Bagian 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Merapi tidur?"

Airin mengangguk kala Sebastian melayangkan sebuah pertanyaan padanya.

Gadis itu memilih duduk di samping Sebastian. Dan tangan Sebastian tanpa permisi terulur menyentuh kening Airin. "Muka lo pucet banget."

"Iya, tadi habis makan mie ayam. Bulak balik ke kamar mandi gue, Bang. Tadi lagi istirahat, tiba-tiba lo Dateng bawa Alvin sama Larissa."

Sebastian membelalakan matanya. Lelaki itu lantas menepuk keningnya sendiri. "Rin, gue minta maaf. Gue beneran gak tau, soalnya tadi pagi lo baik-baik aja."

"Gak papa. Udah kejadian juga. Malah, gue makasih banget sama lo. Berkat lo, mereka mau minta maaf ke sini."

Sebastian mengangguk. Cowok itu menghela napas pelan. "Lo udah mulai ngerti cara hadapin Merapi ya sekarang," kata Sebastian.

"Sedikit. Walaupun gue agak ngeri juga kalau gue salah sikap." Airin tertawa pelan.

"Jangan pernah tinggalin Merapi ya, Rin."

Airin menatap Sebastian heran. Alisnya berkerut. "Gue kan di sini, emang gue mau ninggalin dia ke mana?" tanya Airin.

"Antisipasi aja. Takutnya lo berubah pikiran, terus milih buat mundur, gitu."

Airin mengangguk. "Gak akan kok. Gue bakal terus bareng sama Merapi."

Keduanya sama-sama diam dan tak lagi membicarakan apapun. Sebastian menggerankan kakinya sebagai penghilang rasa bosan.

Seakan teringat sesuatu, Sebastian kembali mengangkat suara. "Bokap lo gimana?"

"Belum tau, kayaknya besok gue mau ke rumah sakit. Gue juga mau ke kost buat ambil barang-barang gue."

"Lo ngekost?"

"Sempet. Tapi enggak pernah gue tempatin sih. Soalnya ya ... Gitulah, rumit ceritanya."

Sebastian mengangguk. "Merapi tau?"

"Dia gak tau."

"Mau dikasih tau?"

"Nanti gue kasih tau."

"Bang, kalau misalkan suatu hari nanti terjadi sesuatu sama gue, gue minta tolong jagain adik gue, ya. Namanya Reihan, umurnya baru 5 tahun. Gue sayang banget sama dia." Airin menatap Sebastian.

Sebastian lantas mengacak puncak kepala Airin beberapa kali. "Gue jagain sama Kakaknya sekalian."

"Bisa aja."

Airin beranjak, gadis itu memilih pamit pada Sebastian untuk kembali ke kamar Merapi.

Sebastian menghela napas pelan. Airin gadis yang baik, dia pantas mendapatkan bahagia yang lebih daripada ini. Sebastian berjanji akan menjaganya sama seperti dia menjaga Merapi.

"Airin, andai aja dulu gue lebih dulu kenal sama lo. Mungkin, lo enggak akan semenderita itu."

Merapi, gue minta maaf. Gue udah lancang suka sama Airin. Sebastian berucap dalam hatinya.

Namun, biarpun begitu, Sebastian tidak akan sejahat itu untuk merebutnya dari Merapi. Selama mereka baik-baik saja, Sebastian akan turut bahagia untuk mereka.

Di lain tempat, Airin menatap ruangan kamar Merapi. Gadis itu membuang napas pelan, dia tersenyum. Kemudian, dia memilih naik ke atas kasur dan mengusap kening Merapi dengan lembut. "Lo harus sembuh, Pi," kata Airin pelan.

Gadis itu merebahkan tubuhnya di samping Merapi. Memeluknya, dan menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. "Merapi, bangun," kata Airin.

"Hm?"

"Pengen ngobrol," ujar Airin.

Merapi menatapnya, lelaki itu tersenyum dan mencium kening Airin dengan lembut. "Ngobrol apa, hm?"

"Gak tau. Pengen ngobrol aja." Airin mengeratkan pelukannya.

Merapi terkekeh pelan. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Airin dengan lembut. "Lulus sekolah kapan, Rin?"

"Bentaran lagi."

"Mau lanjut kuliah?" tanya Merapi.

"Enggak."

Merapi mengerutkan alisnya. "Loh, kenapa?"

"Mending, uangnya dipake buat lo. Lagian, biaya kuliah kan mahal, lo jauh lebih butuh uang itu dibanding gue."

Merapi mengerutkan alisnya. "Maksudnya?"

"Enggak. Eh, tadi jalan-jalannya gak jadi loh."

"Besok sore kita jalan-jalan, ya?" Merapi mengusap pipi Airin dengan lembut.

Airin mengangguk. "Supir angkot mau nemenin penumpangnya?" tanya Airin.

"Iya, dianterin sampai tujuan."

Airin tertawa. Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya pada Merapi. "Makasih ya, Merapi."

"Buat apa?"

"Makasih aja."

"Makasih juga kalau gitu."

Airin mendongak, gadis itu mencium kedua pipi Merapi secara bergantian. "Buat yang sekarang, bayarnya duluan."

Merapi mengulum senyumnya. Lantas, dia mendorong Airin dan membalikan posisi menjadi di atasnya.

Mengecup bibir Airin berkali-kali, kemudian melumatnya dengan lembut.

Airin memejamkan matanya menikmati apa yang Merapi lakukan. Setelahnya, Merapi kembali ke posisi awal dan menarik Airin ke dalam pelukannya. "Tidur," kata Merapi.

"Curang, nih. Masa bayarnya banyak banget."

"Rugi banget ngasih sama suami." Merapi mendengkus pelan.

Airin tertawa. "Iya, deh, Suami."

"Lo diem aja deh, Rin. Bikin gemes tau gak?" Merapi menatap Airin seraya tersenyum. Kemudian, dia menenggelamkan wajah Airin di dadanya. "Tidur."

"Besok janji, ya?"

"Iya, janji."

•••

Esoknya, Airin memilih untuk pergi ke rumah sakit. Sedangkan Merapi, dia bilang, dia ada kelas hari ini. Maka dari itu, Airin tidak dilarang oleh Merapi untuk berpergian.

Merapi juga bilang, sore nanti mereka akan jalan-jalan. Karena kemarin batal, dia berjanji akan menepatinya sore nanti.

Langkah Airin berhenti tepat di depan ruangan Papanya. Ketika dia membuka pintu, hal pertama yang dia dapat adalah ... Papanya yang tengah terbaring lemah.

Airin menghela napas pelan. Ketika hendak melangkah masuk, Airin langsung ditarik oleh Maudi dengan pelan untuk berdiri di samping brankar Papanya. "Kondisi Papa makin buruk, Rin. Padahal, kemarin Papa udah membaik. Tapi pas malam tiba-tiba drop lagi," kata Maudi memberitahu.

"Airin." Winata memanggil Airin dengan suara yang sangat pelan.

Gadis itu melangkah maju. "Papa mau sesuatu?" tanya Airin.

"Maaf," ucapnya pelan.

Airin diam. Hatinya tiba-tiba terasa sesak mendengar itu. Setelah sekian lama, akhirnya kata itu keluar dari dalam mulut Papanya untuk Airin.

Namun, untuk mengatakan iya, rasanya begitu sulit. Airin bungkam.

"Airin, gue juga minta maaf sama kelakuan gue selama ini." Maudi mulai berbicara.

Airin menoleh, dia tertawa pelan. "Minta maaf?"

"Gue sadar gue salah, Rin. Gue sakit lihat Papa kayak gini. Mungkin, ini karma dari perlakuan kita sama lo. Gue sadar gue jahat banget, gue suka putar balikin fakta padahal yang salah gue."

"Airin, gue lakuin itu karena gue gak mau kehilangan kasih sayang seorang Papa yang enggak pernah gue rasain. Bokap kandung gue kasar, Rin. Dia kriminal, dia suka pukulin Mama, dia suka pukulin gue waktu gue kecil. Sampai akhirnya Papa di tangkap polisi, Mama sama Papa cerai. Beberapa tahun kemudian, Mama ketemu sama Papa lo, dia baik sama gue. Dia perhatian, tapi gue marah waktu gue tau dia punya anak seumuran gue." Maudi menunduk.

"Gue takut kasih sayang dia cuman buat lo. Gue pengen perhatian Papa cuman buat gue, tanpa gue sadar, gue bukan anak kandungnya. Gue gak tahu diri, Rin. Gue tau. Gue putar balikin semua fakta biar lo terlihat jelek di depan Papa."

"Jahat lo." Airin menatap Maudi. Tangan Airin terkepal. Gadis itu menatap ke arah Ranti yang tengah menatap ke arahnya juga.

Tak seperti Maudi yang terlihat menyesal, Ranti justru terlihat tak suka dengan kehadiran Airin.

"Gue udah menderita sebelum lo masuk ke keluarga gue! Papa udah kasar sebelum lo datang, tanpa lo lakuin itu semua, gue udah biasa dipukul sama Papa. Lo jahat, Maudi, Lo jahat! Dan apa tadi lo bilang? Papa kandung lo kasar?! Harusnya lo ngerti posisi gue gimana!" Airin mendorong Maudi kasar.

"Gue anak kandungnya! Gue!" Airin menepuk dadanya beberapa kali. "Tapi sekalipun gak pernah gue diperlakukan layaknya anak kandung. Gue kira, setelah kalian hadir semuanya bakal membaik. Tapi justru semuanya malah jadi tambah buruk, kacau! Lo pikir, selama ini gue diem karena apa? Karena gue berharap mati di tangan kalian!"

"Lo enggak mau perhatian bokap gue terbagi sama gue yang notabene anak kandung. Terus gimana sama gue, Maudi? Gue bahkan gak pernah dapet perhatian itu." Airin menjatuhkan air matanya. Namun, wajahnya memerah menahan emosi yang bergejolak di dadanya.

"Sakit, Mau! Sakit banget! Fisik gue, batin gue, semua disakitin. Semua dipukul secara nyata sama Bokap gue sendiri. Bahkan, kalau lo mau tau, enggak ada seorangpun di keluarga gue yang mau terima keberadaan gue. Mereka semua natap gue seolah-olah gue itu najis! Enggak pantas hidup bareng orang-orang suci."

Airin mengepalkan tangannya. "Setiap kali kenaikan kelas, yang gue dapet cacian karena gue bodoh! Setiap kali gue ikut tournament silat, enggak ada satu orangpun keluarga yang nonton gue. Tapi bagian lo? Papa juga ikut."

"Lo, gila, sarap, gak punya hati, gak ada otak!" Airin menunjuk wajah Maudi dengan kasarnya.

Airin di dorong dari belakang oleh Ranti sampai dia tersungkur ke lantai. "Berhenti bicara kasar sama anak saya! Kamu enggak diterima karena kamu bodoh, anak haram! Gak usah berharap lebih!"

"Gue bukan anak haram!"

"Lo juga, kan? Lo sengaja nutupi kebusukan anak lo di depan bokap gue biar lihat gue tersiksa? Tujuan lo apa?! Kita bahkan gak pernah saling kenal dari dulu!"

"Karena kamu itu beban! Keberadaan kamu cuman bikin pusing Papa kamu!"

"Ma, udah!"

"Lo yang beban, lo yang rusak kebahagian gue! Lo yang hancurin mimpi gue. Lo pikir gue mau nikah muda kayak sekarang? Kalau bukan karena Reihan sama Papa, gue juga gak mau korbanin diri gue demi lo sama Maudi!"

"Gue korbanin masa muda gue cuman demi keluarga yang bahkan gak tau caranya berterimakasih! Gue muak sama kalian, gue muak!" Airin berteriak. Gadis itu berdiri, dia menatap Papanya. "Airin maafin Papa, tapi Airin minta satu hal. Jangan pernah lakuin apa yang pernah Papa lakuin sama Airin ke Reihan!"

Airin hendak pergi. Namun, bahunya ditarik. Gadis itu menepis tangan Ranti. Namun, Ranti menampar wajah Airin dengan kencang sampai gadis itu mematung di tempatnya.

Prang!

Saat Airin menoleh, Ranti meraih gelas yang berada di atas nakas dan memukulkannya pada kepala Airin dengan cepat. Airin memejamkan matanya kala sebuah serpihannya masuk pada matanya. Kemudian, sisa beling yang masih dia pegang, dia tekan pada leher Airin dengan kuat.

Tangan Airin mencengkal pergelangan tangan Ranti. Matanya masih terpejam karena sakit, "Lepas!" teriak Airin.

Semakin Airin menahan tangan Ranti, semakin kuat dia menekannya pada leher Airin. Bahkan, darah kini sudah merambat turun hingga mengotori baju yang Airin kenakan.

"MAMA!" Maudi membelalakan matanya. Reihan sudah menangis di belakang sana.

"Minta maaf sama anak saya!"

"R-Ranti, berhenti!" Winata mencoba untuk bangun, melepas infusan dengan kasar, kemudian berusaha berdiri.

Pun, darah mengalir di kepala Airin, gadis itu merasakan perih dibagian leher dan kepalanya. "Lepas." Airin mendesis pelan.

"Minta maaf."

"Lepas!" Airin berucap dengan nada tinggi. Airin membuka matanya secara perlahan walau tak bisa terbuka sepenuhnya.

Srrt

"Arghh!" Airin yang awalnya hendak mencengkram semakin erat pergelangan tangan Ranti, terlepas  kala Ranti menepisnya dan beralih menancapkan pecahan gelas itu pada mata sebelah kiri Airin.

Airin mundur, menutup matanya dan berteriak.

"Airin." Winata menangkap Airin. Mereka jatuh ke lantai secara bersamaan. Airin dipelukannya.

Darah di lehernya mengalir semakin banyak membasahi bajunya. "Arghh!" Airin menangis, matanya benar-benar terasa perih.

Maudi menutup mulutnya. Mundur selangkah demi selangkah dan langsung memeluk Reihan yang bergetar ketakutan.

Airin menjauhkan tangannya. Berusaha membuka mata kembali dan melihat darah di tangannya. Dia menjerit histeris kala melihat darah yang mengalir tidak sedikit.

"TOLONG!" Maudi berteriak dia bahkan menjaga pintu agar Ranti tidak kabur.

Tak lama, orang-orang berdatangan. Sepertinya, mereka juga sudah ingin tahu sedaritadi, terlihat jelas ketika Maudi berteriak, mereka sudah menatap ke arah ruangan. Maudi menunjuk Ranti dengan gemetar.

Ranti yang masih diam karena syok dengan ulahnya sendiri terdiam kala dia dipegang oleh dua orang laki-laki.

"Cepet tolongin!" ujar salah satunya.

Airin dibawa menuju ruang IGD oleh seorang pemuda. Dia masih menangis dan menutup wajahnya dengan tangan.

"B-bawa dia ke kantor polisi. Dia hampir bunuh anak saya!" Winata menunjuk Ranti.

Ranti yang masih memegang serpihan beling itu bergetar. "M-mas---"

"Ayo, ikut kami."

Ranti benar-benar dibawa pergi oleh mereka. Dia berteriak meminta dilepaskan.

"Lepas! Maudi, tolong Mama!" teriak Ranti ketika dia diseret pergi.

Maudi diam, untuk menahan Mamanya, dia benar-benar tak kuasa.

Maudi menangis, menyesali perbuatannya selama ini. Andai saja Maudi bisa mendekatkan diri pada Airin, mungkin kejadian begini tidak akan pernah ada.

Mamanya membenci Airin karena Airin pembangkang sama seperti Papa kandung Maudi. Dia menganggapnya ancaman.

Jika saja Airin tidak selamat, Maudi akan menyesali dan menyalahkan dirinya seumur hidup.

Winata sudah dibantu oleh suster untuk naik ke atas brankar kembali. Dia menangis, menyesali perbuatannya sejak dulu, dan merasa  tidak berguna setelah Airin mengatakan semuanya tadi.

Seharusnya sejak dulu Winata sadar, Airin seringkali berbicara perihal itu. Namun dia memilih menutup mata dan telinga.

Kebenciannya pada Ibu Airin, membuatnya sulit untuk menerima Airin hanya karena wajahnya sama persis seperti Isterinya dulu.

"Kak Maudi jahat, Papa jahat, Mama juga jahat! Lei benci sama kalian! Kalian selalu sakitin Kakak!" Reihan mendorong Maudi dan berlari meninggalkan ruangan.

Dan kini, Reihan membencinya. Jika saja Airin tidak selamat, Winata tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri seumur hidupnya.

"Kak merapi, gue harus hubungin kak Merapi." Dengan tangan gemetar, Maudi menelepon Merapi.

Namun, telepon tak diangkat. Sampai akhirnya, Maudi memutuskan menelpon Arif.

Setelah sambungan terhubung, Maudi mengatakannya dengan nada gemetar. "O-Om, tolong kasih tahu kak Merapi, Airin masuk IGD."

•••

Setelah mendapat telpon dari Papanya, Merapi langsung pergi bersama sebastian menuju rumah sakit yang alamatnya sudah dikirimkan oleh Papanya.

Dan Papanya bilang, dia juga sudah berangkat menuju rumah sakit.

Ketika mobil sudah terparkir, Merapi langsung berlari diikuti oleh Sebastian.

Namun, langkahnya terhenti kala melihat Reihan yang tengah menangis di pelukan Papanya Merapi.

Sorot Merapi menajam ketika melihat Maudi. Dengan langkah besarnya, Merapi mendorong Maudi dan mencekik gadis itu dengan satu tangannya. "Apa yang keluarga lo lakuin sama Istri gue, hah?"

"Pi, tahan. Ini rumah sakit." Sebastian berusaha menarik Merapi. Namun, Merapi masih mencekik Maudi sampai gadis itu tak bisa bernapas.

"K-kak, a-aku minta maaf," ucap Maudi pelan.

"Pi!" Sebastian mendorong Merapi hingga dia jatuh ke lantai. Dada Merapi naik turun, matanya menyorot amarah pada Maudi. Namun, Sebastian langsung menahannya. Agar Merapi tak lagi menyerang Maudi.

Maudi terjatuh seraya memegang lehernya sendiri. Dia menunduk dan menangis.

"Airin, Bas! Airin di dalem. Gue yakin keluarganya yang bikin Airin masuk ke dalem sana. Mereka semua iblis, gak punya hati! Maju lo, anjing! Biar gue yang bunuh lo sekalian!" Merapi menunjuk Maudi.

"Merapi, udah!" Arif menatap Merapi tajam. "Mamanya Maudi yang lakuin itu. Dia udah dibawa ke kantor polisi."

"Anter gue, Bas! Anter gue ke sana! Biar gue yang bunuh dia!" Merapi hendak berdiri. Sebastian menahan bahunya.

"Terus ninggalin Airin?" tanya Sebastian.

Merapi melemah. Lelaki itu meremas dan menarik rambutnya dengan kasar. "Airin," lirih Merapi.

"Airin baru aja senyum, Bas. Airin baru aja bahagia, kenapa dia harus masuk ke sana? Gue gagal jaga dia, gue gagal."

Sebastian menghela napasnya. Dia juga khawatir dengan keadaan Airin sekarang.

"Airin gak papa, Pi. Dia kuat, gue yakin."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Ranti

Maudi

Sebastian

Reihan

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro