sudah terikat dengan Merapi. Meninggalkan Merapi? Mungkin, dulu Airin menginginkan itu. Namun, setelah mengetahui kondisi Merapi, Airin berpikir dua kali. Dan keputusan akhir, dia memilih memberi kesempatan pada Merapi untuk hidup bersamanya dan memperbaiki semuanya bersama.

Walau Airin tak pernah mengatakannya secara gamblang pada Merapi, anggap saja ini kesempatan terakhir. Dan, mungkin, biarpun apa yang diperbaiki tidak sempurna, setidaknya Merapi, ada kemauan untuk berusaha.

Dan juga, kini, hati Airin terasa ringan setelah mengikuti saran Sebastian. Dia juga merasa sedikit bahagia bersama Merapi.

"Gue juga makasih, Pi."

"Buat apa?"

"Teraktiran mie ayamnya," jawab Airin ketika mie ayam mereka sudah siap dan  di simpan tepat di depan mereka masing-masing.

"Selamat menikmati, Mbak, Mas." Si penjual tersenyum ramah.

Merapi mendengkus pelan. "Kirain makasih kenapa."

"Makasih, Mas." Airin membalas senyum si penjual.

Merapi sontak menarik dagu Airin dan melotot ke arah gadis itu. "Gak usah ganjen."

"Ya masa orang senyum dibales ketus?"

"Ya gak usah pokoknya. Makan cepetan. Kita pulang terus bawa si Meng jalan-jalan. Nyebelin banget asal senyum sama cewek orang." Merapi menarik tangannya dan mendumel dengan kesal.

Tangannya mengambil saos dan menuangkannya ke dalam mie ayam miliknya sendiri.

"Gak usah banyak-banyak, nanti sakit perut." Airin memperingati.

"Gak denger." Merapi kini beralih mengambil sambal dan menuangkannya juga.

Airin mengedikkan bahunya tak acuh. Gadis itu memilih ikut menuangkan saus, kecap, dan juga sambal.

Ketika Airin sudah siap untuk makan, matanya menatap ke arah Merapi yang tengah mengaduk mie ayamnya sendiri. "Kalau pedes, gue gak mau ya bagi-bagi mie ayam gue," kata Airin.

"Enggak akan, kok. Siapa juga yang mau minta punya lo." Merapi mulai memakannya.

Baru satu suap, Merapi langsung membelalakan matanya. Tangannya buru-buru mengambil gelas yang tersedia di sana dan menuangkan Air teh di ke dalamnya.

"Gimana? Pedes?" Airin tertawa lumayan keras. Gadis itu bahkan semakin tertawa lebar kala Merapi berlari keluar dan memuntahkan air yang dia minum.

"Mas, mas kenapa, Mas?" tanya penjual mie ayam itu panik.

"Airnya panas." Merapi menjawab dengan nada ketus.

Airin lantas menukar mie ayam milik Merapi dengan miliknya.

Sudah tau tidak kuat pedas, sok-sokan  marah seraya menuangkan saos dan sambal. Cibir Airin dalam hatinya.

Merapi kembali. Cowok itu menyimpan gelasnya seraya mengusap sudut bibirnya dengan kasar. "Lidah gue melepuh kayaknya," ujar Merapi.

"Dih, salah sendiri asal minum."

"Ya kan pedes."

"Yaudah, makan lagi. Yang ini gak pedes, kok." Airin tersenyum seraya menyentuh mangkok miliknya yang sudah berada tepat di depan Merapi.

Merapi diam, lelaki itu menatap mie ayam di depannya dan juga Airin secara bergantian. "Rin? Gak usahlah, balikin punya gue." Merapi hendak meraih miliknya. Namun, Airin menjauhkannya dan menggeleng.

"Gue sengaja loh, Pi. Yang itu enggak terlalu pedes karena gue tau endingnya bakal kayak tadi."

"Lo bisa sakit perut kalau makan yang itu. Biar gue pesen lagi."

"Gak usah, kan duitnya mau dipake jalan-jalan sama si Meng nanti sore. Gimana, sih?"

"Yaelah, Rin, sepuluh rebu doang." Merapi mendengkus kesal.

Airin tersenyum dan menggeleng. "Sepuluh rebu bisa beli cemilan buat di jalan."

Merapi menghela napas pelan. Akhirnya dia mengangguk pasrah walau khawatir.

Airin memakan mienya dengan santai. Gadis itu bahkan sama sekali tak menunjukkan ekspresi kepedasan seperti dirinya.

Padahal, Airin dan Merapi sama-sama tidak terlalu suka dengan pedas.

"Rin, udah." Merapi menahan tangan Airin.

"Enak loh, Pi." Airin masih memakannya.

Merapi menghela napas pelan. Cowok itu mulai memakan mie ayam yang ditukar oleh Airin, tadi. Namun, perasaannya gelisah, matanya terus melirik pada Airin.

•••

"Rin, jadi?"

"Bentar."

Sepulangnya dari penjual mie ayam, Airin langsung berlari ke kamar mandi.

Ini sudah ke tiga kalinya Airin bulak balik keluar masuk ke dalam sana.

Rencana menjemput si Meng untuk bermain mendadak tertunda karena Airin begitu lama.

Merapi memilih duduk di atas lantai seraya bersandar di samping pintu kamar mandi.

Dia menunduk, mendadak, Merapi merasa bersalah karena telah membiarkan Airin memakan mie ayam pedas karena ulahnya itu.

"Lo bisanya cuman nyakitin, Pi." Merapi menjatuhkan keningnya pada lengan yang kini tertopang pada lutut.

Beberapa menit setelahnya, Airin tak juga keluar. Merapi menatap pintu kamar mandi.

Namun, dia tak mampu untuk mengatakan apapun lagi. "Padahal gue udah janji buat bikin Airin bahagia," gumamnya lagi.

Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Airin keluar, gadis itu memegangi perutnya dan menghela napas pelan. Dia menunduk menatap Merapi yang duduk di atas lantai. "Lumayan lega," kata Airin.

Gadis itu ikut duduk di samping Merapi. Kemudian dia menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki itu. "Gak ngapa-ngapain tapi capek," ujar Airin lagi.

Tangan Merapi terulur mengusap pipi Airin. Kemudian, dia mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Maaf, Rin," kata Merapi.

"Maaf kenapa lagi?"

"Harusnya tadi gue larang lo."

"Lah, kan gue yang pengen. Lo gak salah kali." Airin menatap Merapi seraya tercengir lebar.

Kemudian, gadis itu mengecup pipi Merapi sekilas. "Udah, jangan ngomong maaf lagi."

Merapi sontak memegang pipinya. Dia membelalakan mata seraya menatap Airin.

"Kan jalannya udah, Bang. Tinggal dibayar. Berarti saya lunas, ya," kata Airin seolah dia adalah penumpang angkot seperti apa katanya tadi pagi.

Merapi lantas tersenyum. Dia menarik Airin dan memeluknya dengan erat. "Makasih."

"Bang, maaf, ya. Supir angkot enggak peluk penumpang." Airin menepuk-nepuk lengan Merapi beberapa kali.

Merapi lantas semakin mengeratkan pelukannya. "Biarin, penumpang yang ini enggak akan saya lepasin soalnya," jawab Merapi.

Airin tertawa. Mendengar itu, hati Merapi menghangat. Walaupun jujur, dia hampir saja cemas, tadi.

Cemasnya akan sangat berlebihan, sama seperti marahnya. Namun, Airin bisa membuat suasana menjadi tenang.

Airin diam-diam tersenyum ketika Merapi mencium keningnya dengan lembut.

Airin sengaja melakukan ini, dia ingin membuat Merapi nyaman. Dengan begitu, sedikit demi sedikit Merapi akan sedikit membaik. Anggap saja ini sebagai dukungan untuk membantu kesembuhan Merapi. Walau sejujurnya, saat ini perutnya benar-benar sakit.

Tapi Airin tidak bohong, mie ayam tadi sangat enak. Itu pure kesalahan Airin.

"Sama gue terus, ya? Jangan ke mana-mana." Merapi berucap pelan.

"Lo juga. Kalau ada apa-apa, jujur, ya? Jangan pendem semuanya sendirian. Cerita sama gue, biar gue bisa bantu kalau emang gue bisa."

Merapi mengangguk. Tangannya mengusap pipi Airin dengan lembut. "I love you."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Spam next kuy

Jangan lupa Follow Instagram :

Merapi.wicaksana
Airin.thalita.utami_
Octaviany_indah

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro