Bagian 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu ruangan terbuka. Tanpa aba-aba, Merapi beranjak, dia mendorong Dokter yang baru saja keluar dan masuk begitu saja.

"Mas, jangan masuk!"

"Diem!" Merapi menunjuk suster yang melarangnya. Lelaki itu berjalan mendekati Airin.

Matanya memanas melihat perban yang melilit di mata sebelah kiri Airin. Gadis itu masih memejamkan mata, di bagian leher juga terdapat luka.

"A-Airin." Merapi meraih tangannya. Mengenggamnya dengan erat, dan mencium punggung tangan itu dengan lembut.

"Tolong jangan tinggalin gue, Rin. Lo kuat, kan? Lo pasti bakal sembuh, kan?" Merapi merapikan rambut Airin dengan lembut.

Tangan Merapi bergetar takut. Bahkan, jika saja Airin bisa merasakan, tangan Merapi kini terasa begitu dingin.

Ketakutan itu muncul lagi, kali ini Merapi sulit mengendalikannya. Gadis yang dicintanya terbaring lemah di sini.

"Mas."

"Gak papa." Dokter menahan suster yang hendak menegur Merapi.

Merapi menunduk, menjatuhkan kepalanya pada tangan Airin yang kini tengah digenggamnya.

Mereka baru saja bahagia kemarin. Airin baru saja tersenyum, mereka baru saja memulai. Kenapa harus begini? Kenapa Mamanya Maudi begitu jahat sampai-sampai membuat Airin seperti ini?

"Merapi." Airin membuka matanya. Suara itu sangat pelan nyaris tak terdengar, mata sebelah kanan Airin melirik ke arahnya.

Mendengar suara itu, Merapi lantas mendongak. "Rin, apa yang sakit? Bilang sama gue, apa yang sakit?" Merapi mengusap air mata Airin yang jatuh membasahi pipinya.

"Jangan nangis, bilang sama gue bagian mana yang sakit?"

Airin hendak berbicara. Namun, dia terlihat sulit, dia hanya membuka mulutnya seolah-olah ingin memberi tahu sesuatu.

"Pelan-pelan, mau ngomong apa, hm?" Merapi mendekatkan wajahnya pada Airin agar telinganya bisa mendengar apa yang Airin katakan.

"Rei." Airin menyebut nama itu dengan pelan.

"Reihan! Panggil anak kecil di depan ke sini. Cepet!" Merapi menunjuk suster dengan panik. Kemudian, dia mengangguk pada Airin. Tangannya masih setia mengusap pipi gadis itu.

Airin memejamkan matanya lagi. Alisnya berkerut menahan sakit. Dia menarik tangannya yang tengah digenggam oleh Merapi dan terulur menyentuh lehernya sendiri. "Sakit," ucap Airin pelan.

"Sakit? Gue harus gimana biar gak sakit, Rin? bilang sama gue, gue harus gimana?" Merapi mengepalkan tangannya.

Selama Merapi mengenal Airin, dia tak pernah melihat Airin begini. Ini benar-benar membuatnya takut. "Gue harus gimana, Rin? Gue harus gimana?" Merapi menjatuhkan kepalanya pada sisi brankar, tangannya meremas rambutnya sendiri dan menangis. Merasa dirinya benar-benar tak berguna di saat seperti ini.

"Kakak!" Reihan berlari masuk.

Melihat Reihan, Merapi langsung menggendongnya dan mendudukan pria kecil itu di samping brankar.

"Kakak kenapa? Kakak halus sembuh. Kan Lei belum besal. Lei belum jagain Kakak." Reihan meraih tangan Airin dan menggenggamnya dengan dua tangan mungil miliknya.

Tangan Airin terulur menuju puncak kepala Reihan. Mengusapnya dengan lembut dan tersenyum.

Lagi-lagi, Airin terlihat ingin mengatakan sesuatu namun sulit dia ucapkan. Karena sulit, air mata Airin kembali jatuh membasahi pipinya.

"Udah selesai," ucap Airin.

Tangan Merapi bergetar mendengar itu. Dia menggeleng. "Enggak, enggak, Rin. Apa yang selesai?"

"Papa."

"Airin, jangan ngomong aneh-aneh."

Airin melirik Merapi. Gadis itu menggerakkan jarinya meminta Merapi mendekat.

Merapi meraih tangan Airin dan mencium keningnya dengan lembut. Dia menangis. "Kenapa, Rin?" tanya Merapi pelan.

"Makasih."

"Makasih apa? Jangan bilang kayak gitu, lo bikin gue takut."

"Mau istirahat." Airin berbisik sangat pelan dengan susah payah.

Merapi menjauhkan wajahnya. Dia menatap Airin dan menggeleng. "Boleh, di rumah aja, ya? Mau?" tanya Merapi.

Merapi memeluk Airin. Dia menggeleng kuat, dia tak ingin mendengar apapun lagi.

Di bahunya, Merapi bisa merasakan Airin tersenyum. "Makasih," kata Airin lagi.

Sampai akhirnya, tubuh itu melemas. Merapi tak lagi merasakan embusan napas di bahunya.

"Airin," panggil Merapi pelan.

"Airin." Merapi menjauhkan tubuhnya. Menatap wajah Airin yang kini sudah terpejam.

Tangannya terulur menyentuh denyut nadi di tangan Airin. Namun, Merapi tak merasakan apapun. Dia menggeleng tak terima.

"AIRIN, BANGUN!" Merapi menggerakkan bahu Airin dengan tangannya.

"Kakak ...." Reihan diam. Sampai akhirnya, anak laki-laki itu menggerakkan tangan Airin dengan kuat. "Kakak, kakak kenapa?" teriak Reihan bersamaan dengan tangisnya.

"Mas, tolong keluar dulu, ya. Biar Dokter yang periksa."

"ENGGAK!" Merapi berontak. Reihan sudah digendong oleh suster lain dan dibawa menuju luar ruangan.

Merapi masih berontak. Dua suster yang mencoba meminta Merapi keluar tidak bisa menanganinya.

Ketika Dokter mulai memeriksa keadaan Airin pun, Merapi masih berteriak dan mendorong dua suster yang menahannya dengan kuat.

"Inanillahi wa innailaihi rojiun. Pasien sudah berpulang."

"JAGA OMONGAN LO!" Merapi menunjuk Dokter di depannya. Kemudian, dia menatap Airin.

Tangannya kembali menggerakkan bahu Airin. "Rin! Jangan bercanda, bangun!" teriak Merapi.

"Mas, sabar, kasihan pasien---"

"Diem atau gue acak-acak ruangan ini?!"

"AIRIN! BANGUN! LO BILANG LO GAK AKAN KE MANA-MANA, KAN?!"

"Merapi!" Sebastian masuk, lelaki itu menahan tubuh Merapi dan menyuruhnya untuk mundur.

Merapi menutup matanya dengan satu tangan. Dia menggeleng. "Gak, Bas, gak mungkin," ujar Merapi pelan.

"Gak mungkin Airin pergi, gak mungkin!" lanjutnya.

Sebastian sontak terdiam. Matanya langsung menatap ke arah Airin yang kini terbaring di atas brankar sana.

Dia tak mampu mengatakan apa-apa.

"Bang, kalau misalkan suatu hari nanti terjadi sesuatu sama gue, gue minta tolong jagain adik gue, ya. Namanya Reihan, umurnya baru 5 tahun. Gue sayang banget sama dia."

Sebastian menepuk pundak Merapi. "Ikhlas, Pi."

"Airin baru aja bahagia, Bas!"

"Airin lebih bahagia sama pilihannya! Jangan egois." Sebastian tidak tahu caranya untuk menenangkan Merapi.

Dadanya juga sesak, dia menyesal karena telah gagal menjaga Airin. Jika saja dia tahu tadi pagi adalah kali terakhir mereka bertemu, Sebastian akan mengikutinya dan memilih bolos kuliah.

Airin pernah bilang, dia berharap mati di tangan orang yang telah menyakitinya. Dia ingin mereka menyesal seumur hidup.

Apa karena itu Airin memilih pergi? Apa karena Mamanya Maudi sudah menyakiti Airin, akhirnya Airin memilih untuk meninggalkan semuanya seperti saat ini?

Gak gini caranya, Rin. Lo punya gue sekarang. Lo punya Merapi, kenapa lo milih buat pergi? Sebastian menatap Airin.

Merapi mulai melemah. Dia menangis di pelukan Sebastian.

Apa kebahagiaan yang kita buat kemarin, kejujuran yang kita ungkapin kemarin, adalah cara lo buat pamit sama gue, Rin? Apa itu cara lo buat kasih tau, kalau lo akan menemukan kebahagiaan yang lebih daripada itu? Merapi bertanya dalam hatinya.

"Apa ini balasan Airin karena gue terlalu sering sakitin dia, Bas?" Merapi menatap Sebastian.

Sebastian menggeleng pelan. Dia menepuk pundak Merapi tanpa mengatakan apapun.

"Tolong urus jenazahnya." Setelah mengatakan itu, Sebastian mengajak Merapi untuk keluar.

Ketika sampai di luar, Merapi langsung menjatuhkan dirinya seraya bersandar pada tembok dan menangis.

"Airin udah pulang," ujar Sebastian pada Arif.

"Dokter udah kasih tau." Arif menepuk bahu Sebastian.

Sedangkan di kursi sana, Reihan tengah menangis sendirian. Maudi ada di depannya, namun dia terlihat tak berani mendekati Reihan.

"Om ke ruangan Papanya Airin dulu, ya. Biar bagaimana pun, dia berhak tau."

Sebastian mengangguk.

Lelaki itu melangkah mendekat ke arah Reihan. Bersimpuh di depannya, dan menghapus air mata bocah kecil itu dengan lembut. "Namanya Reihan, ya? Adiknya Kak Airin?"

Reihan mengangguk.

"Kak Airin pernah bilang loh sama Abang, katanya dia sayang banget sama Reihan. Sekarang, Kak Airin udah bahagia, jadi Rei jangan nangis, ya. Soalnya, kalau anak cowok itu harus kuat."

"Tapi, Lei belum besal. Lei belum jaga Kakak, Bang."

"Bisa kok, Rei tinggal doain Kakak. Itu juga sama aja kok Rei jaga Kakak." Sebastian tersenyum.

Reihan mencebikkan bibirnya menahan tangis. "Kakak udah bahagia ya, Abang?"

"Iya, Kakak udah bahagia."

"Belalti Kakak enggak akan dipukulin lagi?"

Sebastian diam. Lelaki itu berusaha menahan tangisnya kemudian tersenyum, "Enggak akan."

"Belalti Lei jangan nangis karena Kakak udah bahagia? Enggak akan dipukulin, enggak akan beldalah lagi kayak tadi?"

Sebastian mengangguk. "Tos dulu."

Reihan membalas tangan Sebastian. Kemudian, dia memeluk Sebastian dan menangis lagi.

Sebastian memejamkan matanya. Matanya melirik ke arah Merapi yang masih diam di tempatnya.

"Lei benci sama Papa, Mama, sama kak Maudi. Meleka jahat, Lei gak mau tinggal sama meleka," ucap Reihan.

Maudi yang mendengar perkataan Reihan diam. Dadanya sesak. Apa ini yang Airin rasakan ketika tak ada seorangpun yang menyukainya? Atau bahkan, lebih dari ini?

Dia benar-benar tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Maudi akan pergi dari rumah Airin dan pulang pada neneknya. Dia tak pantas berada di sana lagi, Ibunya sudah membunuh Airin. Padahal, selama ini, Maudi yang salah, Airin sama sekali tidak salah.

Dan mulai sekarang, hidupnya akan terus dihantui rasa bersalah.

"Rei mau tinggal sama Abang?" Sebastian bertanya seraya mengusap punggung mungil Reihan.

"Lei mau. Lei gak mau pulang ke lumah. Lei gak mau sama meleka."

Sebastian mengangguk dan tersenyum kecut.

Airin, gue janji bakal jaga adik lo. Gue juga bakal jaga Merapi. Kalau emang ini pilihan lo, tolong jangan terus menerus bikin Reihan sama Merapi inget sama lo secara enggak wajar. Kasihan mereka. Gue tau lo sayang mereka, Rin.

"LO!" Merapi beranjak kala melihat Winata yang berada di kursi roda di dorong oleh Arif.

Merapi hendak menyerangnya. Namun, Sebastian buru-buru berlari dan menahan Merapi.

"ANJING! PAPA MACAM APA LO, HAH?! SENENG LO LIHAT AIRIN MATI, SENENG LO LIHAT ISTRI LO BUNUH ANAK LO?!"

"GUA PASTIIN LO GAK AKAN BAHAGIA, ENGGAK AKAN PERNAH!"

Winata diam. Air matanya jatuh. Dia menyesal, sangat. Dia sudah membenci Airin secara berlebihan. Padahal, dia memiliki waktu yang begitu banyak bersama Airin. Namun, Winata menyia-nyiakannya.

Setelah putrinya pergi, barulah sadar. Kenapa di saat dia sudah meminta maaf, Airin memilih untuk meninggalkannya?

"AIRIN BILANG SAMA GUE, DIA MAU MATI DI TANGAN PAPANYA. PUAS LO SEKARANG?!"

"S-saya gak bunuh Airin." Winata menggeleng dan mengusap air matanya.

"Lo bunuh dia secara perlahan, anjing! Lo bahkan gak tau kan kalau gua, gua juga sakitin dia! Lo kasih anak lo ke gua, di saat lo sakitin dia juga. Apa lo mikir sakitnya dia kayak apa, hah?!" Merapi menunjuk wajah Winata dengan marah.

"Merapi, cukup!"

"Diem!" Merapi menatap Papanya marah.

"Pi, udah, Pi. Kasihan Airin." Sebastian mengusap bahu Merapi.

"Airin gak bahagia nikah sama gue, dia minta putus sebelum gue sama dia dijodohin. Dia lakuin semuanya demi perusahaan lo! Dan lo gak tau diri!"

Sebastian menggeleng. "Airin bahagia sama lo, Pi. Udah."

"Enggak, Bas! Dia gak bahagia sama gue. Biar Bokapnya tau sekalian gimana bejatnya gue sakitin dia. Gue pukul anak lo, gue dorong dia, gue bikin banyak luka di tubuh dia!" Merapi memukul dadanya dan menatap ke arah Winata.

Winata tak pernah tau jika Merapi juga sama kasarnya. Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Marah? Jelas-jelas ini salahnya, dia yang menjadi penyebab kekacauan hidup Airin.

"Berhenti, Merapi! Ini rumah sakit!"

Merapi akhirnya diam. Dia mengepalkan tangannya.

"Airin, gue enggak tahu bakal sekacau apa gue setelah ini."

Selesai?

Atau

bersambung?

Kesan setelah baca part ini?

Satu part lagi ending nichh. Tamatin sekarang, atau besok? 300 komentar auto publish nanti malem.

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Sebastian

Reihan

Winata

Maudi

Spam next

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro