Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haaiii... untuk selanjutnya, MP akan aku update 2X seminggu, ya. Hari Rabu (atau kamis) dan Minggu. Jadi setelah ini, update berikutnya adalah rabu.

Daannn... untuk penggemar Rena-Bayu dari lapak "Mengejar Cintamu", open PO sudah dibuka di  @belibuku.wattpad. Boleh dipesan lewat email : [email protected], Line : belibuku, dan Instagram : belibuku.wattpad. Info selanjutnya, boleh ke lapak Rena-Bayu. Infonya akan segera di-posting di sana.

Oke, happy reading, Gaesss...

**

AKU mengawasi Mita yang sibuk mematut diri di depan cermin. Kami berada di kamarnya. Dia sedang bersiap-siap untuk pergi bersama Dewa. Aku tadi ke rumahnya karena dia bilang tidak punya rencana apa-apa. Dewa meeting dengan klien. Namun laki-laki itu baru saja menelepon dan mengatakan meeting itu batal, dan dia akan segera menjemput Mita untuk makan malam. Gadis genit itu segera menghambur ke lemari pakaiannya yang superbesar untuk memilih gaun.

"Bagaimana keluarga Dewa?" Aku membuat kalimatku terdengar biasa, pura-pura sibuk dengan ponsel di tangan. Berbaring telentang di ranjang.

"Keluarganya baik. Aku sudah lama kenal Om Lukito dan Tante Inggrid karena kadang-kadang ketemu kalau aku ke rumah sakit. Papa berteman dengan mereka sejak kuliah. Mereka satu angkatan."

Aku berguling, menelungkup dan meletakkan ponsel di ranjang. Kedua kakiku kuangkat. "Kamu bilang dia anak sulung. Berapa saudaranya?"

"Dua orang. Rajata dan Robby. Tiga laki-laki. Aku nggak heran kalau Tante Inggrid minta supaya pernikahan kami dipercepat. Katanya dia butuh sekutu perempuan di keluarganya." Mita tertawa.

Oh ya, Mengapa dia tidak sabar menyingkirkan Dhesa dari keluarganya?

"Ya, kamu kan calon menantu potensial." Semoga suaraku tidak terdengar sinis. Aku tahu situasi ini bukan kesalahan Mita.

"Hei, Rajata kan kerja di tempatmu juga." Mita membuat rumah sakit itu terdengar seperti milikku. "Kamu belum pernah ketemu dia? Eh, tapi dia kan selalu kerja pagi. Pasti kalian belum kenal. Kalau sudah, kamu pasti cerita." Mita menjawab pertanyaannya sendiri. "Dia menyenangkan. Nanti kalian kenalan deh. Pasti cocok."

Kenalan? Bajingan itu bahkan sudah menciumku tanpa minta persetujuanku. Sayangnya, tanpa kutolak. Cukup sampai di situ saja. Aku tidak butuh drama tambahan dalam hidupku yang sudah suram. Kebanyakan drama yang aku tahu melibatkan air mata. Sudah terlalu banyak air mata yang kuhabiskan sejak Dhesa pergi. Cukup. "Aku nggak butuh dikenalin sama calon iparmu."

"Astaga, aku sampai lupa!" Mita berbalik tergesa. "Kamu belum cerita soal laki-laki itu. Ceritakan sekarang!"

"Laki-laki yang mana?" elakku.

"Jangan pura-pura bodoh. Tentu saja laki-laki yang bilang kamu menarik itu. Kamu bangunin aku subuh-subuh hanya untuk memastikan pendapatnya."

"Nggak ada laki-laki," bantahku. "Jangan berlebihan. Waktu itu aku memasang kateter pada kakek mesum yang menolak dilayani perawat. Katanya 'barangnya' belum pernah dipegang orang, selain mendiang istrinya. Dia lalu menunjuk aku untuk melakukannya karena katanya aku petugas yang paling cantik yang ada di IGD. Karena itu aku bangunin kamu. Untuk meyakinkan bahwa kakek 85 tahun itu belum rabun." Itu memang alasan konyol, aku tahu.

Mita melemparku dengan gaun di tangannya. "Pembohong! Pasti ada seseorang. Kamu nggak akan bisa menyimpannya lama-lama dari aku. Lihat saja nanti. Memangnya kamu bisa curhat ke mana lagi? Kalau kamu sudah yakin dia orangnya, kamu pasti cerita."

Aku berniat menguburnya dalam-dalam. Sangat dalam untuk bisa ditemukan lagi di kotak memori. "Iparmu, Robby itu," Aku mendengar suaraku bergetar saat menyebut nama itu untuk mengalihkan pembicaraan. "Dia kerja di mana?"

"Dia kerja di biro Dewa. Sama-sama arsitek. Hanya Rajata yang ikut jejak kedua orangtua mereka."

"Ehm... bagaimana dia?" tanyaku ragu-ragu.

"Robby atau Rajata?" Mita balik bertanya.

Aku tidak akan menanyakan Rajata. Aku menghabiskan banyak waktu bersamanya akhir-akhir ini. Dan aku sudah memutuskan untuk mengakhiri malam-malam tersebut. "Robby."

"Secara fisik? Tampan, tentu. Om Lukito dan Tante Inggrid itu kombinasi yang bagus untuk menghasilkan bibit unggul." Mita cengengesan sambil menerawang membayangkan.

Ya, seharusnya aku tahu. Aku sudah bertemu salah seorang dari kombinasi bibit unggul itu. Bukan hal yang ingin kuingat sekarang.

"Aku belum pernah ketemu mereka," kataku bohong.

"Untuk kamu aku lebih merekomendasikan Rajata sih. Robby terlalu muda. Aku harus menanyakan pada Dewa apa Rajata sudah punya kekasih. Semoga belum."

"Nggak tertarik." Aku melompat bangun. "Aku mau pulang sekarang."

"Ikut kami saja, Ka. Kamu lepas jaga, kan? Sesekali menikmati hidup nggak dosa. Supaya anyir darah yang ngikuitn kamu dari IGD bisa berganti bau parfum."

"Aku malas jadi pengusir nyamuk kalian." Aku meraih tas. "Nanti kutelepon."

Mita cemberut. "Kamu kan belum pernah bertemu dengan Dewa. Minggu lalu kita nggak jadi makan bersama karena Dewa mendadak keluar kota. Ayolah, Ka. Mumpung kali ini kita bisa kumpul."

Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bersyukur karena batalnya pertemuan kami minggu lalu. Hariku sudah sangat buruk mengetahui identitas pria yang beberapa minggu menemaniku di atas atap. Bertemu dengan kakaknya jelas tidak akan memperbaiki suasana hatiku.

Pantas saja dia bersemangat hendak memasang sofa di atap. Itu atapnya. Tidak ada seorang pun yang bisa melarang untuk melakukannya.

"Lain kali deh, Mit. Tampang dan pakaianku kucel."

"Aku yang harus tampil cantik di depan Dewa, bukan kamu." Mita terus memaksa.

Aku berjalan menuju pintu. "Lain kali, janji. Selamat kencan, ya." Aku buru-buru menutup pintu sebelum Mita kembali protes. Astaga, terjepit seperti ini sungguh menyebalkan.

**

SRI menatapku sambil tersenyum simpul. Mencurigakan. Namun aku tidak ingin bertanya. Aku menuju ruang jaga untuk menyimpan tas dan helm. Aku harus segera ke bangsal. Tadi ada kecelakaan di jalan menuju rumah sakit, sehingga aku sedikit terlambat.

Aku akhirnya mengerti arti senyuman Sri ketika melihat siapa yang ada di ruang jaga. Rajata. Dia duduk di kursi, bermain dengan ponsel. Aku pura-pura tidak melihatnya. Setelah meletakkan helm di lantai dekat meja, dan memasukkan tas di loker, aku bergegas menuju pintu.

Laki-laki itu mendahului dengan berdiri di depan pintu, menutup jalan keluarku dengan tubuhnya. "Kita harus bicara," katanya.

"Aku datang ke sini untuk kerja, bukan mau bicara dengan kamu. Minggir!" Aku berusaha tidak melihat wajahnya.

"Mika, aku mau kita bicara baik-baik." Tangannya terentang seolah takut sedikit ruang yang tersisa di pintu bisa membuatku kabur.

Kali ini aku terpaksa menatapnya, sorot yang kubuat tak bersahabat. "Itu juga yang sedang berusaha aku lakukan. Memintamu menjauh dari pintu itu secara baik-baik."

"Mika, ayolah," dia memohon. "Baiklah, aku salah karena nggak mengatakan siapa aku saat pertama kali bertemu. Tapi kamu tahu sendiri situasinya seperti apa, kan? Kamu meninggalkan aku di lift."

Aku tertawa sinis, kembali melepas pandangan. Aku tidak suka caranya membalas tatapanku. "Dan berapa kali kita bertemu setelahnya? Kamu punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Tapi kamu memilih untuk terus membodohiku. Kamu menikmati ini, kan? Akui saja, nggak setiap saat kamu bisa bertemu orang tolol seperti aku untuk dipermainkankan."

Laki-laki itu mendesah. Desahan yang membuatku mengangkat kepala dan menatapnya lagi. Dia seperti... entahlah, frustrasi? Namun aku tidak akan bersimpati padanya. "Aku sedang berusaha memperbaikinya sekarang. Kamu harus memberi aku kesempatan. Ini hanya masalah kecil. Kamu tahu kenapa aku nggak bilang siapa aku padamu? Karena aku nyaman dengan perlakuanmu padaku. Aku nggak ingin kamu berubah saat tahu siapa aku. Aku juga nggak mungkin menyembunyikan identitasku selamanya, kan? Aku sedang menunggu saat yang tepat untuk bilang sama kamu."

Sayangnya, untukmu, tidak ada pernah saat yang tepat. Kamu selamanya tidak akan pernah tepat untuk berada di dekatku. "Aku harus keluar. Mereka mungkin membutuhkanku." Aku menunjuk keluar ruang jaga.

"Mereka akan menyusul atau menelepon kalau membutuhkan kamu." Rajata bergeming.

"Tolong menyingkir dari pintu," aku berkeras.

"Aku nggak akan ke mana-mana kalau kita belum selesai bicara," suara Rajata tidak kalah tegas.

Aku tahu dia tidak akan melepaskanku. Aku harus mengubah strategi. "Kita akan bicara nanti." Untuk pertama kalinya aku berdoa semoga banyak orang ceroboh sehingga aku akan tertahan di IGD. Aku akan melayani semua pasien supaya tidak perlu bicara dengannya. Dia pasti bosan menunggu. "Aku harus kerja."

Laki-laki itu menyingkir, memberiku jalan. Aku buru-buru keluar sebelum dia berubah pikiran. Melangkah panjang-panjang menuju ruang tindakan.

"Nggak perlu berlari hanya untuk meninggalkan aku. Ada dokter lain yang juga bertugas." Rajata sudah berjalan di sisiku. Kedua tangannya dimasukkan dalam saku jas.

"Jangan mengikutiku," desisku kesal. Kami sudah hampir tiba di IGD dan dia masih menjajariku. Aku menghentikan langkah.

"Aku nggak mengikuti kamu." Dia kini melewati, mendahuluiku.

Orang ini tahu persis bagaimana membuatku kesal. Aku terpaksa mengejarnya. "Kalau begitu, di sana jalan keluarnya." Aku menunjuk arah berlawanan. "Kuingatkan, jangan sampai kamu lupa."

"Aku tahu arah, Mika." Dia memegang kedua sisi jasnya. "Aku ke sini untuk kerja."

Orang ini benar-benar menyebalkan. Aku dari tadi melihat jas putih yang melekat di tubuhnya, tetapi tidak berpikir bahwa dia mengenakannya untuk kerja di IGD. "Kamu nggak jaga malam di IGD," geramku.

"Oh ya? Kamu sudah cek jadwal jaga yang baru? Kalau belum, kamu mungkin perlu melihatnya. Ada namaku di situ."

"Apa?" Aku nyaris memekik. Tidak masuk akal. "Kenapa kamu ambil sif malam?"

"Kenapa Nggak?"

Aarrghh, ini akan jadi debat kusir yang takkan kumenangkan. Aku mengatupkan mulut dan menuju brankar yang baru masuk dari pintu IGD. Bekerja akan mengalihkan fokusku.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro