Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekitar jam 2 siang, Airin duduk di pinggir lapangan seraya menatap ke arah orang-orang yang tengah melakukan seleksi untuk pertandingan pencak silat. Pertandingan akan dilaksanakan tiga bulan lagi.

Sebenarnya, rencana seleksi ini sudah diberitahu sejak jauh-jauh hari. Airin tentunya sudah berniat untuk ikut serta dalam tahap ini. Namun, karena tangannya patah, Airin harus mengubur niatnya itu dalam-dalam.

Ada perasaan kecewa dalam dirinya. Padahal, Airin sudah benar-benar menantikan hari ini.

Selama berjam-jam Airin menunggu, akhirnya acara seleksi selesai. Kini, di atas matras teman-temannya duduk melingkar dengan pelatih yang duduk di tengah-tengah mereka.

Airin juga sama, dia ikut berkumpul dan duduk di sebelah Calvin. Cowok itu penuh dengan keringat. Namun, dia sama sekali tidak mengeluh lelah.

Dia bahkan terus tertawa dan mengajak teman-temannya bercanda.

"Udah, udah. Untuk saat ini, dari yang saya lihat saat kehadiran latihan kemarin-kemarin sebelum seleksi, dan kesungguhan kalian tadi, saya baru bisa memilih tiga orang." Ketika pelatih berbicara, semuanya mendadak diam dengan wajah tegang mereka.

"Calvin."

Calvin tersenyum lebar. "Saya, A?"

"Iya. Rahayu, dan Rangga."

Senyum Calvin semakin lebar. Sedangkan Airin, gadis itu memilih diam.

Andai saja dirinya ikut seleksi, apakah dia akan terpilih? Apakah dia akan tersenyum lebar seperti Calvin, Rahayu, dan juga Rangga?

"Yang lain jangan patah semangat. Saya bisa aja berubah pikiran sewaktu-waktu. Asal kalian giat latihan dan bersungguh-sungguh, saya pasti bakal usahain kalian buat ikut pertandingan. Dan untuk tiga orang tadi, kalau kedepannya mereka malas-malasan, bisa jadi mereka enggak jadi saya ajak turun ke gelanggang."

Kemudian, tatapan pelatihnya itu mengarah pada Airin. "Airin? Kira-kira, lengan kamu sebulan bisa sembuh, gak?"

Airin mendongak, gadis itu meringis pelan. "Kayaknya, sih, bisa," jawabnya ragu.

"Yaudah, kamu fokuskan sama kesembuhan lengan kamu dulu. Kalau misalkan sebulan bisa sembuh, dan kamu bersungguh-sungguh ingin ikut pertandingan, kamu bisa ikut latihan sama yang lain. Dan, kalau misalkan kamu memenuhi kriteria, saya pasti bakal turunin kamu ke gelanggang."

Airin mengangguk sopan. "Siap, A."

"Sekian latihan kali ini. Sebelum pulang, marilah kita membaca doa di dalam hati masing-masing. Baca doa di mulai."

Seluruh anggota ekstrakurikuler pencak silat menunduk berdo'a.

"Berdoa selesai."

Mengusapkan telapak tangan pada wajah, kemudian beranjak bersamaan.

Setelah bersalaman dengan pelatih, semuanya membereskan matras terlebih dahulu dan mereka masukkan ke dalam ruangan olahraga.

Setelahnya, semua orang pulang dengan Airin yang berjalan sendirian menuju ke arah halte.

"Ayo, Rin."

Airin menoleh dan mendapati Calvin yang tersenyum ke arahnya. Dengan motornya, Calvin berhenti di depan Airin.

"Lo duluan aja."

"Naik buru. Kemarin aja maksa-maksa, sekarang enggak-enggak."

Airin mendengkus. Ketika dia hendak naik, tiba-tiba sebuah mobil yang dia kenali berhenti tepat di depan motor milik Calvin.

Si pemilik keluar. Merapi. Cowok itu Berjalan ke arah Airin dan mencengkal pergelangan tangan Airin dengan kasar. "Pulang sama gue."

"Vin, lo duluan aja. Gue bareng dia."

Calvin tersenyum dan mengangguk. "Yaudah, gue duluan. Dah, Rin."

Calvin melajukan motornya meninggalkan Airin dan juga Merapi. Airin menghela napas pelan. "Yuk, balik," ajak Airin malas bertengkar.

"Maksud lo apa mau balik sama dia, hah? Mau balas dendam sama gue?! Mau jual diri ke dia biar punya anak dari dia?!"

"Lo pikir gue Larissa? Dan lo pikir, Calvin itu brengsek kayak lo? Enggak usah berlebihan, gue cuman mau pulang bareng. Bukan ngamar bareng sama dia." Airin memilih melangkah ke arah mobil milik Merapi. Kemudian, gadis itu masuk dan duduk.

Merapi menyusul. Matanya menyorot tajam ke arah Airin. "Kalau gue lihat lo bareng sama dia, bukan cuman dia yang gue habisin. Lo juga."

"Hm."

"Denger gak lo?!" Merapi mencengkeram kedua pipi Airin dengan satu tangannya. Kemudian, dia menariknya dengan kasar agar Airin menatap ke arah wajahnya.

Airin menghela napas pelan. "Lo gak lihat telinga gue terpasang dengan sempurna?" tanya Airin.

"Gak mau dilepasin? Gue males ribut." Airin melirik tangan Merapi yang masih mencengkeram pipinya.

Merapi melepas kasar. Kemudian, dia memilih menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangannya mencengkeram erat kemudi dengan sorot mata yang terlihat jelas ada kemarahan di sana.

Sedangkan Airin, gadis itu memilih menyandarkan punggung dan kepalanya. Namun, wajahnya menoleh ke arah jendela mobil dengan kekecewaan yang masih tersimpan di dalam hatinya.

Andai dia tidak kenal Merapi. Mungkin, lengannya tidak akan patah seperti sekarang. Dan mungkin, dia bisa ikut seleksi pertandingan tadi.

Andai dia tidak kenal Merapi, mungkin, dia tidak akan mengalami hal di mana kekasihnya menghamili wanita lain. Dan mengalami sakit hati seperti saat ini.

Dan andai dia tidak kenal dengan Merapi, mungkin, perjodohan mereka akan dengan mudahnya Merapi tolak tanpa pikir panjang.

"Lo kenapa?" tanya Merapi. Cowok itu memelankan laju mobilnya karena merasa Airin tiba-tiba diam seperti sekarang.

Tangan Merapi terulur meraih tangan kiri Airin yang tersimpan di atas paha. Namun, Airin menariknya dan memilih menyembunyikannya. "Fokus nyetir aja, Pi," kata Airin.

"Rin---"

Airin menghela napas pelan. Dia semakin enggan mengubah posisinya.

"Gue---kasar lagi, ya?" tanya Merapi.

"Udah makan? Mau mampir dulu beli makanan, gak?" tanya Merapi mulai melembut. Tangannya mengusap puncak kepala Airin dengan pelan.

Airin diam. Dia tak merespon apapun.  Melihat itu, Merapi lantas menghela napas frustasi. "Rin! Bisa enggak sih jangan bikin gue pusing?!"

"Lo pikir gue paham lo tiba-tiba diem kayak gini karena apa, hah?!" Suara Merapi kembali meninggi.

Mendengar itu, Airin lantas berdecak pelan. "Gue gagal ikut seleksi," kata Airin.

Merapi tertawa keras. "Cuman karena itu lo diemin gua?!"

"Karena lengan gue patah," lanjut Airin.

Merapi sontak terdiam. "Airin---"

"Gak usah di bahas. Gak penting. Cuman hal kayak gitu, enggak ada hal yang bisa dibanggakan kalaupun gue ikut. Iya kan?" Airin terkekeh pelan.

Matanya memanas. Sumpah demi apapun, Airin tidak apa-apa jika dia harus di dorong, dipukuli, di Jambak, atau di siksa seperti apapun. Itu sudah bukan hal aneh baginya.

Tapi, pertandingan itu. Adalah sesuatu yang sangat dia nantikan. Dan sekarang harapannya pupus, kalaupun dia dalam jangka satu bulan lengan Airin pulih, kecil kemungkinan dia bisa ikut serta dalam pertandingan itu.

"Rin, gue minta maaf---"

"Gue maafin."

"Rin, please, gue bener-bener pusing sekarang. Masalah gue bukan cuman lo, Gue---"

"Larissa. Masalah lo cuman Larissa bukan gue. Kalau lo bisa tegas, lo harusnya bilang sama Bokap lo buat tolak perjodohan kita dan nikah sama Larissa." Airin kembali memotong ucapan Merapi.

Merapi menghela napas kasar. "Lo pikir semudah itu gue lepasin lo, Hah?!"

"Ah, iya. Tahan aja gue, Pi. Tahan gue sampai gue mati di tangan lo sendiri."

"Anjing! Gak usah ngomong macem-macem!"

Airin berdecak pelan. "Gak usah marah-marah. Udah gue bilang, gue males berantem."

"Gue gak mungkin lepasin lo, Airin."

"Iya, Pi. Udah gue bilang, tahan gue sampai gue mati di tangan lo sendiri."

Merapi mengusap wajahnya kasar. Cowok itu menghela napasnya pelan. "Gue gak mau nikah sama Larissa."

"Bohong."

"Gue mau sama lo."

"Ya, ya. Terserah."

Merapi terkekeh pelan. "Tapi gue harus nikah sama Larissa. Gue harus gimana, Rin?"

"Lo denger gak tadi dia bilang apa? Dia bilang, setelah anaknya lahir gue sama dia bakal nikah, Rin." Tawa Merapi kini berubah menjadi hambar.

Kemudian, tangannya memukul kemudi dengan kencang. "BILANG SAMA GUE, RIN! BILANG! GUE HARUS APA, HAH?!"

Airin memejamkan matanya mendengar nada tinggi itu. "Lepasin gue. Beres. Lo yang bikin ribet."

"Lo gak sayang sama gue, Rin?"

"Sayang gue gunanya apa, sih, Pi? Bertahan sama lo justru malah bikin rasa sayang gue lama kelamaan berubah jadi rasa benci. Lo pikir, gue enggak kecewa sama kelakuan lo? Lo pikir, hati gue terbuat dari apa, sih?" tanya Airin. Gadis itu menoleh menatap Merapi.

Merapi diam. "Benci? Lo benci sama gue?"

"Iya."

Merapi menepikan mobilnya. Kemudian, dia menatap tajam ke arah Airin. Tangannya kini menarik rahang gadis itu dengan kasar dan memaksanya untuk menatap ke arah Merapi. "Lo gak boleh benci sama gue!"

"Gue benci sama lo."

"Airin! Berhenti bilang kayak gitu!"

"Gue benci lo, Merapi."

"Anjing!" Merapi menarik rambut Airin dengan kasar.

Airin meringis. Namun, dia berusaha menatap wajah Merapi dengan tenang.

"Lo gak boleh bilang kayak gitu sama gue!"

"Gue benci lo."

Tarikan itu semakin kuat. Airin meringis lagi, kepalanya terasa perih. Matanya kini terpejam kuat menahan rasa perih itu. "Kurang kenceng, Pi. Tarik sampai leher gue patah sekalian!"

"Lo sayang gue kan, Rin? Iya, kan? Lo enggak akan ninggalin gue kan, Rin?" Merapi mendekatkan wajahnya pada leher Airin. Kemudian, cowok itu mengecupnya ringan. "Lo sayang sama gue kan, Airin?" tanya Merapi lirih.

Namun, jambakan di rambut Airin tidak juga terlepas.

"Jawab gue, Airin!" Tangan Merapi beralih mencengkeram rahang Airin dengan kasar.

Airin menatap wajah Merapi yang kini berada tepat di depannya. "Gue benci sama lo," kata Airin.

PLAK!

Wajah Airin menoleh ke samping. Rambutnya berantakan, gadis itu terkekeh pelan. "Tapi gue juga sayang sama lo, Merapi," ucap Airin lirih.

Merapi terdiam. Kini, matanya menatap ke arah telapak tangannya sendiri. Cowok itu sontak meremas rambutnya.

Tangan Airin mencari sesuatu di dalam tasnya. Kemudian, setelah dapat, Airin meraih tangan Merapi dan memberikan sebuah cutter. "Daripada lo tampar gue kayak tadi, bunuh gue sekarang, Pi!" Airin mengarahkan cutter yang berada di genggaman Merapi pada lehernya.

Merapi menggeleng. Tangannya bergetar, dia ingin menariknya. Namun, Airin justru malah semakin menancapkan cutter itu hingga lehernya terdapat setetes darah. "Ayo, buruan. Biar beban lo berkurang."

"Tinggal lo gores yang dalem, gue mati, lo enggak perlu repot-repot siksa orang lagi kayak tadi."

"Terus---"

Airin tersentak kala cutter itu dilempar dan tubuhnya kini sudah berada di dekapan Merapi.

Merapi mengeratkan pelukannya. Bibirnya berkali-kali mencium puncak kepala Airin dengan perasaan kalut. "J-jangan kayak gitu, Rin. Jangan." Merapi berucap dengan nada bergetar.

"Gue mau mati, Merapi. Gue mau mati!"

"Lo gak boleh mati. Enggak, gak boleh."

Merapi melepas pelukannya. Telapak tangannya dingin, dia merangkum rahang Airin dengan lembut. Matanya menyorot penyesalan. "M-Maaf, Airin. Maaf, gue kasar. Padahal gue udah janji enggak akan kasar sama lo. Jangan benci gue, jangan tinggalin gue," ucap Merapi lirih.

Airin diam. Gadis itu membalas tatapan Merapi tanpa ekspresi.

"Airin, lo enggak akan ke mana-mana, kan? Lo bakal sama gue terus, kan?"

Tak mendapat jawaban apapun dari Airin, Merapi langsung menyapukan bibirnya pada bibir gadis itu.

Dia kembali menjauh dan menatap Airin yang masih diam. "Airin---"

"Ayo pulang, gue capek."

TBC

Gimana slurr?

Ada yang ingin disampaikan untuk Merapi Gunung tampomas meletus balon hijau?

Atau, buat Airin?

Spam next skuy

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro