Bagian 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•VOTE DAN KOMEN MABRO

•Rekomendasiin cerita Merapi ke Instagram/Facebook/Twitter/Tiktok•

Happy Reading ♥️

•••

"Sial!" Merapi mengacak rambutnya kala melihat gagang pintu di kamar bawah hancur.

Tak hanya itu, kursi di depan meja rias pun juga sama hancurnya. Satu kakinya patah. Kemudian, di dalam kamar itu pun sudah tidak ada Airin.

Sudah jelas Merapi tahu siapa pelakunya.

"Airin!" Merapi berjalan mengitari rumah. Menendang satu persatu pintu kamar untuk memastikan apakah gadis itu masih berada di sini?

Namun, nihil. Dia tidak ada.

Merapi mengacak rambutnya kesal. Baru semalam Airin ditinggalkan, dia sudah kabur begini. Si gadis keras kepala itu ... Memang tidak bisa sekali saja tidak membuatnya emosi.

Merapi benar-benar lelah. Punggungnya pegal karena semalaman harus tidur dengan posisi duduk untuk menunggu Larissa.

Niatnya pulang pagi-pagi buta karena ingin bertemu dengan gadisnya. Kenapa dia malah kabur?

"Astaga." Merapi menghela napas kasar.

Tanpa aba-aba, cowok itu berlari keluar rumah dan kembali masuk ke dalam mobil milik Papanya yang belum Merapi kembalikan pada pemiliknya.

Ah, kenapa pula di saat situasi begini teman-temannya tidak menginap di rumah seperti biasa? Jika mereka ada, mungkin, Airin bisa mereka tahan agar tidak pergi.

Berkali-kali dia mencoba menghubungi Airin, namun ponsel gadis itu sama sekali tidak aktif.

"Bangsat." Merapi mendesis kesal.

Tujuan Merapi saat ini adalah sekolah Airin. Dia akan menunggu di sana. Merapi yakin, Airin tidak mungkin bolos sekolah.

Mengingat, gadis itu paling sulit jika disuruh diam di rumah walaupun dalam keadaan sakit sekalipun.

Di depan halte, Merapi menepikan mobilnya. Matanya menatap ke arah gerbang dengan ponsel yang terus menerus mencoba menghubungi Airin.

Padahal, Merapi sudah tahu jawabannya. Airin tidak akan mengangkat karena nomornya tidak aktif.

Ponsel Merapi berdering. Cowok itu berdecak kesal ketika nama Larissa terpampang jelas di layar ponselnya.

"Apa?"

"Merapi, bisa ke sini? Mama pulang. Aku gak ada temen."

"Gak bisa sendiri dulu? Gue ada urusan."

"Aku takut, Merapi. Aku gak pernah di rumah sakit sendirian."

"Gue ada urusan. Gak bisa nyuruh temen lo dulu?"

"Merapi-"

"Oke!" Merapi membalas dengan kesalnya. Setelah itu, dia langsung mematikan sambungan secara sepihak.

Saat hendak melajukan mobilnya untuk kembali ke rumah sakit, matanya menangkap sosok Airin yang baru saja turun dari angkutan umum di sebrang.

Sontak saja Merapi mengurungkan niatnya dan turun dari mobil. Cowok itu berlari dan menarik pergelangan tangan Airin. "Rin, gak bisa ya gak bikin gue panik, hah?!"

"Panik? Ngapain panik? Gue bisa jaga diri kali. Enggak perlu lo temenin juga gue enggak akan nyasar. Enggak ditemenin sama lo enggak akan bikin gue mati." Airin menjawab dengan nada acuh tak acuh.

Kemudian, gadis itu mencoba melepaskan lengannya yang dicengkal oleh Merapi. "Bisa lepas? Gue mau masuk."

"Rin, please. Tinggal sama gue."

"Ogah. Ngapain gue tinggal bareng mantan?"

"AIRIN! Bisa gak sekali aja lo enggak usah bikin gue repot?! Tinggal nurut, beres. Gak usah keras kepala. Dasar cewek bang-"

"Cewek bangsat?" Airin memotong ucapan Merapi seolah tahu apa yang akan lelaki itu katakan.

Merapi mengeratkan giginya. Pergelangan tangan Airin semakin dicengkeram kuat. "Pulang ke rumah gue. Gak usah repot."

"Lo yang repot." Airin menarik-narik lengannya meminta dilepaskan. "Bisa lepas, gak?" tanya Airin.

"Pulang ke rumah gue."

"Ajak aja calon Ibu dari anak lo itu. Gue mah ogah, mendingan gue jadi gelandangan daripada tinggal sama lo."

"Pulang ke rumah gue, Airin! Lo budeg?!"

"Enggak."

Merapi menarik Airin dengan kasar. Kemudian, cowok itu membuka pintu mobil dan mendorong Airin masuk ke dalam sana.

Merapi ikut masuk. Setelahnya, dia menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi.

"Kurang cepet, bawa gue mati sekalian, Pi." Airin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Gadis itu bersikap tenang walaupun kenyataannya, jantung Airin berdebar cepat karena Merapi membawa mobil dengan kecepatan yang sangat-sangat tidak kira-kira.

Bukannya berhenti dan melambatkan laju mobilnya, Merapi menambah kecepatannya lagi.

Airin hampir tersedak. Gadis itu menelan salivanya susah payah dan mengeratkan pegangannya pada pinggiran kursi. Merapi setan. Airin mengumpat dalam hati.

"Pulang sama gue." Merapi menekan kalimatnya. Matanya menatap lurus ke arah jalanan.

"Oke, pulang ke neraka."

"Oke."

"MERAPI SETAN!" Airin beralih menjambak rambut Merapi kala cowok itu semakin menambah kecepatannya.

Merapi tidak terusik. Kecepatannya sama sekali tidak menurun.

"Merapi, berhenti gak?"

"Enggak."

"Oke! Oke! Gue pulang ke rumah lo."

Merapi menggeleng. "Bohong."

"Lo bener-bener minta gua hajar, ya?!"

Mendengar nada marah, kesal, sekaligus takut itu Merapi sontak menarik senyumnya. Kecepatan mobilnya mulai berkurang.

Cowok itu meraih tangan kiri Airin yang menjambak rambutnya, kemudian menarik gadis itu dan merangkulnya dengan lembut.

"Maaf." Merapi mencium puncak kepala Airin.

Airin menghela napas pelan. "Lo sengaja?"

Merapi mengedikkan bahunya tak acuh. Tangan Merapi kini beralih mengusap lembut bahu kiri Airin yang dilapisi oleh jaket.

"Bawa gue ke sekolah."

"Jangan sekolah. Gue capek, pengen tidur. Pengen peluk lo."

"Dih, peluk aja si calon Ibu dari anak lo itu. Biar sekalian bikin anak lagi kalau bisa."

Merapi menghela napas pelan. "Maaf."

"Minta maaf mulu."

"Maaf, Airin." Merapi berucap dengan lirihnya.

Airin berdecak pelan. Minta maaf setelah kejadian begini apa gunanya, sih?

"Kita nikah, kan?" tanya Merapi.

Airin mendelik. "Lo pikir gue mau nikah sama cowok yang udah mau punya anak dari orang lain?"

Merapi menurunkan lengannya dan menggenggam tangan kiri Airin. Jemarinya dia mainkan di sana. "Lo harus mau."

"Lo maksa."

"Gue gak perduli."

"Bangsat."

"Lo setan."

Airin menghela napas pelan. Gadis itu membalas genggaman tangan Merapi. "Merapi, gue gak mau. Jangan maksa."

"Gak perduli, Airin."

Airin menarik tangannya dan terlepas dari genggaman Merapi. Wajahnya kini menoleh ke arah kiri enggan menatap ke arah Merapi. "Lo bener-bener brengsek, Pi."

"Tanpa lo perjelas pun gue udah tau, Rin."

Ponsel Merapi berdering. Cowok itu mengangkatnya dan melirik Airin sebentar. "Hallo?"

"Merapi, kamu masih di mana?"

"Bentar."

Merapi memutuskan sambungannya. Kemudian, dia menghela napas pelan. "Ikut gue."

"Ke mana?"

•••

Airin menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Merapi ketika keduanya sampai di sebuah ruangan yang menampakkan seorang wanita terbaring di brankar.

Gadis itu berdecak pelan melihat tatapan sok polos dan senyum sok tulus Larissa yang mengarah padanya. "Airin," sapanya.

"Udah makan?" tanya Merapi pada Larissa.

Larissa mengangguk. Wanita itu terdiam beberapa saat seraya melirik ke arah Airin. "Merapi, aku pengen peluk."

Merapi sontak menatap ke arah Airin. Namun, respon gadis itu justru malah mengangkat sebelah alisnya dengan pandangan acuh tak acuh.

"Turutin, gih. Enggak lucu kalau keturunan Merapi ileran gara-gara Bokapnya enggak mau nurutin permintaan Ibunya." Airin menekan kata Ibunya seraya melirik sinis ke arah Larissa.

Wanita itu menunduk. Meremas selimut dengan erat. "Airin---kamu ... Tau?"

Airin sontak terkekeh pelan. Drama? Jadi, Larissa sengaja memberitahu Airin tanpa sepengetahuan Merapi?

Gadis itu sontak saja mengangguk. "Iyalah. Sori banget nih, Sa. Gue bersyukur banget malah. Untungnya, yang Merapi hamili, lo. Bukan gua."

"Enggak kebayang deh kalau gue di posisi lo. Pasti berat banget, ya?" tanya Airin dramatis.

Larissa mengangguk. "Maaf, Airin."

"Ah, gue maafin. Apa sih yang enggak gue maafin buat ... Ibu dari calon anak cowok gue?" tanya Airin.

Merapi mengepalkan tangannya mendengar jawaban Airin. Cowok itu hendak menggenggam tangan kiri gadisnya. Namun, Airin mengelak. "Eh, maksudnya, Ibu dari calon anak mantan gue."

"Lo gak perlu khawatir, Sa. Gue sama si calon ayah anak lo ini udah enggak punya hubungan apapun, kok. Jadi, lo udah enggak ada saingan deh."

"Airin---" Merapi menghela napas pelan. "Please, jangan mulai."

"Oke, oke. Gue diem. Gue nunggu di sofa, deh. Lo cepetan tuh turutin calon Ibu dari anak lo itu. Nanti anak lo ileran lagi." Airin berjalan ke arah sofa dan memilih duduk di sana.

Merapi diam beberapa saat. Melirik ke arah Airin sebentar, sebelum akhirnya cowok itu melangkah mendekat ke arah Larissa dan duduk di tepi brankar.

"Merapi, maaf," ujar Larissa pelan.

"Gak papa." Tangan Merapi mulai mengelus perut Larissa dengan lembut.

Senyum angkuh yang semula Airin perlihatkan, perlahan luntur. Gadis itu membuang arah pandangnya ke sembarang arah dengan tangan kiri yang mengepal.

Dadanya sakit melihat itu.

Airin mungkin bisa saja pergi sekarang juga. Namun, di tak mau dianggap kalah oleh Larissa.

"Airin, mau beli sesuatu?" tanya Merapi.

"Gak ada."

"Rin, sebentar, ya. Nunggu Mamanya Larissa balik, nanti kita pulang," ujar Merapi.

Bibir Airin bergetar. Namun, gadis itu berusaha tersenyum dan mengangguk santai. "Oke, santai aja. Sampai sore di sini pun gue enggak keberatan kok."

"Kapan lagi gue lihat cowok gue---sori, mantan cowok gue pelukan mesra sama calon Ibu dari anaknya?" Airin terkekeh pelan.

Gadis itu menarik napas panjang kemudian dia hembuskan secara perlahan. "Rencana nikah, kapan, nih?"

"Airin, Maaf. Tapi, Merapi bilang ... Setelah anaknya lahir kita akan menikah."

"Sa!" Merapi membelalakan matanya. Kemudian, matanya menatap gelisah ke arah Airin yang kini tersenyum kaku.

Namun setelahnya, gadis itu kembali tertawa dan berkata, "Ah, gue tunggu. Gue harap, gue juga diundang ke pernikahan kalian."

Tatapan itu, jelas sakali menyorot kecewa. Namun, di depannya ... Airin masih bertingkah seolah dia tidak masalah dengan hal ini.

Tangan Merapi terkepal. Cowok itu masih setia menatap Airin dengan sorot gelisah. "Airin---"

"Masih jam 7 kurang. Kayaknya gue masih sempet buat ke sekolah." Airin beranjak.

Tidak, dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk bertahan di sini.

Gadis itu lantas melangkah pergi meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun.

"Airin!" Merapi hendak berdiri. Namun, Larissa menahannya. "Merapi, aku takut."

Merapi mengusap wajahnya kasar.

Cowok itu akhirnya memilih kembali duduk di tepi brankar dengan lengan Larissa yang melingkari lengannya.

Airin, maaf. Hanya itu yang bisa Merapi ucapkan dalam hatinya.

Cowok itu menunduk. Memejamkan matanya berusaha menetralkan rasa sesak yang tiba-tiba saja menjalar hingga dadanya.

"Merapi, udah saatnya Airin tau."

Sumpah demi apapun Merapi ingin marah pada Larissa. Perjanjiannya, Merapi bisa bersama Airin sampai anak di dalam perut Larissa lahir.

Tapi, marah pada Larissa pun tidak ada gunanya. Dia sedang sakit, dia tidak boleh stress jika itu terjadi anaknya yang akan menjadi korban.

"Gue sayang sama dia, Sa." Merapi berkata lirih.

TBC

Jadi bagaimana bro?

Ada yang ingin disampaikan untuk Larissa

Airin

Merapi

Spam nextnya yuks

Jangan lupa follow Instagram Octaviany_Indah

Tiktok : Wattpad.oncom

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro