Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk yang mungkin melewatkan AN part sebelumnya, update cerita ini rabu dan minggu ya, Gaess. Oke, happy reading.

**

AKU tidak bisa ke atap meskipun ingin. Aku khawatir Rajata menyusul. Daripada terjebak berdua di sana dengan dia, lebih baik berbaring di ruang jaga. Ada beberapa dokter jaga yang ada di sana. Aku bisa mengacuhkan kalau dia juga bergabung.

Hanya ada seorang rekan dokter yang sedang tidur ketika aku masuk ruang jaga. Aku melepas jas dan memilih salah satu ranjang kecil yang ada di situ untuk berbaring. Aku memunggungi pintu supaya tidak terganggu suara orang keluar masuk. Memudahkan untuk jatuh terlelap.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tetapi aku yakin tidak terlalu lama. Sejak menjalani program co-ass, aku sudah terbiasa dengan tidur yang terpenggal-penggal. Kurasa hampir semua dokter seperti itu. Gampang dibagunkan karena alam bawah sadar tidak pernah benar-benar ikut terlelap. Terjaga untuk setiap gerakan atau suara yang masuk dalam gendang telinga.

Aku bangkit dan menyibakkan jas panjang yang menutupi sebagian tubuhku. Aku tidak ingat berselimut jas saat tidur. Aku yakin jasku kusampirkan di sandaran kursi. Ketika menoleh ke kursi, aku melihat masih ada jas putih di sana.

Wangi maskulin yang tidak asing menyadarkan bahwa jas yang ada dalam genggamanku memang bukan milikku. Pasti punya Rajata. Aku mendesah, mengapa laki-laki itu harus berkeras dan membuat ini jadi sulit, sih? Aku yakin dia yang minta jaga ke IGD, bukan karena ditugaskan. Dia orang yang bisa memilih. Hampir tidak ada orang yang kukenal mau jaga di IGD malam hari, kalau bisa memilih.

Meskipun telah melepas jas itu, aroma yang dikuarkan parfumnya masih melekat di blus yang kupakai. Aku benci mengakuinya, tetapi aku merasa nyaman karenanya. Rasa nyaman yang tidak seharusnya ada.

Aku tidak bisa tertidur lagi, jadi kuputuskan untuk membasuh wajah dan menuju tempat jaga perawat. Tempat yang sangat jarang kukunjungi kecuali untuk mengisi rekam medik. Aku biasanya lebih sering di atap. Hanya saja, tempat itu jadi keramat satu minggu terakhir karena menghindari seseorang.

Ada Sri bersama seorang temannya yang sedang ngobrol di situ. Juga dokter Andi. Kami sering jaga bersama sehingga lumayan akrab. Dia mengangkat kepalanya yang sedang menekuri rekam medik ketika melihatku mendekat. Senyumnya tersungging. Aku membalasnya dengan ringisan.

"Sepi, ya?" tanyaku basa-basi.

"Tadi ada thoracotomy," jawabnya. "Sudah dikerjakan dokter Rajata. Dia ternyata sehebat yang digembar-gemborkan orang-orang. Aku tadi jadi asistennya."

Aku selalu ingin jadi asisten untuk kasus yang sulit. Namun aku tidak menyesal melewatkan yang satu tadi. "Kamu bisa gantian tidur. Ranjang yang kutinggalkan masih kosong kalau kamu pergi sekarang," Aku mengalihkan percakapan dengan sengaja. "Aku yang akan jaga di sini."

"Belum ngantuk, Ka." Andi menyusul duduk di dekatku setelah melepas rekam medik yang dipegangnya. "Kenapa dokter Rajata jaga di sini?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Kamu harusnya tanya sama dia, bukan aku."

Andi mengedip. "Anak-anak bilang kamu pasti tahu alasannya."

Aku memelotot kepada Sri yang berdiri tidak jauh dari tempatku duduk. Gadis itu pura-pura tidak melihatku. Pasti dia yang membawa gosip itu. Hanya dia petugas IGD yang melihat keributanku dengan Rajata minggu lalu. Dia pasti salah paham dengan apa yang dilihatnya. Kegesitannya bekerja sama persis dengan kecepatan mulutnya menyebar gosip.

Aku mengeleng. "Aku nggak berharap kamu percaya, tapi aku bahkan nggak tahu siapa dia."

Andi tertawa, jelas tidak percaya. "Ya, tentu saja kamu nggak tahu," balasnya sarkastis. Dia melihat ke belakang bahuku. "Itu orangnya datang."

Aku tidak berbalik. Berdoa dalam hati semoga laki-laki yang dimaksud Andi itu tidak ikut singgah di tempat ini.

"Kopimu." Sebuah termos kecil sudah berada di depan hidungku.

Aku tidak ingin apa pun darinya. Akan tetapi menolak di depan beberapa orang yang ada di sini hanya akan mengundang pergunjingan yang lain. Aku terpaksa mengulurkan tangan menerima termos itu. Sesegera mungkin menyerahkannya pada Andi.

"Aku nggak butuh kopi tambahan. Kamu mau?"

Andi membelalakkan mata, buru-buru menggeleng. "Nggak usah. Terima kasih." Dia lantas berdiri.

Rajata dengan cepat menggantikannya duduk di sisiku. Sebelum aku tersadar, tangannya sudah hinggap di leherku. Aku baru saja hendak membuka mulut untuk protes saat sadar kalau dia hanya memperbaiki posisi kerah jasku. Aku memang tadi memakainya terburu-buru. Sial. Dia tidak perlu melakukannya. Dia hanya perlu memberitahu saja. Bisa kurapikan sendiri.

"Tidurmu nyenyak?" Suara lembutnya hanya memancing kemarahanku. Sebegitu sulitkah menangkap pesan 'aku tidak mau bicara denganmu' yang mataku kirimkan? Karena dia bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa di antara kami. Seolah merapikan jasku di tempat umum sudah sepantasnya dia lakukan.

Aku pura-pura tak mendengar pertanyaannya dan berbalik pada Andi. "Kamu nggak lapar? Ke warung Mang Udin, yuk." Itu adalah warung kecil di dekat rumah sakit yang menjual mi pangsit. Aku lumayan sering ke sana saat kelaparan tengah malam.

"Kamu lapar, Ka?" Rajata kembali bertanya. "Jam segini kayaknya sulit dapat tempat yang bisa delivery order. Aku bisa minta orang rumah membelikan sesuatu. Kamu mau makan apa?"

Aku tidak lapar. Aku sedang mencari alasan untuk menghindarinya. Aku melihat Andi dan mengharapkan bantuan darinya.

"Malas, Ka," katanya sambil menggeleng. "Daripada antre di Mang Udin, mendingan aku siram pop mi saja."

Mi cup instan adalah penyelamat semua petugas yang dinas malam. Di ruang jaga ada beberapa dos mi cup dengan berbagai merk dan varian rasa. Bertumpuk dengan dos kopi instan. Mirip kamar kos mahasiswa.

"Oke, pop mi." Aku berdiri dan mengajak Andi kembali ke kamar jaga. "Ayo. Kalian nggak ikut?" tawarku pada Sri dan temannya. Lebih banyak orang akan lebih baik.

"Kami tadi baru makan martabak manis, Dok," tolak Sri.

Aku berjalan dan berusaha mengabaikan Rajata yang juga mengikuti aku dan Andi. Aku tidak bisa melarangnya. Ini rumah sakitnya. Dia berhak ke mana saja.

"Kamu benaran nggak mau aku pesanin makanan dari luar, Ka?" Rajata seperti tuli dan kebal pada kebisuanku. Dia kembali bertanya ketika aku sedang mengaduk-aduk kardus mi. "Keseringan kenyang karena mi instan nggak bagus." Dia seperti lupa kalau aku juga dokter dan belajar gizi klinik.

Andi menyikutku. Entah mengapa dia yang harus terganggu karena aku mengabaikan Rajata. Aku terpaksa menjawab, "Laparnya sekarang, jadi makannya harus sekarang juga."

"Ya sudah, besok aku akan bawa makanan dari rumah buat jaga-jaga kalau kamu lapar."

"Besok aku akan makan sebelum ke rumah sakit," tolakku. "Jangan berlebihan."

Andi mengedipkan mata. Mendekatkan kepala ke telingaku. "Nggak kenal, heh?" bisiknya. "Sikapmu seperti kekasih yang ngambek, tahu! Jangan jual mahal, Ka. Tangkapan besar ini."

"Kamu mau ngetes seberapa panas air dispenser ini?" tanyaku pelan. "Bisa bikin melepuh kulit nggak, ya? Tapi nggak usah khawatir, kerusakannya nggak akan parah, kok. Kita di IGD sekarang."

Andi tergelak. "Aku ke sini untuk kerja, Ka. Nggak bermaksud jadi pasien."

"Kalau begitu, pastikan mulutmu tertutup. "

"Ada apa?" tanya Rajata. Sorotnya ingin tahu. Dia memang tidak mendengar bisikan Andi tadi.

"Mika sedang merencanakan kejahatan padaku, Dok," kata Andi masih di sela tawa. "Kurasa aku akan makan di luar saja." Dia membawa mi cup yang sudah disiramnya.

"Tadi itu maksudnya apa?" tanya Rajata setelah Andi pergi.

Aku berbalik. "Apa kamu selalu mau tahu urusan orang?" jawabku pedas.

"Hanya kalau urusannya menyangkut kamu, sih."

Aku mengembuskan napas kuat-kuat. "Kurasa aku juga akan makan di luar saja." Aku pasti akan kesulitan menghabiskan makananku di bawah tatapan Rajata. Tersedak karena gugup juga akan membuatku terlihat konyol.

**

Sebelum lupa, aku mau jualan dong. Yang belum order novelku yang coming soon "Never Let You Go", bisa jalan-jalan ke Instagramku : titisanaria. Atau FB : Titi Sanaria. Di sana akan ada link ke @belibuku.wattpad, tempat bisa melakukan PO. Pada beli ya, Gaess, biar aku bisa beli bakso *otor melas* hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro