Bab 33 - Gloomy Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sempat bercerita sedikit pada Aysha lewat chat, tentang perdebatan yang terjadi di antara aku dan Radit sebelum Teh Ranti menelepon. Itulah mengapa, ketika sambungan nomorku kembali tersedia, enggak lama nama Aysha muncul menghiasi layar ponselku. Dan di detik pertama mengangkatnya, aku langsung terisak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan besar.

Rasa bersalah dan malu menghimpit dada. Terasa sesak dan memuakkan, seperti ada yang ingin meledak dari dalam. Aku menangis tersengguk-sengguk dan enggak bisa mengucapkan apa-apa. Aysha jadi panik. Dia mencoba menenangkan, tapi selalu gagal. Tampaknya rasa bersalah yang mengendap sudah terlampau besar. Hingga membuatku enggak berani menghadapi Radit sampai detik ini.

"Sebetulnya kamu kenapa, Mia? Sejak kemarin kamu berubah banget," tanya Radit yang tengah menyetir pelan. Dia menyempatkan diri untuk menggenggam tanganku.

Lalu lintas yang sedang cukup padat, membuat Radit enggak bisa berlama-lama mengalihkan pandangan. Aku menoleh. Memaksa ujung bibirku terangkat meski sedikit, ketika tatapan kami bertemu. Dia menarik napas dalam. Kerutan di keningnya seolah bertambah akibat ulahku yang tiba-tiba mendiamkannya.

"Kalau memang begitu susah untuk mengiakan, aku enggak akan memaksa lagi. Aku enggak mau kita jadi menjauh, seperti sekarang. Diamnya kamu kali ini beda, Mia. Beda dari sebelum-sebelumnya," tegasnya lagi, menyertakan kesimpulan di akhir kalimat.

Ucapan Radit membuatku kembali merenung. Menatap kosong ke jalanan yang ada di hadapan. Sementara Radit masih terus berbicara. Mengungkapkan isi hati dan emosi yang dia pendam sendiri. Aku mendengar, tapi enggak punya tenaga untuk merespons. Namun, lain halnya dengan lamunanku. Dia mampu berlarian ke mana-mana, hingga akhirnya berhenti di percakapanku dengan Aysha kemarin.

"Tindakan Radit itu make sense banget sih, Mi. Kalau gue jadi dia, pasti gue juga akan ngelakuin hal yang sama. Siapa sih, yang enggak mau membahagiakan orang tua? Mana posisinya terdesak begitu. Cuma dia satu-satunya harapan yang keluarganya punya. Tapi, gue enggak akan nge-judge lo terlalu egois atau gimana. Wajar kalau lo merasa kayak dijebak. Menurut gue ya, tetehnya Radit memang ada salahnya juga. Seharusnya doi bilang dari awal kalau memang mengharapkan lo langsung beranak setelah nikah sama adeknya. Hm... Gue cuma bisa bilang, apapun keputusan lo, gue bakal selalu dukung seratus persen, Mi. Cuma lo yang tahu, apa yang bisa bikin lo bahagia. Maybe, dengan mengorbankan ego dan berusaha membahagiakan semua orang, atau mungkin, dengan jujur ke Radit, keluarganya, juga keluarga lo. Kasih tahu mereka apa yang lo mau, juga alasannya. Kalau misalnya setelah diobrolin, masih belum ada jalan keluar,  ya ... mungkin lo dan Radit memang nggak ditakdirkan untuk satu sama lain, Mi."

Kata pisah enggak pernah tebersit di kepalaku sebelumnya, kalau bukan Aysha yang memaparkan kemungkinan terburuk itu. Berpisah sama Radit? Apa egoku begitu tinggi sampai membuatku rela melepas lelaki sebaik ini?

"Enggak! Enggak mau!"

Teriakan kencang lolos dari mulutku yang semula mengatup rapat. Bersamaan dengan mengalirnya cairan bening dari setiap sudut mata. Aku menangkup wajah dengan kedua tangan. Ingin menyembunyikan bukti dari ketakutanku akan perpisahan.

Mobil yang membawaku tiba-tiba menepi. Saat menyadari situasi, aku membuka mata dan mendapati wajah Radit yang tengah diselimuti kepanikan. Dengan gerakan cepat, dia melepas sabuk pengaman milikku dan miliknya. Lalu menarik tubuhku yang gemetaran untuk masuk ke dalam dekapannya yang selalu hangat.

Tangan Radit mengusap punggungku pelan dan berulang. Dia begitu berusaha menenangkan juga meyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. Kalau semua orang pasti enggak akan keberatan dengan keputusanku. Kalau sesungguhnya dia enggak ingin memaksaku lagi. Kalau dia sudah sangat mencintaiku.

Tangisku pun semakin keras. Seluruh bimbang dan sesak aku tumpahkan sampai puas. Aku baru bisa menarik napas lega, setelah menangis beberapa saat. Merasa pegal dan lelah, perlahan aku melepaskan diri dari dekapan Radit.

Kutatap lekat sepasang iris gelap miliknya, sembari mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan isi kepala. Radit dengan sabar menunggu. Dia mengambil satu per satu anak rambutku yang sudah enggak beraturan, merapikan setiap helaian, dan terakhir mencium lembut keningku.

"Kak Radit, maafin Mia, ya. Mia udah egois banget, dan enggak peka sama keadaan," kataku akhirnya.

Radit menggeleng, lalu tersenyum tulus. "Aku juga minta maaf ya, Sayang. Aku udah bikin kamu stres sampai nangis begini. Aku beneran merasa bersalah. Maafin aku, ya?"

Aku mengangguk, sembari menyeka air mata yang masih mengalir sesekali. "I, iya, Kak. Udah Mia maafin, Kok. Teh Ranti, udah cerita semuanya kemarin." Aku sengaja menjeda ucapan, untuk menarik napas. Sekaligus ingin menilai isi pikiran Radit lewat ekspresi wajahnya yang terkadang sulit ditebak. "Kenapa Kak Radit enggak jujur aja waktu itu? Mia ngerasa jahat banget, Kak. Mia udah sempet berpikir yang enggak-enggak sama Teh Ranti, sama Kak Radit," lanjutku agak terbata-bata.

Radit menyunggingkan senyum tipis di bibir tebalnya, sebelum kembali duduk menghadap ke depan. Dia terdiam dengan kepala sedikit menunduk. Sementara kedua tangannya mencengkeram kemudi. Radit tampak begitu kalut. Dia sudah enggak bisa menutupinya lagi.

"Keadaan Kak Ranti, enggak mudah untuk dijelaskan, Mia," kata Radit lemah. Kepalanya terangkat. Dia menatap jauh ke depan. "Aku masih inget banget. Awal tahun lalu, tiba-tiba Kak Ranti memintaku pulang. Karena kebetulan udah hampir enam bulan enggak pulang ke Bandung, jadi aku menyempatkan cuti. Sebelumnya aku enggak pernah kepikiran kalau Kak Ranti dan A Geri punya masalah. Aku kira mereka memang sengaja menunda punya anak, karena masih ingin menikmati waktu berdua. Tapi, sore itu, Kak Ranti dan A Geri menceritakan semuanya. Ke aku, Ayah dan Bunda. Ternyata diam-diam mereka udah mencoba berbagai cara untuk punya anak. Tapi enggak ada yang berhasil. Kak Ranti udah benar-benar putus asa. That's why, akhirnya mereka berani jujur."

Radit mendesah berat. Dia mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Aku mengamati Radit dalam diam. Membiarkannya meluapkan seluruh kegelisahan yang pasti sudah dipendam mati-matian selama ini.

"Sementara Ayah ... sangat ingin mempunyai cucu. Semuanya jadi serba salah. Apalagi Kak Ranti dan A Geri. Sampai tiba-tiba, Ayah jatuh sakit. Hal itu buat keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Semua orang semakin terdesak. Dan cuma aku, satu-satunya orang yang bisa mengabulkan keinginan Ayah," jelasnya lemah. Radit memalingkan muka. Menghindar dari jangkauan mataku yang sudah berkaca-kaca.

Setelah mendengar seluruh penjelasan Radit, aku merasa jadi orang paling egois di dunia. Aku bertahan dengan sikap keras kepala dan rencana-rencana samar yang berujung menyakitkan banyak orang. Aku sadar enggak boleh begini terus. Lebih baik aku berdiskusi dengannya sekali lagi. Kebetulan ada satu jalan tengah yang terpikir olehku tadi malam.

Aku angkat tangan dan mendaratkannya di pundak Radit yang menegang. Dia menoleh lambat, tanpa membalas tatapan. Wajahnya yang sedikit basah, terlihat berkilauan ketika diterpa cahaya terik dari matahari yang hampir terbenam. Aku hendak menyeka sisa-sisa air mata di pipinya, tapi gerakan tangan Radit yang lebih gesit membuat pergerakanku terhenti di udara.

"Sorry. Aku malah ikut nangis," ucapnya diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Aku bukan lemah, ya. Awas lho, kalo mikir yang enggak-enggak," tegas Radit, terlihat sekali sedang menguatkan diri.

"Aku enggak bilang apa-apa, Kak. Memangnya mukaku keliatan bakal julid, ya?"

Iris mata gelap milik Radit melebar. "Julid? Ya, ampun... Kosa katamu ada-ada aja, ya," katanya sambil geleng-geleng kepala dan masih tertawa.

Aku menyipitkan mata, lalu memasang wajah serius. Radit menyadari gelagatku. Dia berusaha menghentikan kekehannya dengan menutup mulut rapat-rapat. Kami masih duduk berhadapan di dalam mobil yang menyala. Entah sudah berapa lama. Tahu-tahu di luar sudah gelap. Sepertinya tujuan kami ke JYSK untuk membeli kasur tambahan bakal gagal terlaksana.
Enggak apa, deh. Besok pagi saja ke sananya. Mumpung Mama dan Papa baru akan datang besok sore. Sekarang, biar aku tuntaskan dulu permasalahan ini.

"Kak, Mia bersedia punya anak dalam waktu dekat, tapi Mia punya dua syarat," kataku. Mata Radit membola begitu mendengar keputusanku. Dia mengangguk cepat penuh semangat.

"Apa pun, Mia."

"Okay. Yang pertama. Mia mau melahirkan di Bandung, dan tinggal di sana dulu sampai umur anak kita satu tahun," ucapku mantap.

"Hah? Kamu minta aku tinggal berjauhan sama kamu dan anak kita selama itu?" pekik Radit kaget. Setelahnya, dia menggeleng heboh. "Aku enggak mau, ya. Jangan minta yang aneh-aneh!"

Lah, aku dibilang aneh-aneh, dong. Dari mana anehnya coba?

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum menjelaskan alasan dari syarat pertama yang kuajukan. "Kak, maksud Mia itu, Mia pasti butuh bimbingan setelah melahirkan. Mia enggak akan mampu merawat bayi baru lahir sendirian. Memang sih, Mia udah pernah ngebantuin Teh Nuri dulu. Tapi, udah lama banget. Mia takut salah, Kak. Makanya Mia request melahirkan di Bandung. Biar ada Mama, Papa, juga Bunda yang siap sedia membantu Mia. Kak Radit kan kerja terus. Suka sibuk. Nanti kalau Mia stres gara-gara ngurus bayi sendirian, gimana? Kak Radit mau jadi sasaran amukan Mia?" jelasku mendetail supaya dia paham.

Begitu mendengar penjelasanku, raut wajah Radit mulai mengendur. Kepalanya juga mengangguk, seperti sedang menimbang-nimbang jawaban.

"Enam bulan. Aku enggak bisa kasih waktu lebih dari itu," tolaknya mentah-mentah.

Aku sudah menggeram dalam hati. Kedua tanganku mengepal dan meremas gaun terusan bermotif salur yang menutupi hingga ke betis. Aku enggak habis pikir sama Radit. Katanya bersedia menerima syarat apa pun, tapi ini malah menolak. Mau dia apa, sih?

"Memangnya kamu enggak takut kangen sama aku?" Radit lanjut bertanya dengan alis terangkat.

Aku menjawab cepat tanpa perlu berpikir. "Ya, kangenlah!"

"Nah ... Makanya, jangan satu tahun, dong. Enam bulan aja. Ya, ya?" rengeknya sembari menciumi pipi kanan dan kiriku secara bergantian. Dia juga mencuri kesempatan mengecup bibirku tanpa aba-aba. Ulahnya membuat suasana mencair dalam sekejap, sekaligus melemahkan keteguhan yang sedang aku pertahankan.

"Please ...."

Aku mendesah lelah. "Oke, fine. Mia nurut, deh."

"Yes! Akhirnya ... Terima kasih, Istriku. Semoga Allah membalas kebaikanmu ini. Amin ...," kata Radit, lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Aku mengernyit bingung. Kok, kayak pernah dengar kalimat itu, ya?

"Syarat keduanya apa, Sayang?" tanya Radit mesra. Dia menyandarkan kepala di pundakku. Mungkin dia pikir, kalau diperlakukan manis begini, aku bakal bermurah hati lagi. Enak saja. Jangan harap, ya!

"Yang kedua. Kak Radit harus cari tahu cara mengurus bayi. Terus latihan juga pakai boneka. Nanti Mia bakal kasih pertanyaan-pertanyaan. Misalnya, kalau anak kita nangis pas Mia lagi mandi, Kak Radit harus ngapain. Terus, gimana caranya ganti popok, mandiin, sama cara gendong sampai bayinya tidur. Kak Radit harus mau mempelajari semuanya. Mia mau merawat anak kita bareng-bareng. Pokoknya, Kakak harus ikut ambil bagian dengan porsi sama besar. Gimana? Sanggup, enggak?"

Radit bergeming. Dari sudut mata, aku bisa melihat jakunnya naik-turun. Pasti dia syok, deh. Diam-diam, aku mengulum senyum. Bahagia banget rasanya, bisa mengerjai Radit dengan alasan positif dan masuk akal. Hahaha...

Lelaki yang masih terlihat menawan walau rambutnya acak-acakan ini membetulkan posisi duduknya. Dia melihatku dengan wajah cemas. "Ini, kamu seriusan, Sayang?"

"Seriusan, dong. Permintaan Mia tuh penting banget, tahu. Kan, Kak Radit sendiri yang bilang. Sebelumnya Kak Radit enggak tertarik sama anak kecil. Berarti, pengetahuan Kakak tentang cara mengurus bayi masih dikit banget, kan?" selidikku.

Radit terkesiap. Dia memundurkan kepalanya dan memandangku dengan tatapan enggak menyangka. Sementara aku mengangkat kedua alis. Menagih jawaban. Radit bergerak gelisah, lalu melipat kedua tangan. Bisa kutebak, dia sedang merangkai alasan supaya bisa memperbaiki penilaianku.

"Enak, aja. Kamu lupa, kalo aku bisa gendong Ashley dengan aman?"

"Iya, memang bisa." Aku memujinya sambil mengangguk pelan. Radit hendak menyombongkan diri, tapi langsung kutepis dengan kalimat lanjutan. "Tapi, mengurus dan merawat bayi itu bukan cuma masalah bisa gendong apa enggak, Kak. Masih banyaaakk lagi yang harus dipelajari. Makanya, pas awal Mia langsung nolak. Lagian, waktu itu Kak Radit gendong Ashley baru sebentar aja udah kepegelan, kan? Mia lihat, lho. Kak Radit langsung peregangan setelah gendong. Padahal berat Ashley baru sekitar 3 kilogram. Masih termasuk ringan itu."

Mendadak Radit terkekeh heboh. Ucapan telakku membuat pipi putihnya merona. Tangannya pun jadi sibuk menggaruk kepala yang aku yakin lagi enggak gatal.

"Kak, jangan kelamaan ketawanya. Mia laper, nih. Sekarang udah jam 7 lewat, lho. Kita mau sampai kapan, diem di pinggir jalan begini? Ntar ditilang polisi, ribet pula."

Kayaknya sudah hampir dua jam mobil kami menepi di bahu jalan. Mulai dari matahari baru akan terbenam, sampai akhirnya langit gelap seluruhnya. Radit memarkirkan mobil di antara deretan rumah-rumah yang terbuat dari batu bata merah. Sepertinya kami berhenti di dekat area perumahan.

"Ini memang area parkir, kok. Bukan bahu jalan. Tuh, kamu enggak lihat ada mobil lain yang parkir?" tanyanya seraya menunjuk ke arah belakang. Aku mengikuti arah telunjuknya, lalu mengangguk paham.

"Terus, yang tadi gimana, Kak?" todongku mulai hilang kesabaran.
Radit terlihat sudah pasrah dengan kenyataan.

"Oke, deh. Aku nyerah. Kamu tuh, memang enggak ada lawannya kalo udah masalah syarat-syarat." Radit mencubit hidungku. Menariknya sampai aku merasa hidungku kayak mau copot. Ini dia gemas atau gondok, sih?

"Kak! Tega, ih! Sakit, tahu!" kataku mengaduh sembari terus mengelus hidungku yang pasti sudah memerah. Tanpa ragu kulemparkan tatapan menusuk ke arah si Tersangka. Radit menyengir. Memamerkan barisan gigi putihnya.

"Maaf, maaf. Kita mau langsung pulang aja, nih? Atau mau makan di luar dulu?"

"Makan dulu, deh. Mia mau makan yang enak dan mahal," seruku bersemangat.

"Mau ke Mcd?" tawarnya.

"Sejak kapan Mcd jadi makanan mahal, Kak?" Aku menolak secepat kilat.

"Sejak kamu jadi istri aku. Soalnya, ya, pengeluaranku buat Mcd dalam sebulan itu, besarnya udah kayak makan di restoran steik beberapa kali, tahu," ungkapnya penuh emosi berlebihan.

"Masa, sih?" Aku pura-pura berpikir keras. "Tapi, Mia lagi pengen coba makan di fine dining restaurant yang baru buka di deket apartemen itu, Kak," jawabku lengkap dengan aksen British yang sedikit dipaksakan.

Aku juga mengedipkan mata berkali-kali. Mencoba merayu secara terang-terangan. Ulahku membuat Radit memejamkan mata. Dia mendesah panjang, lalu memeluk dan mengusap lembut puncak kepalaku. Dia enggak menolak permintaan absurd-ku yang pasti akan menguras dompetnya. Mungkin Radit juga sudah kelaparan, atau malah sudah kehabisan kata-kata. Membicarakan topik serius itu memang sangat melelahkan, sih. Jangan sampai sering-sering, deh. Pusing!

Holaaaaa!

Aku mau ngucapin terima kasih banyakk banyakk, buat teman teman semua yang udah baca Mia as a Wife sampai bab ini. Nggak kerasa, bentar lagi cerita Mia bakalan tamat, lho! Ikutin terus update-an Mia, yaaaa...
😉😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro