Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tahu kok kalau hari ini jadwal untuk update. Tadi subuh memang berniat update sih, tapi sebelum buka laptop, aku ngintip voment dulu dari ponsel. Hehehe... ternyata dikit banget. Lebih sedikit dari part lalu, padahal udah di-update lama. Jadi aku batal buka laptop, dan memilih jelong-jelong, menghibur diri setelah kelar penilaian akreditasi. Assseeekkk. Voment hak pembaca sih. Mutlak itu, sama mutlaknya dengan perasaan senang penulis saat melihat karyanya diapresiasi. Oke, selamat baca, sampai ketemu dengan Rajata-Mika hari Rabu kalo responsnya bagus.

**

ANDI yang kutemui di kamar jaga ketika masuk, nyengir lebar. Dari gelagatnya aku tahu dia akan menggodaku. Kalau sudah seperti ini, aku jadi merindukan atapku. Lebih menyenangkan nongkrong di sana sendirian sambil menghitung bintang, daripada menghadapi berbagai godaan tidak penting tentang Rajata. Karena seberapa kuat pun aku membantah, teman-teman jagaku tidak akan percaya kalau di antara kami tidak ada hubungan yang lebih daripada sekadar teman. Meyakinkan orang-orang itu butuh banyak energi. Lebih baik aku menghemat energi dan menggunakannya untuk bekerja.

"Dia pasti sangat mencintaimu, Ka," ujar Andi, masih dengan senyum jahil. "Lihat apa yang dibawanya untukmu."

Ketika masuk tadi, aku memang merasa ada yang berubah dari kamar jaga ini, tetapi tidak terlalu memperhatikannya. Telunjuk Andi membuatnya jelas sekarang. Di atas meja ada sebuah microwave. Persis di sebelahnya ada mesin pembuat kopi portable. Di sebelah meja, ada dispenser baru untuk air panas dan dingin. Bukan itu saja, kulkas mini tempat kami mendinginkan satu dua kaleng minuman sudah berganti dengan kulkas dua pintu. Beberapa tempat tidur tingkat yang ada di situ sudah diatur berjajar di satu sisi

"Orang itu yang melakukannya?" tanyaku keheranan. Ini berlebihan sekali.

"Siapa lagi kalau bukan pacarmu. Dia khawatir sekali kamu kekurangan makanan." Andi membuka kulkas baru itu dan aku bisa melihat isinya benar-benar penuh. Air mineral, aneka jus kemasan, buah, dan beberapa kotak Tupperware. "Kurasa aku akan ikut kamu jaga malam saja. Lumanyan, bisa makan gratis."

"Dia gila!" desisku.

"Benar. Dia sepertinya memang tergila-gila sama kamu. Kalau nggak, dia nggak akan menyuruh OB mengatur ulang kamar jaga dan menimbun kamu dengan makanan."

"Ini bukan untukku." Ya, siapa yang ingin kubohongi? Andi bukan anak kecil.

"Sudah kubilang, berhenti jual mahal. Nikmati saja, Ka." Andy berdecak. "Dia bahkan sampai mengikuti kamu jaga malam. Kenapa bukan kamu saja yang ambil sif siang? Apa ini semacam tes untuk mengetahui kesungguhannya padamu?"

Aku melengos, segera memakai jas dan pergi menuju IGD. Aku harap ada pasien yang bisa menyibukkan. Akhir-akhir ini doaku mulai mengerikan. Berharap ada saja orang yang celaka supaya aku bisa mengalihkan perhatian.

Pasien memang lumayan banyak. Sebagian besar kasus kecelakaan. Untungnya aku tidak melihat Rajata di antara dokter jaga yang melayani pasien. Semoga dia memang tidak datang. Seorang dokter spesialis yang jaga memang bisa tidak datang. Dia hanya perlu mengaktifkan teleponnya sehingga bisa dihubungi setiap saat, ketika ada pasien yang membutuhkan penanganan darinya.

Aku istirahat lewat tengah malam. Mumpung Rajata tidak ada, aku bisa menengok atapku. Aku sedikit merindukan udara dingin yang membelai wajah. Rindu menyapa rasi bintang yang selalu kuhubungkan dengan jari. Setelah menitip pesan pada Sri untuk menghubungi jika membutuhkanku, aku bergegas menuju atap.

Langit tampak indah. Ada jutaan pendar di sana. Tidak ada rembulan yang menghalangi. Aku melepas jas, melipatnya untuk dijadikan bantalan sebelum membaringkan tubuh di kursi kayu. Aku tahu jas itu akan kusut, tetapi aku tidak peduli. Aku masih punya satu jas lain di loker. Aku akan membawa jas ini pulang untuk dicuci.

Aku memejamkan mata setelah menandai rasi bintang yang terang dengan ujung telunjuk. Aku selalu mudah tertidur saat berselimut bintang. Seperti dimantrai. Dering ponsel membuatku terjaga. Aku merogoh saku kulot dan mengeluarkan ponsel itu tanpa membuka mata. Aku masih mengantuk.

"Halo?" Aku mengerjap, menggesar tombol hijau tanpa membaca nama yang tertera di layar. Hanya Sri yang akan menghubungi di waktu seperti ini dengan sengaja.

"Happy birthday to me?" Suara Mita terdengar. Nadanya tidak fokus di antara cekikikan.

Aku tidak lupa. Hari ini dia memang ulang tahun. Akan tetapi, kami sudah dewasa, bukan ABG labil lagi yang menghargai usaha bangun tengah malam hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Persahabatan kami telah jauh meninggalkan fase itu.

"Selamat ulang tahun," ujarku. Kali ini aku benar-benar membuka mata. Kantukku perlahan mulai hilang. "Kamu mabuk?" Suara Mita tidak terdengar normal.

Mita kembali cekikikan seperti hantu jembatan tol. "Aku nggak mabuk, Ka. Aku hanya minum wine. Orang nggak mabuk wine."

Aku berdecak. "Orang mabuk karena alkohol. Maafkan keawamanku, tapi fortified wine kadar alkoholnya bisa sampai 20 persen, lho."

"Red wine, Ka. Aku minum red wine. Ini bagus untuk menghindarkan aku dari sakit jantung."

"Kandungan alkoholnya bisa di atas 10 persen," selaku. "Dari suaramu, aku yakin kamu nggak hanya minum segelas. Kamu hanya butuh beberapa teguk dan bukan sebotol untuk alasan kesehatan. Kamu beneran dokter?"

"Kamu menyebalkan, Ka." Mita terus cekikikan.

"Kamu lebih menjengkelkan," balasku kesal. Aku tidak suka caranya merayakan ulang tahun. "Kamu di mana sekarang?"

"Aku di rumah, Ka. Jangan berteriak padaku. Kamu pikir aku gila sampai harus minum di luar, di waktu seperti ini?"

"Kamu kedengaran gila karena meneleponku jam segini." Aku menurunkan tempo suara. "Ada apa?" tanyaku lebih lembut. "Tunanganmu memutuskan hubungan kalian?" Pikiran itu yang segera muncul di benakku. Mungkin ketidaksetiaan ada dalam cetak biru keluarga laki-laki itu. Dhesa juga mengalaminya. "Jangan khawatir. Kamu masih punya aku. Kita bisa menua berdua dan mati sebagai jomlo yang bahagia. Buang saja botol anggurnya, ya. Aku akan ke rumahmu sepulang jaga."

Cekikikan Mita berganti gelak. "Ngawur! Dewa ada di sini. Dia sedang membujukku untuk berhenti minum. Kalian berdua sama-sama menyebalkan."

"Orang menyebalkan ini berusaha menghindarkan kamu dari sakit kepala besok pagi. Tapi sepertinya sudah terlambat. Kamu nggak ke rumah sakit besok pagi sampai berani minum?"

"Aku lepas jaga, Ka. Oh ya, nanti malam kita makan bersama. Kamu juga lepas jaga, kan? Aku akan menjemputmu di rumah."

Penolakan tidak akan didengar Mita. Hari ini dia berulang tahun. "Baiklah. Berhenti minum, oke?"

"Oke." Jeda sesaat, lalu, "Ka, kamu tahu kalau aku sayang kamu, kan? Rasanya sedih menyadari kamu seperti menyembunyikan sesuatu dari aku. Aku nggak tahu apa itu, tapi aku tahu ada yang nggak kamu ceritakan padaku." Mita tertawa pelan, tidak seperti tadi, nadanya sedih. "Dan aku harus mabuk dulu di hari ulang tahunku untuk bilang ini sama kamu."

Aku tercekat. Mita tidak bodoh. Dia pasti bisa membaca sikapku. Aku bangkit dari tidurku, duduk bersandar di kursi. "Kita akan bicara nanti." Aku akan memikirkan alasan masuk akal yang tidak membawa-bawa nama keluarga tunangannya. Aku tidak ingin peristiwa Dhesa berdampak pada kebahagiaan Mita. "Sekarang tidur, ya. Kamu tahu aku juga sayang kamu. Aku nggak punya terlalu banyak orang di sisiku, kan? Tentu saja aku juga harus sayang kamu, supaya kamu nggak ninggalin aku. Aku nggak punya pilihan, kan?" Aku mencoba tertawa meski sudut mataku terasa basah. "Ini menjijikkan, aku merasa seperti lesbian sekarang."

Air mataku jatuh setelah aku menutup telepon Mita. Awalnya pelan, kemudian mulai terisak. Tubuhku terguncang saat berusaha menahannya. Aku tahu apa yang dirasakan Mita. Dia merasa aku menjauh. Kami tidak pernah seperti itu. Kami saling menceritakan apa saja. Tidak ada rahasia. Dia tahu semua kejelekanku, seperti aku memahami ketidaksempurnaannya. Aku ada saat dia butuh orang yang bisa ditumpahi air mata ketika kisah-kisah cintanya berakhir. Sama seperti dia yang menggenggam erat tanganku ketika ayahku meninggal, ekonomi keluargaku luluh lantak, dan memelukku erat ketika pertama kali bertemu setelah kepergian Dhesa. Jadi dia pasti frustrasi ketika menyadari aku menyembunyikan sesuatu darinya. Merasa aku tidak percaya lagi padanya.

"Ada apa?" Suara itu mengejutkanku. Aku baru tersadar kalau aku tidak sendiri di sini. Aku tahu itu dia. Rajata. Dari mataku yang mengabur terhalang air mata, aku melihatnya meninggalkan pagar pembatas tempatnya bersandar menuju kursiku. Belum sepenuhnya tersadar dari rasa terkejut ketika tangannya yang hangat menyentuh daguku. Sebelah tangannya yang lain menghapus air mataku. "Ada apa? Apa yang salah?" ulangnya lembut.

Air mataku malah menderas. Kamu yang salah. Keluargamu yang salah. Ini akan lebih mudah kalau kamu bukan bagian dari mereka. Aku tidak akan merasa bersalah karena menyukaimu. Aku bisa menelan harga diriku bulat-bulat dan menutup telinga pada tuduhan menjadi Cinderella karena mendekatimu. Apa pun asal bukan keluargamu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro