Bagian 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bas, kamu tolong urus keperluan Airin, ya? Om sama Papanya Airin mau ke kantor polisi buat urus Mamanya Maudi."

Sebastian yang tengah menggendong Reihan mengangguk. Lelaki itu lantas menatap ke arah Merapi yang tengah duduk di kursi koridor seraya menatap ke arah lain.

"Sebastian harap, dia dapat hukuman yang setimpal."

Arif mendorong kursi roda Winata. Sebelumnya, dia sudah meminta izin pada pihak rumah sakit untuk membawa Winata sebentar.

Setelah mendapat anggukan dari Sebastian, Arif akhirnya memilih membawa Winata pergi.

"Rei, Abang mau ke toilet dulu. Kamu tunggu dulu gak papa?" Sebastian menurunkan Reihan.

Pria kecil itu mengangguk. Setelah mendapat anggukan dari Reihan, Sebastian memilih melangkah pergi.

Ketika sampai di lorong sepi, Sebastian menjatuhkan dirinya seraya bersandar pada tembok. Dia memeluk kakinya dan menjatuhkan keningnya pada lutut. Dia menangis.

"Kenapa semalam lo gak bilang kalau lo pamit, Rin?"

Tanpa Sebastian tau, Reihan mengikutinya. Pria kecil itu menatap Sebastian yang tengah menangis sendirian.

Padahal, dia begitu hebat menyembunyikan itu di depan semua orang. Dia masih bisa memeluk Merapi, bisa memeluk Reihan. Dan bisa berpura-pura tegar di depan semuanya. Padahal, dia juga merasa kehilangan.

"Abang nangis, ya?" gumam Reihan.

Pria kecil itu melangkah mendekat ke arah Sebastian. "Abang, Abang kenapa?" tanya pria kecil itu.

Sebastian mendongak. Dia mengusap air matanya dan tersenyum. "Abang gak papa."

"Abang jangan nangis. Anak laki-laki kan halus kuat." Reihan mengusap air mata Sebastian dengan pelan menggunakan tangan mungilnya.

Apa yang Sebastian katakan langsung melekat pada kepalanya. Dia anak yang baik, pantas saja Airin menyayanginya dan meminta Sebastian untuk menjaganya.

"Iya. Maafin Abang, ya."

Di lain tempat, Merapi menyandarkan kepalanya pada tembok. Menatap ke arah samping dengan hati yang terasa hilang.

Malam tadi, Airin masih memeluknya. Dia mencium Merapi dan mengatakan, dia memilih membayar terlebih dahulu sebelum mereka pergi jalan-jalan sore ini.

Merapi juga menjawab akan mengantar Airin sampai tujuan. Dan ternyata, sore ini, setelah semuanya benar-benar selesai, Merapi benar-benar akan mengantar Airin sampai tujuan.

"Airin." Merapi bergumam namanya.

Hari yang Merapi takutkan akhirnya terjadi. Airin memilih untuk pergi. Meninggalkan Merapi, dan membuat tujuan Merapi hilang.

Jika kemarin senyum Airin adalah alasan untuk Merapi berjuang demi kesembuhannya, lantas, sekarang apa tujuannya?

"Mas, jenazah sudah siap diantar ke rumah. Mau sekarang, atau ...."

"Sekarang." Merapi menjawab cepat. Dia tak mau mendengar lagi.

Setelah mendapat jawaban dari Merapi, petugas rumah sakit yang bertanya padanya memilih untuk pergi.

Maudi yang tengah duduk di sebrang Merapi, menatapnya takut. Bahkan, dudukpun, kini Maudi tak merasa tenang. Dia menunduk, memejamkan matanya dan meremas rambutnya sendiri. "Bukan gue yang bunuh Airin, bukan gue," gumamnya.

Merapi menoleh, dia menatap Maudi. Kemarahannya kembali muncul secara tiba-tiba. Kebenciannya, benar-benar tak bisa hilang.

Karena orang tua dia, Airin pergi meninggalkan Merapi. "Ngapain lo masih di sini, hah?!" Merapi menatap Maudi marah.

"K-kak, aku mau nemenin Airin."

"AIRIN GAK PERLU DITEMEIN SAMA LO!"

"Kak---"

"Pergi!" Merapi beranjak. Dia mendekat ke arah Maudi dan menjambak rambutnya. "Gua bilang, pergi!"

"Argh!"

"Merapi!" Sebastian menarik Merapi dan menatapnya. "Lo kenapa lagi, sih? Lo pikir dengan lo kayak gini Airin seneng, hah? Dia udah gak ada, jangan bikin dia sedih, Pi. Hari ini harusnya dia tenang, bukan malah lihat lo kayak gini. Gue yakin Airin ada, gue yakin dia lihat lo sekarang."

"Gue gak mau lihat dia, Bas! Gue gak mau lihat anak pembunuh ada di sini! Harusnya, lo!" Merapi menunjuk Maudi. "Lo membusuk di penjara sama Mama lo!" teriak Merapi.

Orang-orang menatap ke arah Merapi. Sebastian meminta maaf pada mereka. Kemudian, dia menarik Merapi untuk kembali duduk.

"Gue enggak bermaksud jahat, tapi gue rasa, baiknya lo pergi dari sini." Sebastian menatap ke arah Maudi.

Maudi menunduk, dia menggeleng. "Kak, aku mau nemenin Airin."

"Gak ada yang butuh ditemenin sama lo, anjing!" Merapi berontak, dia hendak menghampiri Maudi lagi. Namun, Sebastian menahannya.

"Merapi, udah gue bilang."

"Lo, gue minta tolong pergi. Demi Airin." Sebastian menatap Maudi.

Maudi akhirnya mengangguk. Dia pergi dengan perasaan sedih. Apa ini yang Airin rasakan sejak dulu? Diusir oleh Mama, Papanya, dan Maudi, padahal niatnya hanya ingin ikut bergabung.

"Airin, gue minta maaf."

•••

Sore ini, Airin benar-benar diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Merapi menunduk, lelaki itu menatap tanah yang secara perlahan mulai menutupi tubuh Airin.

Lelaki itu membuang arah pandangnya. Tangannya terkepal, setelah hari ini, Merapi tak akan melihat Airin setiap pagi berada di sebelahnya.

Merapi tak lagi melihat Airin di ruang tamu, Merapi tak akan lagi melihat Airin tersenyum seperti kemarin.

Dia pergi, dia memilih untuk meninggalkan semuanya di sini.

Harapan Airin untuk mati di tangan orang yang menyakitinya kini terkabul. Harapan Airin untuk membuat mereka menyesal seumur hidup akan segera tercapai.

Chiko, Alvin, dan Larissa turut hadir. Sebastian yang memberitahu mereka.

Kini, tanah benar-benar menutupi tubuh Airin. Semua orang berdo'a, setelahnya, mereka yang mengantar Airin memilih kembali pulang ke rumah mereka masing-masing.

Sedangkan Merapi, kini menghampiri makam itu, dan mengusap nisannya dengan pelan. "Gue udah anter lo sampai tujuan, Rin," kata Merapi.

Lelaki itu menunduk, menjatuhkan tangannya di atas tanah dan kembali menjatuhkan air matanya.

"Pi, udah. Airin udah tenang." Chiko menepuk pundak Merapi.

"Gue mau di sini. Gue mau nemenin dia." Merapi mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Pi, jangan bercanda! Ayo pulang!"

"GUA MAU DI SINI! GUA MAU TEMENIN AIRIN. DIA PASTI KEDINGINAN, NANTI." Merapi menatap Chiko dan berkata dengan nada tinggi.

Reihan yang berada di gendongan Sebastian, langsung mengeratkan pelukannya pada Sebastian dan kembali menangis.

Plak!

Chiko menampar Merapi dengan keras. Merapi diam, dia menunduk.

"Airin udah gak ada, dengan lo kayak gini, apa lo pikir dia bakal balik? Enggak! Yang ada, kelakuan lo bikin dia sedih dan gak tenang buat pergi."

"Dia bilang gak akan ke mana-mana. Dia pasti bakal balik."

"Gak usah gila!"

"GUE GAK GILA!" Merapi mendorong Chiko dengan kuat.

Arif yang berada di sana, lantas menahan putranya dan memeluk Merapi dengan erat. "Papa tau kamu kehilangan, tapi tolong jangan kayak gini, kamu gak kasihan sama Airin?"

"Dia gak akan ninggalin Merapi, Pa. Dia bilang dia gak akan ninggalin Merapi." Merapi melemah.

"Dia bohong, dia bohong." Merapi kembali berucap.

Arif mengusap kepala Merapi dengan pelan. Chiko yang melihat itu lantas terdiam. Pun dengan Alvin, Larissa, dan juga Sebastian.

Winata yang berada di atas kursi roda menjatuhkan air matanya dan berusaha dia tahan dengan tangannya sendiri. Dia menyesal, sangat.

Winata menyesal karena sudah membenci Airin sebegitu dalamnya. Padahal, Airin tidak bersalah.

Airin dibunuh oleh Istrinya yang selalu dia bangga-banggakan. Airin pergi karena keegoisannya dalam memberi perhatian. Dan kini, apa yang harus Winata perbaiki? Putrinya sudah pergi, yang bisa dia lakukan adalah menyesali perbuatannya sendiri.

Ranti diancam hukuman penjara 15 tahun. Reihan putranya membenci Winata, dan Maudi sekarang pergi entah ke mana. Dalam keadaan sakit, Winata tak memiliki siapapun yang akan menjaganya.

"Ayo kita pulang." Arif mengajak Merapi.

Merapi menatap makam Airin. Rasanya tak ikhlas untuk pergi. Namun setelahnya, Merapi mengangguk.

Dengan langkah bersamaan, mereka meninggalkan Airin sendirian.

•••

Merapi duduk di tepi kasur. Dia menatap ke arah samping dan menemukan jaket milik Airin.

Merapi meraihnya, kemudian, dia memeluk jaket itu dan menunduk. "Lo bahagia, Rin?" tanya Merapi.

Lelaki itu menyandarkan kepalanya. Menatap ke arah samping seolah-olah Airin ada di sana. "Gue jahat ya makannya lo milih buat pergi?"

Sebastian masuk ke dalam kamar Merapi. Lelaki itu menyimpan makanan di atas nakas dan duduk di tepi kasur. "Makan, perut lo belum diisi."

"Airin pasti kelaparan, Bas. Dia pasti belum makan."

"Pi." Sebastian menatap Merapi.

"Kenapa setelah gue mulai sedikit membaik, Airin ninggalin gue, Bas?" tanya Merapi.

Sebastian menghela napas pelan. "Pi, jangan kayak gitu. Lo terus-menerus inget Airin, itu sama aja lo bikin dia enggak tenang buat pergi."

"Tapi dia bilang gak akan ninggalin gue, Bas."

Sebastian menghela napas pelan. Tangannya terulur menepuk pundak Merapi. "Lo bayangin kalau Airin masih hidup, Pi. Apa yang bakal dia rasain? Lo lihat kan kondisi matanya kayak gimana, tadi? Lehernya juga. Kepalanya."

"Dia pasti sakit, Bas."

"Lo paham, kan?" tanya Sebastian.

Merapi mengangguk. "Dia bilang makasih sama gue. Gue gak tau makasih buat apa," kata Merapi.

"Gue sering sakitin dia. Enggak mungkin dia berterimakasih untuk itu," sambungnya.

Sebastian menghela napas pelan. Dia tersenyum. "Mungkin, lo udah berhasil buat dia bahagia. Airin pernah cerita, katanya dia sering disakitin sama Papanya, kan?Bisa jadi, dia berterimakasih karena lo udah buat dia senyum?"

"Dia bilang makasih biar lo gak terus menerus inget sama dia, Pi. Dia berterimakasih, biar lo enggak merasa bersalah atas kepergian dia. Coba lo berpikir positif. Jangan terus-terusan ngerasa takut sama sesuatu," ujar Sebastian.

Merapi menunduk. "Gue belum sembuh, tapi Airin udah pergi. Terus, buat apa gue sembuh, Bas? Tujuan gue udah gak ada."

"Buat diri lo sendiri. Airin juga pasti seneng kalau semisal dia tahu lo mau berubah dan sembuh buat diri lo sendiri."

"Tapi Airin gak tau gue gila."

"Lo gak gila, dan Airin tahu soal itu."

Merapi mendongak, lelaki itu menatap Sebastian. "Airin, tau?"

"Airin tau. Dan dia enggak pergi, kan?"

"Dia gak jijik sama gue, Bas?"

"Enggak, Pi. Dia sayang sama lo."

Merapi menunduk. Dia kembali menangis dan menatap ke arah jendela.

Ternyata, Merapi belum sepenuhnya mengerti Airin. Seharusnya Merapi paham, Airin bukan tipe wanita yang menerima laki-laki karena kelebihannya. Seharusnya, Merapi jujur sejak awal, dan mungkin, kebahagiaan mereka akan bertahan sedikit lebih lama.

Namun, apa yang sudah Merapi lakukan, itulah yang harus dia terima.

"Bas," panggil Merapi.

"Ya?"

"Airin udah enggak ngerasain sakit kan sekarang?" tanya Merapi.

Sebastian diam. Lelaki itu mengangguk. "Iya."

Merapi merebahkan tubuhnya, tidur dengan posisi miring seraya memeluk jaket milik Airin.

Tangan Sebastian terulur mengusap pundak Merapi dengan pelan.

"Jangan nyerah buat kesembuhan lo, Merapi."

Selesai

Kesan setelah baca part terakhir?

Ada yang ingin disampaikan untuk Merapi

Airin

Sebastian

Reihan

Semua tokoh yang ada di sini?

Mungkin sekian buat versi wattpad.

Kalau ada kesempatan buat dibukukan, insyaallah karma Maudi, Papanya, sama Ranti otw lebih banyak daripada nyesel seumur hidup:v Merapi juga belum tau soal kos-kosan Airin. Kita juga belum tau Maudi bakal pergi ke mana, Reihan bakal tinggal sama siapa, Merapi bakal gimana. dan mungkin, versi buku bakal lebih lengkap dan detail (kalau ada kesempatan).

Terimakasih sudah berkenan membaca dan memberikan komentar-komentar yang bersifat membangun. Jujur, di cerita ini saya banyak belajar juga dari komentar kalian.

Untuk orang-orang yang punya kehidupan yang hampir sama kayak Merapi/ Airin (Semoga aja enggak ada dan cukup mereka aja), terimakasih karena sudah bertahan sampai sekarang. Kalian hebat♥️


Maaf kalau cerita ini enggak sempurna dan enggak sesuai sama ekspektasi kalian. Semoga, kalian bisa ambil sisi baik dari cerita ini.

Ikan hiu makan lontong, dadah!

Jangan lupa follow Instagram Octaviany_indah
Airin.thalita.utami_
Merapi.wicaksana

Maaf juga kalau ceritanya twolol banget:v

Next, Cerita Sebastian atau Cerita Reihan? Atau ... cerita yang baru?

Roh Jeong-eui As Airin Thalita Utami

Hero FT as Merapi Wicaksana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro