Bab 32 - Perang Dunia Jilid Dua?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mood-ku sempat anjlok waktu Radit pulang tanpa membawa pesanan utama. Katanya, resto makanan Indonesia yang dia tahu, hari ini lagi enggak bikin pisang goreng. Sebagai gantinya, dia membelikan perkedel jagung, tahu isi, dan bala-bala. Masih satu keluarga sama pisang goreng, kilahnya. Tadinya aku mau marah, tapi begitu melihat cucuran keringat di keningnya, aku jadi enggak tega. Kalau dipikir-pikir, Radit betulan habis keliling kota. Dia mampir ketiga tempat. Restoran, grocery store, terus kafe yang di bawah. Aku jahat enggak, sih? Enggaklah, ya.

"Mia, bisa ke sini sebentar?" panggil Radit yang sedang beristirahat di kamar. Aku buru-buru mengunyah dan menelan isi mulut, sebelum berjalan cepat menghampirinya.

"Iya, Kak? Kenapa?" tanyaku setelah duduk di samping Mas Suami. Alis Radit bertautan sembari menatap layar ponsel. Perasaanku jadi enggak enak. Sepertinya ada masalah.

"Kayaknya lebih baik kita kasih tahu keputusan kita untuk menunda punya anak ke keluargaku, deh. Kamu enggak keberatan, kan? Dari kemarin, Kak Ranti udah nanyain terus." Radit bertanya dengan menatapku tanpa mengedip. Dia berusaha meyakinkan, sampai akhirnya aku mengangguk.

"Oke. Aku telepon Bunda sekarang, ya? Mumpung di Bandung masih sore." Aku mengangguk lagi, meski diam-diam menelan ludah saking gugupnya. Enggak butuh waktu lama, suara Bunda terdengar.

"Assalamualaikum, Radit. Kamu ke mana aja? Kayaknya udah seminggu Bunda enggak denger suara kamu," tegur Bunda pelan. Mataku langsung menyipit ke arah Radit. Namun, lelaki yang sedang duduk menempel denganku itu enggak bereaksi sama sekali. Aku kira selama ini dia rajin menelepon Bunda, ternyata enggak juga.

"Iya, maaf, Bun. Radit lagi agak sibuk. Setiap weekend juga pergi sama Mia. Beli kebutuhan buat di apartemen."

"Ya, udah. Bunda paham, kok. Ranti banyak cerita sama Bunda. Mia apa kabar, Dit?" Begitu mendengar namaku disebut, Radit langsung menoleh. Dia menyodorkan ponselnya, supaya aku bisa mengambil alih.

"Halo, Bunda!" sapaku penuh riang gembira.

"Eh ... Mia. Bunda kira Radit nelfon sendirian. Ini hari apa, sih?" tanya Bunda heran.

"Hari Jumat, Bun." Radit menyela saat aku hampir berbicara.

"Kok siang-siang kamu udah di rumah, Dit? Memangnya hari ini enggak kerja." Bunda semakin keheranan. Waduh, kalau Bunda sampai tahu Radit bolos kerja karena aku lagi manja, bisa gawat.

"Hm .... Mia lagi kurang sehat, Bun. Jadi Radit kerja dari rumah hari ini," jawab Radit tenang. Seketika aku lega. Untung saja Radit bisa bekerja sama tanpa diminta.

"Mia sakit apa, Sayang? Udah minum obat?"

"Udah mendingan kok, Bun. Tadi pagi udah makan buah sama vitamin juga," jawabku cepat.

"Alhamdulillah. Jaga kesehatan, ya, Mia. Radit juga. Dia kan suka begadang, tuh."

"Iya, Bun. Pasti Mia ingetin selalu," balasku seraya melirik malu-malu ke arah lelaki yang matanya tertuju padaku. Definisi malunya, bukan malu-malu gemas gitu. Akan tetapi, malu karena enggak enak hati. Apalagi kalau bukan karena aku suka lupa. Maklum masih masa transisi-begitu saja terus alasannya.

"Bun, ada yang mau Radit dan Mia bicara-"

"Sebentar, Dit. Ini Ayah mau ngobrol juga sama kalian," seru Bunda ceria. Namun, berbeda halnya dengan raut wajah kami berdua yang berubah suram dalam sekejap.

"Halo, Mia, Radit .... Kalian berdua apa kabar?" Suara Ayah terdengar pelan, tapi mampu mengisyaratkan harapannya pada kami. Radit jadi kelihatan sedih. Sudut bibirnya mulai melengkung ke bawah.

"Halo juga, Yah," jawab Radit berusaha biasa saja.

"Halo, Ayah. Apa kabar?" Aku bertanya ramah. Tarikan napas Ayah yang berat terdengar begitu jelas melalui pengeras suara. Meskipun aku tahu beliau pasti kesusahan untuk berbicara panjang lebar, semangatnya untuk mengobrol seakan enggak pudar sama sekali.

Ayah sama Bunda banyak bercerita dan bertanya mengenai kehidupan pernikahanku dan Radit. Sebisa mungkin aku menceritakan kisah yang bahagia dan menyenangkannya saja. Sama sekali enggak menyinggung perdebatan yang pernah terjadi beberapa hari lalu. Porsi berbicaraku juga lebih banyak. Radit sering melamun sepanjang obrolan. Aku tahu jelas, Radit sedang bimbang sekarang.

"Jadi, kapan nih Ayah punya cucu?"

Akhirnya pembicaraan sampai ke sini juga.

"Masalah itu, Yah. Hm .... Mia sa-"

"Kita akan usahakan secepatnya, Yah," potong Radit cepat. Saking terkejutnya, aku sampai enggak bisa mengatakan apa-apa. Aku melongo beberapa detik, lalu mengerjap cepat dan kembali melihat ke arah layar ponsel Radit.

"Alhamdulillah... Ayah selalu mendoakan kalian berdua. Soalnya udah enggak sabar ingin melukin cucu Ayah nanti," tambah Ayah. Beliau terdengar begitu bahagia.

"Ayah, udah dulu ngobrolnya. Mulai sesek tuh napasnya," tegur Bunda. "Mia, Radit. Besok kita ngobrol lagi, ya. Ayah harus istirahat."

"Iya, Bun. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi, ya," jawab Radit. "Salam buat semuanya, Bun. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Kalian baik-baik di sana, ya. Radit, jangan lupa salat Jumat! Mia tolong ingetin Radit kalau kelihatan suka telat salatnya ya, Sayang." Aku menyengir, lalu mengiakan dengan sebuah anggukan cepat. Sebetulnya kebalik Bunda. Malah aku yang sering diingatkan salat sama Radit. Hehe...

Tawa dalam hati segera berhenti, ketika sambungan panggilannya terputus. Aku mulai berancang-ancang, sebab pertengkaran jilid dua akan segera dimulai.

"Kak Radit, kok bilang gitu, sih? Katanya tadi mau jujur aja?!" tanyaku enggak terima. Kepala Radit menunduk. Dia menghindari tatapanku, lalu bangkit dan melenggang pergi keluar kamar begitu saja.

"Kak Radit!" Serius, deh. Ini pertama kalinya aku berteriak sekeras ini pada Radit.

Aku bangkit dan menyusulnya ke dapur. "Kak!" panggilku sekali lagi.

Radit sedang berdiri di depan kulkas. Dia memunggungiku. Terlihat jelas sengaja memilih untuk enggak mengacuhkanku. Aku putuskan untuk memberinya waktu, sembari mencoba duduk tenang di sofa.

"Mia .... Apa kamu bener-bener enggak bisa mengalah?" tanya Radit begitu duduk di sampingku. Kedua tangan aku lipat di depan dada. Aku menatapnya sembari menekuk wajah.

"Kak-"

"Kamu enggak kasihan sama ayahku? Apa kamu enggak bisa lihat begitu besarnya harapan kedua orangtuaku pada kita? Sama kamu?" Ucapan Radit membungkamku yang hampir melawan. "Tolong, Mia .... Aku enggak tahu sampai kapan ayahku bisa bertahan. Izinkan aku untuk bisa membahagiakannya. Sekali ini aja, Mia. Aku mohon sama kamu ...."

Aku bergeming. Membuang muka ke arah jendela. Jujur saja, aku mulai lelah dengan permasalahan yang enggak selesai-selesai ini. Terus berputar dan kembali ke titik yang sama. Pada akhirnya, semua kompromi yang kami bicarakan sebelumnya terasa percuma. Ujung-ujungnya dia mendesak, dan tampaknya enggak akan berhenti sampai aku bilang, iya.

"Mia ...." Radit meraih dan menggenggam tanganku. Kepalanya menunduk, menungguku berbicara.

"Kasih Mia kesempatan untuk mikir dulu, Kak. Mia butuh waktu buat bersemedi," jawabku sudah kehabisan ide.

"Satu lagi. Kalo bisa, jangan sampai Mama sama Papa tahu kita lagi berantem, ya. Mia enggak mau mereka khawatir."

"Okay. Aku akan berusaha bersikap biasa aja," jawab Radit tanpa tenaga. Dia sedikit meremas tanganku. Membuatku mengangkat kepala dan menatapnya.

"Sekali lagi, aku minta maaf."

***

Setelah pembicaraan tadi selesai, Radit buru-buru ganti baju dan hanya sempat mengunyah dua tahu isi sebelum berangkat untuk salat Jumat di Masjid York. Untungnya, lokasi masjid enggak begitu jauh dari apartemen. Kata Radit, hanya sekitar sepuluh menit dengan memakai sepeda.

Kesendirian membuat pertahananku runtuh seketika. Aku tertidur lemah di atas kasur. Bergelung dalam dekapan yang perlahan semakin erat. Anganku mencoba menerka masa depan. Juga terus berusaha menempatkan diri di posisi Radit yang begitu terhimpit. Embusan panjang yang berakhir lemah, lolos tanpa direncanakan. Aku hanya bisa memejamkan mata. Tautan tangan pun perlahan melonggar.

Dalam kegelapan, aku terus menggali ingatan menyenangkan ketika menyaksikan Teh Nuri hamil hingga melahirkan. Raut bahagia Teh Nuri dan A Vidi saat pertama kali tahu kalau tetehku tengah mengandung, muncul tanpa usaha. Aku jadi penasaran, akan bagaimana ekspresi wajah Radit pas tahu aku hamil nanti. Dia pasti bahagia banget, kan? Malah mungkin bakal mengadakan syukuran tujuh hari tujuh malam.

Aku terkekeh sendiri memikirkan kemungkinannya. Lalu, tiba-tiba momen bahagia yang memenuhi kepala, menghilang dan tergantikan oleh ingatan ketika kakakku sedang mengalami kontraksi sebelum melahirkan. Wajah kesakitan juga teriakan pedihnya membuat mataku terbuka seketika. Dekapanku mengerat. Semacam ingin melindungi diri dari datangnya peristiwa di antara hidup dan mati yang cepat atau lambat akan kualami.

Akan tetapi, suara nada dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi kencang memutus segala lamunan. Kuusap kasar wajah yang tegang, lalu kembali duduk dengan mood yang masih kacau balau. Aku menoleh tanpa semangat. Memandangi layar yang kini terang benderang. Nama Teh Ranti tertera di sana.

Tumben banget, kakak iparku menelepon. Kira-kira ada apa, ya? Waduh, jangan-jangan ada sesuatu sama Ayah. Aku menegakkan tubuh, dan menarik napas sebelum mengangkat panggilan.

"Assalamualaikum, Teh Ranti," sapaku berusaha ramah meski jantung telah berdebar hebat. Sebagai antisipasi, aku menyiapkan mental. Berjaga-jaga kalau ada kabar yang akan mengagetkan. Syukurlah, enggak terdengar suara tangis atau kepanikan sama sekali. Malah kakak iparku kedengarannya sedang bahagia. Aku sampai mengelus dada saking leganya.

"Wa'alaikumsalam, Mia. Kamu lagi apa? Teteh ganggu, enggak?"

"Enggak kok, Teh. Mia lagi enggak ngapa-ngapain."

"Kabar kamu sama Radit gimana? Betah di Yorknya?"

"Betah. Alhamdulillah. Kabar Mia sama Radit juga baik-baik. Kabar Teteh sama A Geri, gimana?"

Aku memundurkan posisi duduk hingga hampir tiba di dekat bingkai tempat tidur, sebelum menyandar pada dua bantal gemuk yang terbungkus sarung bermotif floral. Sepertinya obrolan dengan Teh Ranti akan berjalan agak lama. Meski terdengar ramah dan biasa saja, aku bisa menangkap kegelisahan di baliknya.

"Teteh sama A Geri alhamdulillah baik semua. Ayah memang masih belum ada perkembangan berarti, tapi alhamdulillah makin ke sini mukanya makin cerah," jawabnya pelan. Belum sempat menjawab, suara Teh Ranti lebih dulu menyambung percakapan. "Mia, sebetulnya Teteh menelepon kamu, karena mau ngomongin sesuatu," kata Teh Ranti kini berubah terdengar ragu-ragu.

Kelegaan yang tadi terasa di dada, perlahan memudar. Tanpa sadar aku menelan ludah. Jangan bilang, Teh Ranti mau membahas masalah anak. Aku harus jawab apa nanti.

"Iya, Teh. Ada apa, gitu?"

"Hm ... sebelumnya, Teteh minta maaf, Mia."

"Eh? Teh Ranti kenapa tiba-tiba minta maaf begini?" Ucapan acak Teh Ranti membuatku panik. Apalagi tarikan napasnya mulai enggak beraturan. Seperti hampir menangis, tapi masih berusaha menahan sekuat tenaga.

"Teh?" Aku memanggilnya setenang mungkin. Namun, bukan jawaban yang terdengar dari pengeras suara. Melainkan isakan samar yang tersendat dan begitu berat.

Ini kenapa kakak beradik pada meminta maaf semua sama aku hari ini, sih?

"Mia ... maaf banget, ini semua, salah Teteh ...," ucapnya susah payah. Aku mengernyit kebingungan. Sementara kakak iparku masih terus menangis. Tersengguk-sengguk cepat, hingga terdengar kesulitan bernapas.

"Teteh cerita aja atuh. Kenapa, Teh? Apa ada sesuatu sama Ayah? Tapi, tadi Mia sama Radit baru teleponan, kok. Bunda enggak bilang apa-apa."

Teh Ranti mendesah berat. "Bukan. Bukan itu, Mia," jawabnya setelah menarik napas dalam. "Teteh tahu, kalau kamu sama Radit, berbeda pendapat masalah anak. Radit ... memang enggak pernah bilang secara langsung, tapi ... setiap kali ditanya tentang anak, dia lebih banyak diam."

Aku tertegun. Bahkan, tanpa disadari tubuhku mulai menegang. Kini aku enggak lagi menyandar santai. Sudah duduk bersila dengan punggung menegak. Kukira selama ini Teh Ranti enggak tahu apa-apa. Sudah sebulan lebih semenjak aku menguping pembicaraan mereka waktu itu.

Ah, iya juga. Masa mereka enggak pernah mengobrol lagi? Tetehku saja kadang suka menelepon. Walau hanya sekadar mengecek apa kemampuan memasakku sudah ada kemajuan setelah ikut les memasak. Sebelas dua belas sama Mama. Katanya, mereka takut Radit jadi kurus terus penyakitan gara-gara kurang asupan makanan sehat, kalau aku masakin menu yang itu-itu melulu. Bukan aku loh, yang mereka khawatirkan.

"Memang sempet sih, Teh. Tapi, sekarang kita udah baikan, kok. Teteh tenang aja. Enggak usah minta maaf gitu. Teteh kan, enggak salah apa-apa," jawabku akhirnya. Begitu selesai mengucapkan kata terakhir, aku mengembuskan napas lega dengan agak menjauh dari ponsel.

"Ini salah Teteh, Mia. Teteh ...."

Ucapannya terhenti, bersamaan dengan tarikan napasku yang seperti tersangkut di tenggorokan. Tiba-tiba aku teringat pada pertanyaan yang aku tanyakan pada Radit tempo hari. Pertanyaan yang enggak mampu dia jawab. Pertanyaan yang bikin situasi di antara kami mendingin semalaman. Pertanyaan yang sesungguhnya enggak ingin aku tahu jawabannya. Sebab, aku takut jadi makin merasa bersalah pada semua orang nantinya.

"Teh Ranti ...."

"Teteh mandul, Mia. Teteh, enggak bisa punya anak. Alasan ini yang bikin Teteh terus bertanya pada Radit. Maaf ... seharusnya Teteh bilang dari awal. Seharusnya Teteh cerita sama kamu. Maafin Teteh yang pengecut ini. Maaf ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro