17. Prinsip Hidup Rasi dan Tekad Narajengga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloo, selamat datang di semesta bintang. Jangan lupa tekan tombol bintangnya sebelum membaca. Selamat bersemesta!!

            Ratna tersenyum simpul melihat Rasi yang berada di hadapannya, kali ini Davi tidak bergabung karena masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Di luar dugaan, Rasi tampak begitu tenang dibandingkan beberapa hari lalu. Raut wajahnya seolah tidak terusik apapun. Rasi yang kerap merengek karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan juga tidak lagi di hadapi oleh Ratna. Belakangan memang kondisi finansial Rasi cukup bagus, katanya ada beberapa pekerjaan yang dia terima sebagai penulis lepas. Lambat laun tidak mendapatkan pekerjaan, Rasi memilih melakukan apa saja semampunya. Sehingga kini karirnya cenderung stabil.

"Belakangan nggak terjadi sesuatu?" Ratna memilih bertanya, ia menyeruput teh hangatnya sesaat sembari menatap Rasi.

Rasi menggeleng, ia asyik menyantap pisang bakar dengan taburan meses cokelat yang sudah meleleh, "Semuanya aman-aman aja. Rekeningku juga lumayan bagus," jawab Rasi, "Memangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa, ekspektasiku itu ya cuma ... ku pikir kamu kelihatan sedikit galau mungkin?" ucap Ratna setengah ragu.

Rasi tersenyum miring, "Galau karena?"

"Jengga yang belakangan ngilang." Ratna menembak tanpa basa-basi.

Rasi menarik napasnya sesaat. Benar juga, sudah sangat lama dia tidak melakukan percakapan secara mendalam entah itu bersama Ratna ataupun Davi. Mereka bertiga disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Mungkin ini adalah saatnya yang tepat.

"Dia juga punya kesibukan sendiri, Na," jawab Rasi begitu enteng, meskipun tidak menampik hatinya sedikit terasa berat.

"Sibuk yang sampai nggak hubungin kamu apapun. Bukannya kamu bilang selama ini dia sering luangin waktunya? Atau barangkali minimal ngabarin kamu." Ratna memancing.

"Udahlah, Na," Rasi berkata pasrah, bersamaan dengan napasnya yang berhembus pelan, "Aku nggak mau terjadi apapun lagi. Aku nggak mau buat hatiku goyah lagi."

Lalu si gadis Candraningtyas itu menatap sahabatnya, "Ratna tau sendiri rencana hidupku ke depannya itu bagaimana. Cinta hanya akan merusak semuanya. Cinta hanya akan buat aku jadi orang yang bodoh."

"Tapi gimana sama perasaanmu sendiri?"

Rasi mengangkat dua bahunya, "Aku nggak mau mengakui apapun itu. Setiap hari aku ingatin diriku sendiri supaya nggak bawa perasaan apapun yang Jengga lakukan. Anggap saja itu perhatian seperti yang Davi kasih."

"Nggak sebesar perhatian Davi tapi. Kamu tau itu, kan, Ras?"

"Aku tau," Rasi mengangguk, "tapi aku hanya pura-pura untuk nggak tau. Aku sadar untuk semua perilakunya. Meskipun aku coba untuk berpikir positif dan nggak mau kegeeran sendiri, tapi ada satu sisi hatiku yang bilang kalau Jengga memang sedang coba untuk dekatin aku."

"Ras, kalau kamu memang nggak ada niatan apapun, kamu bisa nolak dia. Nggak usah terlalu ladenin semua maunya. Nantinya dia pikir kamu kasih lampu hijau."

"Iya," Rasi menatap kosong pemandangan luar kafe dari balik kaca bening itu, "Harusnya aku ngelakuin itu dari awal. Padahal niat awalku cuma mau temenan saja. Sama kayak Davi yang kadang ajakin aku jalan kalau dia nggak bisa jalan sama kamu. Tapi setelah makin sering keluar sama dia, memang ada satu hal yang beda, Na. Entah hal itu apa, tapi yang jelas memang rasanya berbeda."

Ratna sedikit-banyaknya mengerti. Gadis tersebut mengangguk seusai mendengar cerita Rasi, "Terus kamu masih ladenin dia?"

"Aku coba untuk memperlakukan dia sama kayak gimana aku memperlakukan Davi," jawab Rasi tanpa pikir panjang, "tapi seperti yang kamu tau. Dia kesannya memperlakukan aku secara ... spesial."

Ratna mengangguk setuju, "Teman mana yang hampir tiap hari chatting-an, kadang malah sampai nelfon malam-malam sebelum tidur."

Rasi tertawa kecil, "Aku nggak pernah pacaran, tapi aku setidaknya tau kalau itu biasanya dilakukan antara sepasang kekasih." Kemudian ia melanjut, "Nggak usah khawatir, Na. Aku sesekali sudah bilang kalau aku nggak ada niatan untuk menjalin hubungan di umur-umur segini. Dia pasti mengerti."

Ratna setidaknya bisa bernapas lega, "Iya, kasihan kalau terlalu jauh. Nantinya beban di kamu juga."

"Aku juga nggak mau geer-geer banget, sih, Na. Meskipun sebenarnya ada pikiran yang menjurus ke arah sana, aku coba untuk tetap positif thinking kalau itu hanyalah sebuah perlakuan baik yang aku terima. Dan aku mencoba untuk berpikiran ke sana. Biar aku nggak terlalu bawa perasaan."

Lalu Rasi tersenyum tipis, "Jatuh cinta hanya karena diperlakukan baik itu sama sekali nggak enak, Na."

"Selain itu," Rasi melanjutkan ucapannya seiring dengan hembusan napasnya, "Dia mahasiswa tingkat akhir, Na. Rentan stress, butuh pelampiasan, teman-temannya barangkali sudah banyak yang lulus sibuk dengan dunia mereka, sementara Jengga sendirian. Dia bisa saja merasa kesepian. Nggak sedikit kasus mahasiswa semester akhir yang cari teman jalan hanya supaya mereka nggak merasa sepi."

Ratna mengangguk, jawaban atas segala pertanyaannya sudah terjawab sempurna. Sangat Rasi sekali. Si realistis.

"Kamu sendiri sejauh ini gimana? Kerjaannya baik? Teman-teman kantor nggak ada yang nakal, kan?" Rasi mengalihkan topik.

Lalu obrolan selanjutnya menjadi topik yang lebih ringan. Ratna menceritakan beberapa pengalamannya selama bekerja. Tak luput teman-teman kantornya, lingkungan kerjanya, atau sekedar atasan yang sedikit cerewet dan memintanya menyelesaikan banyak hal. Namun terlepas dari lelahnya Ratna, Rasi bisa melihat senyum bahagia gadis tersebut. Bisa bekerja meskipun lelah, tapi bayaran di akhir bulan setidaknya cukup mengobati. Diam-diam Rasi meringis, dia belum mendapatkan pekerjaan tetap meskipun sudah tidak begitu iri lagi dengan pencapaian Ratna dan Davi.

"Nggak ada niatan mau lanjut studi, Na?" Rasi bertanya iseng.

Ratna dengan tegas menggeleng, "Aku cukup S1 saja, kalau ada hidayah yang mungkin akan jarang didapat, baru aku mikirin buat lanjut kuliah. Kalau kamu gimana?"

"Close enough, tapi aku masih ada semangat untuk belajar," Rasi tersenyum.

Ratna menatap ngeri, "Eww, nggak heran, sih. Anak ambis macam kamu emang cocok buat sekolah terus-terusan."

Rasi tertawa kecil, "Masih banyak hal di dunia ini yang mau aku capai, Na," lalu ia menatap Ratna dengan sorot yang sangat serius, "Dan aku nggak akan membiarkan apapun untuk merusaknya. Demi masa depan itu, aku harus mengorbankan banyak hal, termasuk urusan cinta dan hati."

***

Ini bukanlah tentang masalah besar yang perlu dipikirkan bersama-sama, hanya saja Narajengga sejak tadi tampak begitu resah meskipun luarnya dia terlihat biasa-biasa saja. Pemuda tersebut memilih duduk di beranda rumah. Dengan satu kakinya yang terangkat naik, dan rokok yang berada di selipan jemarinya, Jengga mencoba untuk menikmati momen ini dengan baik. Akan tetapi, gambaran seorang perempuan si cantik Candraningtyas sudah memonopoli isi kepalanya sejak tadi.

Di sampingnya, Angkasa hanya bisa mendesah pasrah melihat adiknya yang dimabuk cinta itu. Ia menyeruput kopi hitam yang sudah mulai mendingin, membiarkan matanya terasa segar melihat hujan yang turun membasahi halaman serta membawa angin dingin pada tubuhnya. Di nuansa yang damai ini, dia memilih untuk menikmatinya.

"Mas," panggil Jengga.

"Hm," balas Angkasa.

"Dulu ..." Jengga sebenarnya sedikit ragu untuk menanyakan, tetapi pada akhirnya ia memilih nekat, "Sewaktu sama Mba Biru, Mas gimana sama dia?"

Biru.

Nama itu sudah sangat amat lama tidak didengar oleh Angkasa. Meskipun sudah cukup lama berlalu, namun agaknya sensasi menyakitkan kerap menyapa dada Angkasa setiap kali nama wanita itu diucapkan.

Angkasa memilih tersenyum simpul, "Bagaimana apa maksudmu?"

"Ambil cintanya Mba Biru. Sampai bisa-bisanya rebut Mba Biru dari Mas Langit," Jengga mendadak merasa bersemangat, tanpa tahu diri sudah menyinggung perasaan Angkasa, "Ajarin, Mas. Mas yang jadi selingkuhan itu sudah jadi motivasiku."

"Hei," tegur Angkasa, "selingkuhan palamu. Mana ada yang begitu-begitu." Angkasa tidak terima.

"Tapi dulu Mba Biru kan jadinya cinta mati sama Mas Angkasa! Ayo dong bagi-bagi tipsnya!" Jengga merengek.

Angkasa menatap kesal, lalu menjawab seadanya, "Nggak gimana-gimana. Tiba-tiba jatuh cinta saja."

Jengga lantas menatap datar, "Jawaban yang sama sekali nggak membantu."

Lalu Angkasa menyeringai licik, "Sederhananya, aku ganteng. Dan Langit kalah saing sama kegantenganku. Kamu kalau mau menangin hatinya Rasi," Angkasa menunjuk wajahnya, "Harus punya modal ini."

"Dih, sombong. Apa-apaan coba jawaban itu."

"Lho itu benar, Ngga," kata Angkasa mencoba realistis, "tulus, baik, punya uang, itu modal ke-sekian. Yang paling penting itu urusan fisik. Itu modal terbesar kalau kamu mau merayu perempuan. Bahkan nggak perlu merayu saja, kadang mereka yang datang sendiri."

Jengga menatap ngeri Angkasa, tetapi dia lebih ngeri lagi mengingat sifat dan tabiat Rasi. Gadis itu bahkan sudah punya Davi sebagai sahabatnya. Jengga tidak bisa melupakan tubuh jenjang dan atletis, rahang Davi yang tajam, sorot matanya yang mendalam, kulitnya yang putih mulus, serta wajahnya yang rupawan. Nilai tambah karena selera fashion Davi sangat amat kekinian dan sudah macam artis saja. Sudah disodorkan begitu saja hati Rasi tidak tergerak. Apalagi dengan modal wajah seperti Jengga ini?

"Aku ganteng nggak, Mas?" pada akhirnya ia bertanya.

Angkasa tidak menyangka Jengga menanyakan ini padanya. Melihat sedikit geli kepada sang adik, pada akhirnya Angkasa menjawab, "Ganteng, kamu kan adikku. Kalau aku nggak ganteng, kamu mana mungkin ganteng."

Jengga mendesah sebal, tidak ada harapannya membicarakan masalah hati dengan Angkasa. Namun, saat dia hendak pergi dan memilih menyerah, ucapan terakhir Angkasa menyita atensinya.

"Ada satu modal lagi yang bisa kamu punya, Narajengga," katanya, lalu Angkasa tersenyum dengan sorotnya mata yang menyimpan banyak makna, "Apapun modal yang kamu miliki, meskipun kamu merasa kurang dan kalah saing dengan lelaki lainnya, kamu nggak boleh sekalipun menyerah atas perempuan itu."

"Perjuangkan dia," ucap Angkasa, "Perjuangkan dia mati-matian dengan semua usahamu yang kamu punya. Kamu harus bekerja keras untuk itu. Sampai waktunya nanti kamu harus berhenti berjuang."

"Berhenti berjuang?" Jengga menaikkan alisnya bingung, "Maksud, Mas?"

Angkasa tersenyum misterius, lalu menyeruput kopinya dengan santai, "Kamu sendiri yang nantinya tau, kapan kamu harus berhenti berjuang atas dia."

"Jangan khawatir, Mas!" Jengga tiba-tiba membara dengan tekad dan sorot mata yang penuh keyakinan, "Akan kukejar cintanya secara ugal-ugalan."

Angkasa menghela napas, meskipun ia tersenyum geli melihat tingkah sang adik yang kini sudah menghilang di balik pintu. Namun selepas kepergian Narajengga, Angkasa menatap kosong halaman rumahnya. Pandangannya justru terbawa pada sosok gadis cantik yang sudah lama tinggal di hatinya.

"Iya, perjuangkan dia Narajengga," gumam Angkasa. Mata pria itu menutup dengan hembusan napasnya yang memberat, "Buat dia jadi milikmu seutuhnya, dan jangan lepas dia. Jangan lakukan kesalahan seperti aku."

Haiii, di sini kalian ketemu sama Biru dan Angkasa yaaa. Dapat sedikit spoiler tipis-tipis dari seri semesta bintang ini. Jangan lupa, semestanya Mas Angkasa-Mba Biru-dan Kak Langit akan hadir di seri semesta ketiga yaitu semesta Angkasa dengan judul Rona Angkasa. Yang akan dituliskan setelah Merekah Bintang ini selesai. Jadi, tetap ikuti seri semesta ini yaa.

Jangan lupa share cerita ini ke yang lainnya dan vote serta komen. Sampai jumpa di bab selanjutnyaa!!

untuk pengingat, kita tampilkan dulu tokoh-tokohnya di sini

Ada  Jengga di sinii

Rasi sama rambutnya yang gonta-ganti warna


lalu tokoh semesta selanjutnyaaa

Mas Angkasaaa

Mba Biru

Kak Langittt

(kalian udah ketemu Kak Langit di novel "Kepada Langit", kan?? Yang belum bisa langsung cek novelnya dan sedikit banyaknya udah kenal Kak Langit dari sana)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro