16. Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Hari Merdeka!!! Cerita ini kembali update untuk menemani hari kaliannn, sebelum membaca jangan lupa tekan tombol bintangnyaa. Selamat bersemesta!!!

Jengga menghela napas ketika dia dihadapkan dengan situasi ini. Ruangan didominasi berwarna putih, aroma obat-obatan menyeruak memenuhi hidungnya, di hadapannya seseorang tengah terbaring lemah, sementara Jengga duduk di sofa dengan laptop pangkuannya bersamaan dengan deadline podcast serta revisian skripsinya.

"Ayah udah mendingan?" suara pintu terbuka, di baliknya muncul seorang perempuan dewasa dengan jas dokter dan rambut yang diikat asal.

"Eh, Binta datang," pria yang terbaring lemah itu menyapa dengan suara seraknya.

"Tiduran saja, Yah," lalu Binta melirik tajam ke Jengga, "Heh, bocah. Ayahku diurus baik-baik, kan?"

Jengga merengut kesal, "Sudah sangat baik, lho, Nyonya. Barusan juga habis aku gantiin bajunya Pakdhe."

Ayah Binta tertawa lemah, dua bungsu ini apabila disatukan memang kadang romantis kadang susah juga akurnya, "Sudah, Dek. Dari tadi Jengga udah jagain Ayah. Malah kasihan dia sambilan skripsian juga begitu."

"Nggak apa-apa, hitung-hitung latihan mental, Yah. Santai saja," jawab Binta seenaknya.

"Mas Nava sama Mas Kala nggak pulang apa Mba?" tanya Jengga akhirnya, dia menyerah dan memutuskan mematikan laptop.

"Mas Kala sibuk pacaran sama calon istri. Mas Nava lagi ngurusin tokonya, mungkin akhir minggu balik Jogja."

"Buset," Jengga takjub mendadak, "Gercep amat Mas Kala udah mau married. Perasaan pacaran belum lama."

"Biarin aja, maklum sudah tua. Ngejar umur," lagi-lagi Binta bicara semaunya.

"Siapa yang katamu sudah tua? Dasar bandel." Pintu yang ternyata tidak tertutup rapat mendadak terbuka, di baliknya muncul Sekala yang tengah merangkul pacarnya, namanya Lintang, menyusul pula Budhe yang menenteng dua plastik makanan ringan.

"Aww! Sakit, Mas!" Binta mengaduh ketika jitakan Sekala mendarat di dahinya.

"Bandel," ucap Sekala, lalu ekspresinya berubah menjadi senyum hangat dan menawan ketika berhadapan dengan Ayahnya.

"Ayahkuuu," katanya begitu romantis lalu memeluk sang Ayah, "Lagi-lagi sakit, kali ini bandel karena apa, sih?"

Ayah tersenyum lemah, "Biasa, sudah tua banyak dramanya. Padahal selama ini nggak pernah ngapa-ngapain," lalu Ayah tersenyum pada Lintang yang berada di samping Sekala, "Halo, Lintang. Kayaknya sudah lama, ya, nggak main ke rumah?"

"Ayah," Lintang tersenyum ramah seraya berjabatan tangan, "Lintang sama Kala bawa banyak roti untuk Ayah dan orang-orang di sini."

"Ada puding juga nggak, Mba?" Jengga tiba-tiba ikut bergabung, tanpa tahu diri membuka seenaknya plastik yang dibawa Sekala dan Lintang di atas meja.

"Ada, sudah dibuatkan khusus untuk kamu," katanya ramah.

Mata Jengga berbinar ketika berhasil meraih satu kotak berisi puding roti aneka rasa di dalamnya, sudah seperti mendapatkan harta karun saja, "Mba Lintang pudingnya tak tertandingi. Mas Kala pun payah," lalu ia menatap Sekala, mencibir.

Kalau tidak di rumah sakit, Sekala sudah pasti menghajar anak itu. Kenapa, sih, anak-anak bungsu di sini semuanya seenaknya? Sekala ini kasta tertinggi lho seharusnya. Dia itu KAKAK TERTUA. Seharusnya dia mendapatkan kehormatan yang melimpah. Namun nyatanya sebaliknya.

"Bocah! Bagi-bagi pudingnya," Binta mendadak sudah ada di samping Jengga.

"Enak aja!" Jengga melindungi puding miliknya dengan segenap jiwa raga di balik punggung, "Main ambil, dan tolong ya, Ananda Bintari Ayudisa! Saya sudah kepala dua, jadi stop manggil bocah!" katanya tak terima.

"Ulululu," Binta meledek seraya mengusak rambut Jengga, "Masih kecil, imut begini, kok."

"Apaan, sih!!"

"Binta, jangan ledekin adiknya terus," Budhe muncul dari kamar mandi. Lalu menata makanan dan minuman yang dibawanya ke dalam kulkas, "Gitu-gitu, adikmu sudah mau punya pacar, lho."

Jengga tidak tahu darimana datangnya ucapan penuh percaya diri itu. Napasnya tertahan, sementara satu ruangan―terkecuali Budhe―menatap ke arahnya dengan sorot penuh tuntutan.

"APAA?!" Binta yang paling dramatis, dua tangannya menekan pipi Jengga sampai bibir adiknya itu maju, "Anak kayak gini?? Bisa pacaran? HEH JENGGA! Kasih tau Mba siapa ceweknya?"

"Mhemanghnyha mhau diaphain chewk itchu?" Jengga berbicara kepayahan, tetapi Binta masih mengerti.

"Mau aku datangin! Aku suruh putus sama kamu!"

Jengga menyingkirkan tangan Binta, ia menunduk dan tersenyum gemas. Lalu menatap Binta terharu, "Apaan, nih? Mba nggak rela, ya, lepas dari aku? Apa takut aku diapa-apain sama cewekku? Mba khawatir, ya?" tanyanya dengan penuh percaya diri.

Binta menatap jijik, "Amit-amit, aku mau suruh dia putus sama kamu, karena lebih khawatir sama ceweknya. Kok bisa-bisanya mau sama cowok kayak kamu gini. Lebih khawatir dia yang nanti kamu apa-apain, kamu kan berandalan."

"HAH??!! Enak aja!!" Protes Jengga.

"Tukang caper," lanjut Binta dengan ekspresi datarnya, tak peduli.

"Mba Binta, udah, deh."

"Si paling tebar pesona!"

"Mba damai, yuk?"

"Sok ganteng."

"Ada masalah apa, sih, Mba?"

"Paling kepedean sepanjang masa."

"Oke, aku nyerah!" Jengga mengangkat tangannya, "Puas, Anda?"

Binta menyeringai, sudah macam iblis di mata Jengga, "Puas seperti biasa," lalu Binta menatap ibunya dan merengek manja, "Bundaaa, Jengga aja udah punya cewek, masa aku belum, sih? Nggak sopan banget dia ngelangkahin kakaknya."

Sekala menghela napas, susah sekali menyatukan dua bungsu pembuat onar ini.

"Ey, sudah besar juga nih, si Jengga. Ketemu di mana ceweknya? Udah berapa lama jadian?" Lintang mengambil tempat di samping Jengga, ikut meledek.

"Dia penulis di penerbit yang sama juga kayak aku. Mba ikutin kabar penerbitku, nggak? Mba kan suka nulis juga. Penulis baru yang nulis novel fantasi itu."

"Sebentar," Lintang mendadak terkejut, matanya membola, "Maksud kamu si Rasi? Bratandari Rasi Candraningtyas itu? Yang nulis novel petualangan itu?!" tanyanya dengan heboh, menarik perhatian semua orang.

Jengga cengengesan, ia sedikit malu, "Hehe, iya, Aku belum pacaran, sih. Cuma belakangan dekat sama dia―aduh! Aduh! Mba Lintang kenapa ikutan bully aku, sih? Pakai pukul-pukul segala." Ia menghindari pukulan Lintang di pundaknya.

"Jengga! Jengga! Jengga!" seru Lintang tiba-tiba dengan semangat, wajahnya sumringah dan ia tersenyum lebar, "Kerja bagus, Jengga! Kerja bagus! Kamu dapat produk unggul!" Lintang tersenyum bangga seraya memukul punggung calon adik iparnya itu lantaran gemas.

"Apa, sih? Memangnya yang mana ceweknya? Kenapa sama dia?" Sekala ikut bergabung mengapit Narajengga.

"Dia penulis baru, tapi karirnya di sosial media lumayan bagus. Pembacanya juga lumayan banyak. Salah satu penulis muda favoritku, orangnya juga cantik banget, Mas. Dia keren banget!" Lintang berkata penuh semangat sembari memberikan ponselnya kepada Sekala. Di layarnya, terpampang akun instagram milik Rasi.

Binta ikut heboh, dia juga ikut bergabung, Budhe pun tidak mau ketinggalan. Semuanya kini mengepung Sekala dengan ponsel di antara mereka.

"Buset, Ngga," Sekala menatap takjub wajah adik sepupunya itu, "Ini, sih, bukan cantik lagi. Keren banget gini."

"Badass," Binta tidak mau ketinggalan.

Harus mereka akui, bahwa Rasi tampak luar biasa keren. Akun instagramnya mayoritas berupa promosi novel yang akan ia terbitkan, tetapi masih ada pula beberapa foto gadis itu terpampang di feed instagramnya. Tidak ketinggalan, mereka menghabiskan waktu untuk menonton beberapa video dari akun tiktok milik Rasi yang rajin mempromosikan novel miliknya yang sudah terbit.

"Ngga," Binta memanggil, Jengga sudah lemas melihat keluarganya yang heboh begitu, padahal dia rencananya ingin bersikap keren seperti Sekala dulu. Membawa gadis asing di acara makan malam keluarga besar dan memperkenalkannya sebagai pacar secara tiba-tiba. Bukan justru secara pemaksaan seperti ini. Gagal sudah rencana keren itu.

"Kenapa?" jawab Jengga lemas.

"Tanyain dong dia nyalon dimana? Aku juga pengin punya rambut warna-warni tapi tetap halus."

Jengga menatap tak percaya, "Tanyain aja sendiri," balasnya jutek.

"Dih, galak banget, dah."

Budhe tertawa kecil melihat reaksi Jengga yang lemas begitu. Pakdhe pun tidak ingin ketinggalan. Binta menghampiri dengan riang gembira dan menunjukkan wajah Rasi kepada ayahnya itu.

"Nggak apa-apa, Jengga. Wajar kok ngenalin cewek di umur-umur kamu yang segini."

"Belum saatnya ngenalin, Budhe. Orang dianya aja masih nolak aku berkali-kali."

"Anjir berarti kamu udah nembak dia berkali-kali?" Sekala menatap takjub.

"Mulutnya, Mas Kala," Budhe mengingatkan.

Jengga menatap datar kakak sepupunya itu, "Mana ada, mana aku berani. Cuma selama ini kan aku ngode-ngode tuh ke dia. Nah, dia tuh selalu bilang 'Aku lagi nggak tertarik pacaran sekarang, Ga. Aku belum siap sama diriku sendiri' atau 'Cowok yang perjuangin aku dengan susah payah aja aku tolak, apalagi yang effortless'. Kayak gitu, nggak ditolak gimana coba?" protes Jengga, "aku belum apa-apa udah ditolak sebelum berjuang."

"Nggak pa-pa, Ngga," Lintang menepuk pundak Narajengga, lalu mengangguk yakin menyemangati, "Perjuangin aja sampai mampus, aku aja dulu perjuangin kakakmu mati-matian. Dianya saja yang nggak peka-peka."

"He-he," Jengga tidak tahu harus merespon bagaimana, selagi di sebelahnya Sekala justru melayangkan protes kepada sang kekasih.

"Nyerah aja, Dek. Nggak usah dilanjutin," Binta mengompori seenaknya, dengan santai sembari menyeruput es teh, "Nggak sopan kamu yang pacaran duluan dari pada aku."

"Ih, apa urusannya coba?!" balas Jengga tidak percaya.

Lalu ruangan tersebut tak kunjung sepi. Jengga yang terus menerus diledek oleh keluarganya harus menghembuskan napas sabar berkali-kali. Namun meskipun begitu, di balik hatinya dia bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berkumpul dan berbahagia seperti ini.

Setelah orang tuanya meninggal, Jengga diurus oleh Budhe dan Pakdhe-nya. Pakdhe yang merupakan kakak dari Mama langsung membantu Jengga mengurus segalanya. Kakak-kakak sepupunya, Mas Sekala, Mas Nava, dan Mba Binta pun turut membantu dia dan Mas Angkasa selama ini. Bisnis orang tua mereka yang dilanjutkan oleh Angkasa pun tidak luput dari bantuan kakak-kakak sepupu mereka. Jadi sudah pasti keluarga inilah yang Jengga miliki hingga detik ini.

***

"Nggak ada kabar apapun sampai sekarang, Na." Rasi menunduk lemah, matanya menatap nanar ponsel yang belakangan sepi tanpa ada notifikasi dari Narajengga.

"Lebay," Ratna berkomentar, "Lagian dulu-dulu kamu juga sempat ngilang, kan? Ya udah, terima saja balasan yang setimpal."

Bibir Rasi yang maju, dengan sorot memelas itu tak juga menarik simpati Ratna, "Huaaaa, Ratnaaa, aku nggak mau kena karmaaaa!"

"Katanya kemaren nggak mau cowok-cowok-an. Nggak mau pacar-pacaran, sekarang gimana, sih?" Davi ikut mengomentari, selagi dia menghempuskan asap vape-nya.

Rasi juga bingung sendiri, "Nggak tau juga, cuma belakangan yang selalu nemenin aku kan dia. Kalian pada sibuk sendiri, jadi sepi aja rasanya. Ini nggak maksud macam-macam, kok." Rasi berkilah.

"Nyenyenye," cibir Ratna, "Terserah kamu aja, ya udah kalau nggak mau sepi, kamu aja chat dia duluan. Emang kenapa, sih? Parno amat."

Selepas dari kumpul-kumpul sore itu, Rasi merenungi ucapan Ratna yang memang tidak ada salahnya. Bunyi musik di mobilnya terus berputar tetapi pikiran Rasi melanglang buana. Gadis tersebut menggigit bibir bawahnya. Bingung sendiri terhadap perasaan yang tengah dirasakannya. Tidak bohong dia merasa sedikit kosong, mengingat belakangan ini selalu Narajengga yang mengisi hari-harinya.

Apa jangan-jangan aku sudah naksir lagi sama dia?

"Ya ampun, Rasi!!" serunya heboh di dalam mobil. Dia bahkan sampai menampar wajahnya sendiri. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan heboh membuat rambutnya acak-acakan.

"Mikir nggak bener. Sudah gila kamu, Rasi." Lalu Rasi menepuk-nepuk dadanya, bersamaan dengan tarikan napas mendalam yang ia hembuskan berkali-kali. Rasi mencoba bernapas dengan betul, mengabaikan detakan jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasa. Pun tidak memedulikan segala perasaan berbeda yang sedang menyapa saat ini.

"Nggak boleh, Rasi, nggak boleh," gumamnya kembali. Menekankan sekaligus mengingatkan kepada dirinya sendiri.

Kemudian dengan sorot matanya yang tajam dan penuh tekad yang kuat, bersamaan dengan cengkraman tangannya pada kemudi mobil, Rasi membulatkan hati dan ucapannya.

"Sampai kapanpun, kamu nggak boleh ada perasaan apapun sama dia, Rasi. Sampai kapanpun kamu nggak boleh bawa perasaan untuk semua perlakuan dia. Jangan biarkan perasaan konyol ini ngerusak semua rencana hidupmu ke depannya."

Begitulah tekad bulat yang Rasi ucapkan dan tanamkan dalam dirinya, sehingga meskipun ia merasa kehilangan Narajengga untuk sesaat, Rasi mencoba mengabaikan semua hal yang mengusik dirinya. Memantapkan diri pada fokus pekerjaannya saat ini. Sampai waktu berlalu begitu saja, hingga sudah nyaris jalan sekitar 2 minggu, Rasi benar-benar tidak mengontak Narajengga sama sekali. Sampai di 2 minggu setelahnya, barulah muncul pesan baru dari Narajengga yang melanjutkan komunikasi mereka.

Sampai jumpa di bab selanjutnyaaaa, jangan lupa vote, komen, dan share ke yang lainnya juga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro