32. Caelifera VS Nematomorpha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sherin tahu. Sherin sadar. Sherin akui dengan sepenuh ke-legowo-an yang ada, Sherin masih pakai mode AFK di sekolah. Anak perempuan itu memang perlu semalaman suntuk supaya bisa memberanikan diri untuk bertanya di kelas bimbel. Akan tetapi, sebagai Sherin di kelas XII MIPA-4?

Enggak dulu, deh. Sherin belum berani terang-terangan memperlihatkan perubahan-perubahan yang sedang ia upayakan, terutama di hadapan Bu Rika. Karena Sherin paham betul bahwa jalannya masih teramat jauh dari tujuan, Sherin enggak mau bertindak gegabah duluan. Biarlah Bu Rika tahu perkembangan Sherin ketika sudah kelihatan hasilnya di ujian tengah semester nanti. Keren, 'kan? Anjay, enggak? Anjay banget! Kiw, kiw! Cukurukuk!

Meski begitu, di sisi lain ... Sherin mengalami perang batin. Sejujurnya, Sherin mulai menganggap dunia MaFiKiBi Society terasa statis. Ritme dinamikanya tidak bisa lagi Sherin terima. Mungkin ini berkaitan dengan segala perputaran kehidupannya yang mendadak berbanding terbalik dari kebiasaan. Persis seperti jarum jam dinding yang mendadak diprogram untuk putar balik melawan arah. Ah! Kenapa harus segitunya dipikirkan? Lagipula, cerita MaFiKiBi Society itu, kan, hanya fiksi ... mungkin alurnya memang kaku seperti itu.

Ya! Begitulah pembelaan diri yang tak henti Sherin ajukan untuk meredakan gelegak overthinking yang menjadi-jadi. Sebetulnya, Sherin masih syok menyadari kenyataan bahwa kelanjutan alur cerita wanderspace_ tidak sesuai dengan yang ia perankan selagi bertransmigrasi ke dalam raga Bintang.

Tapi, ya ... kan, itu cuma novel, ya. Novel, ya, novel. Realitas, ya, realitas. Enggak mungkin saling memengaruhi satu sama lain, 'kan? Apalagi kejadian itu cuma ada di mimpinya Sherin. Mungkin Sherin memang mengidap sindrom atau disorder apalah yang memungkinkannya mengalami mimpi berkelanjutan plus terasa cukup nyata, dan kebetulan saja ia berperan sebagai Bintang di sana.

Cuma mimpi. Cuma mimpi. Semuanya wajar, kok. Semuanya masih oke, kok. Semuanya ... enggak akan jadi masalah ..., 'kan?

Lama Sherin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Waktu terus berjalan, buku paket biologi yang sudah terbuka pun tampak berserakan di atas meja. Duh! Konsistensi belajar Sherin yang memang belum lulus uji verifikasi itu dipertaruhkan. Seven day streak-nya terancam punah! Padahal belajar setiap malam dalam sepekan merupakan suatu pencapaian yang tiada bandingannya dalam hidup Sherin. Masa mau dihancurkan hanya karena satu malam yang diisi sama bau-bau overthinking? Enggak worth it banget!

Jemari Sherin bergerak membolak-balik halaman. Dibukanya materi bab enzim. Sekali, dua kali ... Sherin terus berulang membaca deskripsi setiap paragraf yang termuat. Namun, otaknya menggugat, tidak kuat meski untuk sekadar beberapa saat. Sherin sudah ganti-ganti posisi duduk. Sila, selonjoran, rebahan, sampai sikap lilin. Bibir Sherin pun tak kalah rempong, asyik memperdengarkan isi materinya keras-keras, siapa tahu telinganya bisa diandalkan jika seandainya mata dan otaknya nge-bug hingga memblokir setiap informasi yang muncul walau sudah dijejalkan sedemikian rupa.

Hasilnya? Tidak perlu ditanya. Materi tetap tak mau masuk kepala Sherin. Yang ada malah resah-resah yang beranak-pinak dengan cara menggandakan diri. Masif sekali perkembangannya di dalam sana! Amboi! Siapa yang suruh, coba?

Ya udah, iya! Sherin menyerah. Otaknya enggak sudi dipaksa terus. Daripada memaksakan diri hingga satuan waktu hari berganti esok dan nanti berganti selamanya, Sherin lebih memilih menerima beban pikiran tadi dengan tangan terbuka lebar. Oke, lah. Biar Sherin jabanin! Maju lo semua! Tangan kosong kalau berani!

Sherin harus memvalidasi perasaannya.

Nulis itu kayak healing! Ampuh banget buat segala resah dan overthinking-nya aku.

Begitulah bunyi kalimat yang tertera dalam buku diari Bintang. Sherin sampai hafal di luar kepala. Menulis? Sherin langsung meraih buku bertema London, yang saking lucunya, ia beli waktu kelas delapan—masa-masa Sherin senang mengoleksi barang-barang unyu—dan belum terpakai sampai sekarang. Oh, wow! Masih mulus nan bagus! Meskipun tangannya cukup kaku, kedua alisnya mengernyit tak biasa, dan perasaannya diberi ruang untuk bicara dengan canggung ... Sherin mencoba menuliskan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Berawal dari ke-nolep-an, rasa ingin terus melarikan diri dari realitas, kecelakaan, transmigrasi ke raga Bintang, enggak mau pulang ke real life, dapat hal baru di MaFiKiBi Society, termotivasi buat memperbaiki hubungan pertemanan, belajar mencoba dan menghadapi ketakutan, mulai inisiatif untuk berubah, daftar bimbel di JAMAL, bikin target harian yang bikin Sherin jadi sedikit lebih bersemangat untuk menjalani hidup karena ingat masih ada misi yang belum ia selesaikan ... hingga Sherin mempertanyakan kembali. Sudah cukup panjang perjalanan yang ia lalui ... tetapi kenapa rasanya ada yang mengganjal di sudut hati?

Sebenarnya, apa yang Sherin lewatkan? Selain kenyataan bahwa ... Sherin melanggar alur MaFiKiBi Society setiap kali ia terlelap?

Tiga paragraf teruntai dari huruf-huruf bak tulisan ceker ayam yang merupakan hasil tulis tangan Sherin sendiri. Mat benar. Perasaan gelisah itu tidak sirna begitu saja, tetapi Sherin bisa merasakan ada suatu sensasi menyenangkan yang menyusupi diri, seakan menepuk-nepuk pundaknya untuk merontokkan beban-beban sialan yang bergelantungan. Oh, Tuhan! Apakah ini yang dirasakan orang ketika tak lagi merasa sendirian?

Sherin lelah. Memutar otak untuk menyusun narasi di atas permukaan kertas tidaklah mudah bagi dirinya. Ketika ia masih menggali ceruk-ceruk terdalam dari memorinya, Sherin mengaku kalah pada kantuk yang menjajah. Sherin membiarkan kepalanya terbenam di antara lipatan tangan yang ia letakkan di atas meja. Tak sampai tiga menit, kesadaran Sherin sempurna direnggut. Anak perempuan itu terlelap untuk direngkuh alam mimpi.

"Bintang, mau lihat tugasmu, dong!"

"Bintaaang, tugasku belum, nih. Mau lihat punyamu!"

"Pinjam tugasmu, dong, Bi! Lima menit lagi bel masuk, lho."

Begitu membuka mata, Sherin menghadapi pemandangan di kelas XII MIPA-1 Persatas. Alright. Sherin kembali ke dalam raga Bintang. Biar apa, deh? Biar Sherin makin dilema karena sudah telanjur jadi pribadi yang diandalkan teman sekelas dalam pengerjaan setiap tugas, tetapi sadar bahwa tindakannya tersebut betul-betul menyimpang dari jalur aslinya? Sherin cemberut. Keningnya merengut tidak suka. Oke, baik. Kekuatan kantuk tak tertahan dapat Sherin deteksi dari sinyal tubuh Bintang. Scene-nya saat ini berlangsung setelah Bintang begadang buat mengerjakan tugas fisika dari Bu Yanti, ya?

"Bintang!"

Persis ketika seorang anak perempuan seenaknya hendak meraih buku catatan Bintang yang memang tergeletak di atas meja, Sherin refleks mendorong anak tersebut. Ah, sial. Sherin sudah menduga temperamennya akan kacau dalam kondisi ini, tetapi yang tidak ia perkirakan adalah kekuatan dorongannya. Anak perempuan tadi terpelanting cukup jauh hingga menabrak bangku lain di seberang posisi Sherin. Dahlah, persetan! Sudah telanjur emosi, sudah pakai kekerasan juga ... sekalian diterabas aja, enggak, sih? Sherin menggebrak meja. "Lihat tugasku? Mau pinjam? Enak banget ngomongnya. Enggak pernah belajar, ya?"

Oke baik. Karakter Bintang yang diperankan Sherin kali ini cukup inkonsisten dan bisa bikin plot hole jalur OOC. Sherin memang tak bisa relate dengan kondisi Bintang yang enggan dieksploitasi teman sekelasnya di saat Sherin justru ingin mengemis sosok teman dalam hidupnya. Meski begitu, jika Sherin tinjau kembali perspektif Bintang ... rasanya wajar juga jika Bintang marah. Lebih sialannya lagi, lawan bicara Sherin malah tampak tak terima. "Kamu ada masalah apa, sih, Bi?"

"Masalah?" Sherin sewot. Mukanya sempurna menggelembung marah. "Kamu masalahnya. Kamu dan kamu-kamu, kamu semua, yang bisanya cuma nyontek dan nyepelein orang seenaknya. Enggak mikir, apa, aku yang capek begadang semalaman buat nugas, tapi orang lain bisa enak-enakan minta contekan biar tinggal nyalin aja? Hidup lo enteng banget, Bro. Enggak tidurnya gue mau lo barter sama aksi contek-mencontek yang sama sekali enggak ngasih benefit apa-apa buat gue? Cuih!"

Dih! Kenapa Sherin malah lepas kendali? Pronounce-nya jadi kacau, campur-campur aku-kamu sama lo-gue! Berikutnya apa? Berikutnya, ya ... mampus. Lawan bicara Sherin yang—kalau Sherin tidak salah ingat dari bab terakhir yang sempat ia baca di Wattpad—bernama Prima, tampak tersulut emosinya. "Setan!"

Baiklah! Saatnya katakan selamat tinggal pada beberapa helai rambut Bintang yang akan rontok berjatuhan karena jambakan Prima yang tak akan terhindarkan. Sherin siap menerima segala bentuk serangan dengan pasrah. Akan tetapi, persis ketika Sherin sudah bersiap dengan memejamkan mata ... justru tidak terjadi apa-apa. Sherin syok. Begitu membuka mata, yang ia temukan justru seisi kelas yang membeku. Betulan persis video YouTube yang sedang dijeda. Hanya Sherin satu-satunya substansi yang bisa bergerak tengok kanan tengok kiri di antara lautan manusia yang mendadak jadi patung.

Kenapa, nih? Belum terjawab keheranannya, atensi Sherin teralihkan pada dirinya sendiri yang tampak blur, seakan ada yang mengurangi kadar opasitas raganya dengan sengaja. Badan Sherin—atau let's say badan Bintang—tiba-tiba jadi transparan. Sherin mengamati lengan dan membolak-baliknya penuh tanya. Ada apa?

Sepersekian detik kemudian, Sherin seperti berada dalam saluran televisi yang sedang trouble. Telinganya nyaris pecah karena suara dengingan berfrekuensi tinggi. Di tengah segala anomali tersebut, Sherin merasa ada tangan tak kasatmata yang menariknya keluar dari dimensi MaFiKiBi Society, lalu yang dapat Sherin lihat hanyalah kegelapan semata.

Apakah dirinya merupakan seekor belalang yang nyemplung ke air untuk menyadari bahwa sebagian besar organ dan kendali tubuhnya sudah dimanipulasi oleh cacing rambut kuda? Hanya untuk menyadari bahwa hidupnya tak lama lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro